Pada akhirnya, katamu, cinta akan berhenti pada sebuah titik stagnan.
Diam.
Walau semua semesta bersekutu menggerakkannya. Sekuat mungkin. Cinta akan beredar pada tepian takdirnya. Pada sesuatu yang telah begitu kuat menautkan segalanya dalam harmoni di bentangan lanskap tak bertepi. Pada tempat ia berada seharusnya, sebagaimana mestinya.
Dan seperti inilah, ucapmu lagi, yang terjadi padaku. Karena kamu. Menghentikan waktu dengan pesonamu. Menghalau galau dengan aura yang penuh daya pukau. Kamu lalu menatapku lekat. Telaga jernih di bola matamu menenggelamku seketika dalam sensasi yang tak terkatakan.
Aku tersenyum rikuh.
Kadang-kadang kamu terlalu mendramatisir sesuatu. Terlebih segala hal yang terkait dengan diriku. Tapi tak apa. Aku suka itu. Kepolosanmu. Kejujuranmu. Kelugasanmu memaknai hubungan kita selama ini.
Di Hongkong International Airport saat melepasku pulang kamu berbicara tentang jarak rindu. Sebuah definisi yang menurutmu adalah ketika rindu menjadi luluh sepanjang bentangan ruang dan waktu sesaat setelah perpisahan yang menyesakkan terjadi. Dimana serpihannya menjadi jejak cahaya yang terpatri indah di larik bianglala. Menjadi “kompas” untuk menunjukkan jalan pulang. Menujumu. Dan jaraknya menjadi tak berarti ketika rindu mengiris nurani. Tiap sayat luka yang terjadi adalah bagian dari kenikmatan mengenangmu. Mengingat segala yang indah dan pernah terjadi bersamamu. Memahami bahwa, pertemuan kembali bersamamu, disuatu saat, entah kapan, adalah niscaya.
Aku menggigit bibir. Kata-katamu persis seperti yang pernah kamu ungkapkan kepadaku dua tahun silam. Impianmu menjadi kenyataan pada akhirnya, meski tak lama.
Saat menyeruput teh di cafe tak jauh dari gerbang keberangkatan pesawatku, kamu terlihat mencoba mengulur lebih lama pertemuan singkat kita. Aroma khas teh yang lembut, kamu hirup pelan lalu meminumnya dengan “takzim”. Anggun. Juga mengesankan.
“Kamu menyesali pertemuan kita kali ini?” tanyaku hati-hati.
Suara hiruk pikuk penumpang lalu lalang sepanjang selasar terminal, derit suara roda koper yang ditarik, pengumuman keberangkatan yang bergema lantang, seakan menelan suaraku. Tapi kamu paham. Seperti bisa membaca gerak bibirku.
“Tak ada yang harus disesali, saat jarak rindu itu kita bentangkan kembali. Seperti dulu. Menjelang kita berpisah, di kota kecil kita,”sahutmu parau.
Kamu lalu membuka tas dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Aku mendadak bisa mengenalinya dari tempatku duduk. Tulisan tanganku sendiri. Surat yang kuberikan padanya sebelum berangkat ke Hongkong,
“Aku masih menyimpan ini, surat dan puisimu yang selalu kubaca. Bahkan sudah hapal di tiap baitnya,” katamu sembari mengangsurkan surat itu padaku. Aku lalu membacanya kembali. Meresapi maknanya, yang menohok, hingga ke ulu hati.
Senyap yang menggantung pada kelam kota kecil kita
Adalah desah nafas rindu yang kita tiupkan perlahan
pada langit, bulan separuh purnama, rerumputan pekarangan dan
desir angin yang mengalir lembut menerpa
pipimu yang telah basah oleh airmata
“Kesepian yang menyesakkan, ” katamu pilu.
Jawaban atas segala pertanyaanmu tak jua ditemukan
bagaikan kumbang merahasiakan makna dengungnya pada putik bunga,
Semua yang ada tak akan menjelaskan apapun
termasuk kehadiran kita di kota ini
tempat kita menganyam angan dan harapan
Kenangan itu akan kita kekalkan, mengukirnya di jagad hati dan
merangkai segala impian absurd seraya mengucap lirih namamu, namaku,
Dalam keheningan yang menikam
Di Kota kecil kita..
Ah aku ingat, surat itu kuserahkan padanya sesaat sebelum ia memasuki gerbang kereta yang akan membawanya ke Jakarta dari kota kecil kami.
“Jaga dirimu baik-baik, baca surat ini sesampainya kamu disana ya?,” kataku penuh rasa haru yang menyesak dada. Kamu hanya mengangguk pelan. Kristal-kristal bening mengalir melalui tebing pipimu. Aku lalu menyeka air matamu dengan punggung tangan.
“Tersenyumlah, masa depan menantimu disana,” ucapku dengan suara serak.
Pengumuman keberangkatan pesawatku membuyarkan lamunan. Sebentar lagi aku akan boarding.
“Saatnya yang kubenci ini akhirnya tiba,”keluhmu datar.
Aku lalu bangkit dan memeluknya erat-erat.
“Selamat tinggal, take care ya ?” ucapku
“Aku akan meniti jarak rindu kita, sesaat setelah kau berangkat,” katamu pilu.
Aku mengangguk pelan. “Ya, aku juga”.
Aku memeluknya kembali lebih erat. Dan lirih kudengar ditelingaku, kau membisikkan, “Sampaikan salamku pada istrimu ya?”
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews