Cerpen : Jarak Rindu

Minggu, 8 November 2020 | 08:02 WIB
0
284
Cerpen : Jarak Rindu
Senja Jingga

Pada akhirnya, katamu, cinta akan berhenti pada sebuah titik stagnan.

Diam.

Walau semua semesta bersekutu menggerakkannya. Sekuat mungkin. Cinta akan beredar pada tepian takdirnya. Pada sesuatu yang telah begitu kuat menautkan segalanya dalam harmoni di bentangan lanskap tak bertepi. Pada tempat ia berada seharusnya, sebagaimana mestinya.

Dan seperti inilah, ucapmu lagi, yang terjadi padaku. Karena kamu. Menghentikan waktu dengan pesonamu. Menghalau galau dengan aura yang penuh daya pukau. Kamu lalu menatapku lekat. Telaga jernih di bola matamu menenggelamku seketika dalam sensasi yang tak terkatakan.

Aku tersenyum rikuh.

Kadang-kadang kamu terlalu mendramatisir sesuatu. Terlebih segala hal yang terkait dengan diriku. Tapi tak apa. Aku suka itu. Kepolosanmu. Kejujuranmu. Kelugasanmu memaknai hubungan kita selama ini.

Di Hongkong International Airport saat melepasku pulang kamu berbicara tentang jarak rindu. Sebuah definisi yang menurutmu adalah ketika rindu menjadi luluh sepanjang bentangan ruang dan waktu sesaat setelah perpisahan yang menyesakkan terjadi. Dimana serpihannya menjadi jejak cahaya yang terpatri indah di larik bianglala. Menjadi “kompas” untuk menunjukkan jalan pulang. Menujumu. Dan jaraknya menjadi tak berarti ketika rindu mengiris nurani. Tiap sayat luka yang terjadi adalah bagian dari kenikmatan mengenangmu. Mengingat segala yang indah dan pernah terjadi bersamamu. Memahami bahwa, pertemuan kembali bersamamu, disuatu saat, entah kapan, adalah niscaya.

Aku menggigit bibir. Kata-katamu persis seperti yang pernah kamu ungkapkan kepadaku dua tahun silam. Impianmu menjadi kenyataan pada akhirnya, meski tak lama.

Saat menyeruput teh di cafe tak jauh dari gerbang keberangkatan pesawatku, kamu terlihat mencoba mengulur lebih lama pertemuan singkat kita. Aroma khas teh yang lembut, kamu hirup pelan lalu meminumnya dengan “takzim”. Anggun. Juga mengesankan.

“Kamu menyesali pertemuan kita kali ini?” tanyaku hati-hati.

Suara hiruk pikuk penumpang lalu lalang sepanjang selasar terminal, derit suara roda koper yang ditarik, pengumuman keberangkatan yang bergema lantang, seakan menelan suaraku. Tapi kamu paham. Seperti bisa membaca gerak bibirku.

“Tak ada yang harus disesali, saat jarak rindu itu kita bentangkan kembali. Seperti dulu. Menjelang kita berpisah, di kota kecil kita,”sahutmu parau.

Kamu lalu membuka tas dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Aku mendadak bisa mengenalinya dari tempatku duduk. Tulisan tanganku sendiri. Surat yang kuberikan padanya sebelum berangkat ke  Hongkong,

“Aku masih menyimpan ini, surat dan puisimu yang selalu kubaca. Bahkan sudah hapal di tiap baitnya,” katamu sembari mengangsurkan surat itu padaku. Aku lalu membacanya kembali. Meresapi maknanya, yang menohok, hingga ke ulu hati.

Senyap yang menggantung pada kelam kota kecil kita

Adalah desah nafas rindu yang kita tiupkan perlahan

pada langit, bulan separuh purnama, rerumputan pekarangan dan

desir angin yang mengalir lembut menerpa

pipimu yang telah basah oleh airmata

“Kesepian yang menyesakkan, ” katamu pilu.

Jawaban atas segala pertanyaanmu tak jua ditemukan

bagaikan kumbang merahasiakan makna dengungnya pada putik bunga,

Semua yang ada tak akan menjelaskan apapun

termasuk kehadiran kita di kota ini

tempat kita menganyam angan dan harapan

Kenangan itu akan kita kekalkan, mengukirnya di jagad hati dan

merangkai segala impian absurd seraya mengucap lirih namamu, namaku,

Dalam keheningan yang menikam

Di Kota kecil kita..

Ah aku ingat, surat itu kuserahkan padanya sesaat sebelum ia memasuki gerbang kereta yang akan membawanya ke Jakarta dari kota kecil kami.

“Jaga dirimu baik-baik, baca surat ini sesampainya kamu disana ya?,” kataku penuh rasa haru yang menyesak dada. Kamu hanya mengangguk pelan. Kristal-kristal bening mengalir melalui tebing pipimu. Aku lalu menyeka air matamu dengan punggung tangan.

“Tersenyumlah, masa depan menantimu disana,” ucapku dengan suara serak.

Pengumuman keberangkatan pesawatku membuyarkan lamunan. Sebentar lagi aku akan boarding.

“Saatnya yang kubenci ini akhirnya tiba,”keluhmu datar.

Aku lalu bangkit dan memeluknya erat-erat.

“Selamat tinggal, take care ya ?” ucapku

“Aku akan meniti jarak rindu kita, sesaat setelah kau berangkat,” katamu pilu.

Aku mengangguk pelan. “Ya, aku juga”.

Aku memeluknya kembali lebih erat. Dan lirih kudengar ditelingaku, kau membisikkan, “Sampaikan salamku pada istrimu ya?”