Menghadapinya sebenarnya, sesederhana ia menganggap kitab suci itu fiksi. Rocky Gerung adalah fiksi, dan ia se-fiktif itu. Ia tidak sepenting itu, ia sebagaimana Jokowi tasbihkan: sekecil itu....
Pada mulanya selalu sikap kritis, dan pada ujungnya berakhir pada kebencian. Begitulah paradigma demokrasi berkembang di tengah masyarakat kita.
Persoalannya bukan pada demokrasinya tentu saja, karena demokrasi sudah berhenti lama sebagai sekedar wacana. Karena sebagaimana ideologi apa pun, antara harapan dan realita tidaklah selalu berjalan pada arah dan semangat yang sama, ketika awal ia diciptakan dan lalu digaungkan.
Demokrasi lahir tentu saja pada harapan terciptanya masyarakat yang lebih baik, terbuka dan egaliter. Namun butuh lebih dari 2000 tahun, kurun waktu yang lama, untuk digali kembali sejak era perdebatan Plato dan Socrates dimulai. Tatkala semua bangsa, semua ras, dan semua manusia menggunakannya dengan cara dan selera masing-masing. Dengan tentu saja, saling menafikan dan menjelekkan "format, bentuk, dan gaya" berdemokrasi yang saling berbeda.
Di sisi ini Amerika Serikat adalah salah satu contoh negara yang paling naif dan munafik. Ia adalah yang terdepan memperjuangkan sekaligus menghancurkannya. Menggunakan demokrasi sebagai way of life sekaligus gaya hidup. Ia mengagung-agungkan gaya demokrasi kapitalis-liberal mereka. Gaya hidup dan berpikir sebebas-bebas, memberi ruang kompetisi dan saling eksploitasi seluas-luasnya, tetapi sekaligus memaksakan keinginan dan kehendak yang paling keji yang pernah ada.
Itulah contracdio-interminis yang paling tragis dalam kehidupan modern, nyaris selama 75 tahun terakhir. Dan dari situlah cerita untuk mencontohnya secara vular terus mengular.
Indonesia adalah anomali yang lain. Sepanjang 78 tahun masa hidupnya, secara kongkrit ia selalu mendaku diri sebagai Demokrasi Pancasila. Namun tatacara, perlakuan, dan metoda kerjanya tak pernah sama. Ia selalu berayun pada selera "siapa yang jadi Presiden-nya". Di tangan Sukarno, demokrasi selalu berubah-ubah bentuk sepanjang 20 tahun ia berkuasa. Pernah suatu kala menjadi sangat liberal, dengan konsekuensi Kabinet tak pernah berusia lama, karena semangat saling menjatuhkan menjadi jauh lebih menonjol.
Bila akhirnya lebih populer menjadi Demokrasi Terpimpin, itu adalah cara Sukarno menyatukan seluruh kekuatan di satu tangan. Ia dengan naif merangkum spirit agama, nasionalisme, dan komunisme dalam satu genggaman. Sesuatu yang muskil secara teori, dan karenanya hanya menunggu waktu untuk saling membunuh dan menghabisi. Dan bila akhirnya ia betul-betul jatuh dan tenggelam. Sekali lagi itu hanya masalah waktu. Bukan tersebab, bukan oleh karena...
Orde Baru kemudian hadir dengan "semangat meluruskan", tetapi justru berakhir dengan output "semakin membengkokkan". Suharto adalah pemimpin dengan seribu wajah. Apa yang secara sinis disebut sebagai "The Smiling General". Dengan karakter pribadi tetap tersenyum bahkan ketika ia dihina, dipuji, dikecam, diagung-agungkan. Ia adalah catatan yang panjang kali lebar tanpa ukuran. Ia menyembunyikan seribu pembalasan, di balik senyum penuh dendamnya.
Ia tetap tersenyum, ketika dianggap sebagai tokoh di balik pembantaian G30S PKI, dan selamanys seperti itu tatkala melenyapkan lawan-lawan politik bahkan mereka yang pernah menjadi orang kepercayaannya. Bahkan ketika pada akhirnya, ia dijatuhkan ia tetap tersenyum karena menyadari waktunya telah berakhir. Dalam konteks Jokowi, saya pikir ia sesama Kejawen, ia belajar banyak dari cara Suharto menangani masalah.
Dan setelah itu, karena tidak ada istilah lain antara "Orde Lama dan Orde Baru", masa-masa sesudahnya adalah orde yang tidak jelas, orde yang bebas kendali, orde yang dalam bahasa gaul adalah los-stang. Dan saya pikir, itulah yang diwarisi oleh Jokowi. Sehingga ia selalu berposisi sebagai yang harus mau menerima "diapa-apakan", tentu saja karena ia ingin melakukan apa-apa.
Terlalu banyak hal yang ia ingin kerjakan, realitasnya terlalu banyak yang memang harus diperbaiki dan yang jelas nyata terlalu banyak juga yang telah dikerjakannya selama 9 tahun terakhir.
Dalam konteks inilah kita harusnya bisa memahami karakter dan gaya kepeminpinan Jokowi. Ia akan membiarkan orang lain menghina, merisak, dan merajam dirinya.
Bahkan bila itu sekedar berbahan bakar fitnah, hoaks atau kabar burung. Ia apa yang dalam budaya Jawa menggunakan ilmu spiritual "banjir bandang segara asat". Ia akan menyerap habis energi lawan dengan membiarkan ia menimpuki, memusuhi, bahkan seolah telah menghabisinya.
Ia akan membiarkannya ombak menggulung dirinya, justru agar membukakan jalan baginya untuk bergerak....
Lalu apa hubungannya dengan Rocky Gerung? Seorang yang saya anggap maschocist yang sok akademis itu. Beberapa teman yang mengenalnya sejak masa lalu, tentu tak heran apalagi kaget melihat sepak terjangnya. Saya pun ada di lingkaran itu, karena berasal dari periode yang sama ketika Kuliah di UI. Walau kita terpaut jauh secara angkatan. Kalau pun saya menuliskannya berulang kali, ya hanya untuk sekedar cara sederhana menghibur diri agar tidak terseret-seret malu.
Bahwa anak UI kok kayak begini! Gak banget....
Satu hal yang sulit kita akui adalah bahwa kita tak pernah menyadari secara bersama-sama telah memberi panggung. Kita membiarkannya terus berceloteh, umyek, berisik. Ia menyambar sana-sini, seolah-olah mengkritik itu bebas nilai.
Dengan modal dasar karena pernah kuliah di Jurusan Filsafat, seolah ia madheg pandita. Ia tak tersentuh, karena menganggap ia berdiri di atas logika silogisme, yang adalah hukum sebab akibat yang tak terelakkan.
Bahkan ketika kita sangat membencinya, di balik itu kita sangat menikmati dan menantikan pertunjukannya...
Menjelaskan kenapa Jokowi secara pribadi tak pernah benar-benar bereaksi kepadanya? Bahkan ketika segala hinaan itu sudah di luar nalar kesopanan, kesantunan, dan watak dasar kita sebagai manusia beradab. Jokowi cukup cerdas untuk mengambil banyak keuntungan daripadanya: datangnya simpati, menguatnya dukungan, dan daripadanya bisa semakin kuat meneguhkan gagasan dan hasil kerjanya.
Karena justru memperkuat realitas bahwa para pembencinya adalah segala hal sebaiknya: hanya bisa ngomong ngawur, tapi tak pernah benar-benar bisa bekerja dan tanpa prestasi.
Bagi musuh Jokowi, ia merupakan pion terdepan meminjam mulutnya untuk melampiaskan kesumat benci, segala gundah kegagalan, dan secara tersembunyi justru mengumbar watak asli mereka sebagai kaum pecundang yang oportunis. Dia adalah idola yang bisa membungkus kesesatan berpikir dalam narasi-orasi yang tampak canggih, tapi sebenarnya kosong belaka. Sebuah ciri umum awal kegagalan demokrasi yang miskin empati dan maunya menang karena merasa benar sendiri.
Sebaliknya bagi pendukung Jokowi, ia adalah sarana menunjukkan watak asli mereka sebagai " sama tapi pada posisi yang berbeda". Menguatkan sifat dan sikap mereka sebagai sesama kaum pembenci yang butuh "jumrah" untuk melempari batu. RG bisa menjadi tempat pelampiasan yang menyenangkan, karena itu ia pantas dibungkam atas nama kebenaran yang sesungguhnya selamanya semu itu. Padahal jika pun ia hilang dan tertaklukan, akan terus datang tokoh lain berwatak dan berperilaku sama.
Sesungguhnya kita terus membutuhkan orang sejenis Rocky Gerung untuk menjaga nalar dan kewarasan kita. Sjatinya, ia adalah ciptaan kita. Dan sejujurnya dengan cara lain kita menikmatinya...
Wajah carut marut kemunafikan berdemokrasi tanpa hati nurani....
NB: Jauh hari, saya memahami RG justru dari mitos etnisitasnya. Saya adalah pengagum orang Menado sejak lama. Sebuah minoritas secara jumlah, tetapi mayoritas secara pengaruh. Sejak lama orang Menado terkenal akan perpaduan sifat macho dan ganteng kaum lelakinya, yang disempurnakan sifat feminis di balik keayuan para wanitanya. Bukan tanpa alasan, bila laki-laki Menado dulu direkrut oleh pemerintah koloni Belanda sebagai prajurit KNIL dengan posisi paling tinggi.
Berbeda dengan orang Jawa, yang direkrut sebagai "bala kruyukan" yang pada akhirnya sebagai sasaran bedil. Orang Menado (juga orang Ambon) ditempatkan sebagai "officers", ketua regu, bahkan komandan pasukan. Mereka berani, tegas, dan setia. Di jawa, kemenangan saat Revolusi Kemerdekaan sangat berhutang budi pada para eks-KNIL dari Sulawesi ini. Bahwa kemudian mereka dianggap memberontak, itu lebih disebabkan pengkhianatan pemerintah pusat yang "tidak lempeng" dalam kebijakannya.
RG karenanya bisa dipahami sebagai anomali dari sifat dasar di atas: sesuatu yang sama tapi mahiwal. Secara profiling ia mewarisi rupa ganteng, ala-ala metro-sexual. Gaya berbicara yang retorik, intonatif, dan tegas. Ia tak pernah lulus S1 di kuliahnya, tapi justru acap berposisi terdepan dalam ide dan gagasan. Ia bisa tampak "langgeng", karena tak banyak yang tahu kita berhutang padanya. Jauh waktu sejak era Orde Baru, ia telah bergerak untuk memperjuangkan demokrasi yang anti-militer dan anti-Suharto.
Ia adalah fashion-show dalam bentuk lain: ia dicela tapi diam-diam ditiru. Ia adalah penyendiri di dunia ramai. Ia akan selamanya mengumbar "logika" yang tanpa nalar. karena juustru setiap ucapannya adalah cermin keterbatasannya. Ia adalah segala anomali: kegagahan di ambang kegagalan, watak umum menilai diri terlalu tinggi dan sok-cerdas dengan menggangap hal-hal di luar dirinya adalah kedunguan.
Menghadapinya sebenarnya, sesederhana ia menganggap kitab suci itu fiksi. Rocky Gerung adalah fiksi, dan ia se-fiktif itu. Ia tidak sepenting itu, ia sebagaimana Jokowi tasbihkan: sekecil itu....
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews