In Memoriam Birgaldo Sinaga

Dia telah terbebaskan dari sejuta kegelisahannya. Tak lagi harus terus bingung menentukan jalan politik praktis atau politik etis.

Senin, 17 Mei 2021 | 08:37 WIB
0
190
In Memoriam Birgaldo Sinaga
Birgaldo Sinaga (Foto: Istimewa)

Sejak pagi, sungguh saya kehilangan semangat apapun. Semula saya sudah sangat bergairah menuliskan lanjutan serial "Sejatining Jati". Tapi berturut-turut, satu persatu teman-teman mengabarkan kepergian Birgaldo Sinaga. Seorang aktivis dalam arti "sesungguhnya", seorang yang aktif bergerak ke sana ke mari. 

Bertepatan hari Lebaran, dua hari lalu. Saya menuliskan artikel tentang "Ngenyangi Pati". Sekedar pengingat bahwa kita semua tanpa sadar berada pada periode kritis untuk menyongsong kematian, dan karena kita harus berani melakukan sejenis tawar menawar kepadanya.

Hidup dan mati konon adalah hak prerogratif Tuhan, tapi Tuhan juga menjalankannya melalui kehendak alam. 

Sedikit lebih jelas: hari-hari menjelang "situasi normal" itu datang. Justru ditandai masa-masa yang paling kritis. Pandemik tak akan berhenti, jika ledakan tak pernah terjadi.

Belajarlah dari gunung berapi, ingatlah pada tsunami atau banjir bandang. Ingatlah pada apa yang secara salah kita pahami dan sebut sebagai "bencana". Bagi saya itu bukan bencana, itu irama alam yang sangat biasa. Begitulah sabda alam bekerja. 

Dalam banyak diskusi terbatas yang kerap bersedia saya hadiri. Tentu hanya dengan sahabat-sahabat terdekat saya. Di mana saya bisa merasa nyaman di dalamnya.

Saya selalu mencoba mengingatkan, yah sebetapa pun kita percaya kehadiran Covid-19 ini janganlah sampai menjadikan kita paranoid terhadapnya. Lalu bersikap berlebihan kepadanya. Lalu mengutuki, memusuhinya. Menganggap segalanya hancur karenanya... 

Sebaliknya bagi yang mulai keluar sikap "kritis"-nya, menganggap ia tak seberbahaya yang dikabarkan media. Lalu membangun cerita ilmu konspirasi. Lalu mengabaikan protokol kesehatan, memaksakan kehendak atas nama ini itu. Menganggap pemerintah tukang tepu, dan menganggap kalangan medis sebagai sedang panen proyek. Wah wah.... 

Keduanya sesungguhnya pada tataran yang sama: membesarkan di satu sisi, sebaliknya menyepelekan di sisi lainnya. Sama-sama tidak bijak. Keduanya sama-sama sedang menantang kehidupan. Bukannya tunduk, berdamai dan mencoba memeluknya. Untuk menaklukkannya... 

Realitasnya, saya yakin Covid-19 tak akan bisa punah sampai kapan pun. Akhirnya yang bisa bertahan adalah mereka yang percaya pada herd-immunity. Yang itu apapun istilahnya, apapun definis turunannya. Sekedar merujuk pada survival fittest biasa yang telah berlangsung sejak mungkin jutaan tahun yang lalu, ketika makhuk hidup itu dinyatakan mulai eksis di muka bumi. 

Dalam hal Birgaldo Sinaga!

Saya mengakui termasuk yang gagal meyakinkan sahabat saya ini. Tak terhitung kami saling berbagi ruang diskusi secara pribadi. Jauh hari sejak masa Jerinx masih aktif bergerak, hingga akhirnya ia ditahan. Saya termasuk yang kurang suka atas pilihan cara Jerinx bersikap, saya pernah secara langsung "bertabrakan" dengannya. Tapi kemudian saya memilih bersikap bersahabat dengan dirinya. 

Bukan karena menganggap Jerinx benar, apalagi jeri terhadapnya. Saya hanya ingin dalam ruang kecil otak saya, menyisakan tempat jangan-jangan Jerinx yang benar. Begitu seterusnya sikap yang saya pilih, terhadap banyak pikiran-pikiran yang berbeda. Dengan cara demikian, saya pikir sebagai penulis saya lebih independen bersikap. Bukankah penulis yang baik harus selalu obyektif dan berimbang. 

Sebaliknya Bang Bir, begitu saya memanggilnya. Walau jelas saya jauh lebih tua dari dirinya. Ia terus menerus mempertanyakan kebijakan Jokowi, mengecam dr. Terawan. Ia menjadi sangat gelisah, kenapa bukan keputusan lock-down yang diambil. Kenapa sedemikian lambat proses vaksinasi dijalankan. Intinya kenapa pemerintah sedemikian lemah terhadap rakyatnya, gagal berkoordinasi, dan kurang melakukan aksi tanggap lebih cepat.

Saya kewalahan, saya tak punya jawaban, saya malah terkapar oleh berbagai pertanyaannya...

Untuk memahaminya, saya kemudian cuma berkomentar sederhana. Wah orang Jawa itu gak pernah menang berdiskusi dengan orang Batak! Dan kami tertawa panjang bersama. 

Yah dialah pria Batak yang paling nature dan original. Dia sangat bersemangat mendukung duo Jokowi dan Ahok. Dia selalu menjadi orang pertama yang "turun tangan" membantu saat muncul sebuah kasus nasional yang meledak.

Saat Meliana di Tanjung Balai tersandung kasus TOA yang absurd itu. Ia adalah orang pertama yang menggalang dana. Pun ia adalah orang yang berupaya keras "menormalkan" kehidupan anak kecil korban bom untuk mendapatkan pengobatan atas luka bakarnya hingga ke Cina. 

Terakhir sependek ingatan saya, ialah orang yang pertama mengulurkan tangan saat seorang aktivis-penulis lain, tiba-tiba digebukin oleh sekelompok oknum pengurus masjid. Sial, ia malah kesandung image buruk. Karena dianggap memotong sebagian uang yang seharusnya penuh diberikan pada si Mr. X itu. Yang sesungguhnya dana itu, sejak awal justru disepakati sebagian disisihkan untuk membantu biaya penyembuhan Trinity korban bom Samarinda itu.  

Baca Juga: Pegiat Medsos, Pejuang Kemanusiaan dan Narasi Kebaikan Itu Universal

Dan pelakunya, yah di lingkaran yang itu-itu saja. Sesama penulis medsos yang "sok kritis dan akuntable". Saya berkomentar demikianlah ibukota, kadang lebih keji dari ibutiri. Itu alasan saya selalu mencoba menjauh darinya. Ia kemudian menghilang sementara waktu pergi ke Batam, yang dianggapnya medan kehidupannya. Kabarnya ia sukses mendukung kampanye si calon yang memenangkan pilihan Gubenur di Provinsi Kepulauan Riau. 

Akan halnya Jakarta? Secara heroik ia anggap sebagai medan perjuangannya! Saya memilih tertawa, tapi dalam hati saja...

Hingga hari ini, ketika dia meninggal. Saya masih berhutang cerita padanya. Kenapa saya menghentikan proses penggalangan dana terhadap Meliana. Sebelum melangkah lebih jauh, saya memilih melakukan riset lapangan di Tanjung Balai. Hasilnya sungguh menyesakkan.

Tak terduga, terlalu banyak hal penting dilewatkan begitu saja. Sejak kasus ini, saya makin yakin betapa jahatnya media massa di Indonesia. Pemalas abadi, oportunis sejati dan hobby melakukan framing. 

Dalam kasus ini sekali pun banyak teman yang mendesak untuk menuliskannya. Saya memilih tidak. Saya ini sejenis periset melankolik, kalau saya tak yakin bisa berpengaruh apa-apa. Saya akan menyimpannya berhenti sebagai artefak. Kalau pun saya bersedia bercerita hanya untuk kalangan sangat, sangat terbatas. 

Pun pada Bang Bir-pun, saya tak mau bercerita. Saya ingin ia tak menyesali segala kerja baiknya yang tulus. Tak seharusnya saya membuatnya berbalik merasa bersalah... 

Duabelas jam setelah kematiannya, saya baru bisa menuliskan tentang dirinya. Saya sudah tak lagi sedih, sudah hilang rasa kelu itu. Saya berusaha bersuka cita untuknya.

Dia telah terbebaskan dari sejuta kegelisahannya. Tak lagi harus terus bingung menentukan jalan politik praktis atau politik etis. Ia harus merasa "sudah enak" tak harus bingung, setelah Jokowi tak lagi Presiden lalu jadi apa Indonesia. 

Biarlah jadi apa saja, itu juga bukan melulu tanggung jawab kita! 

Beristirahatlah bang Bir. Dalam budaya Jawa, ada istilah indah tentang kematian. Ia disebut "palereman jati". Kematian adalah tempat beristirahat yang seindah-indahnya, sesungguh-sungguhnya...

Wis ngaso wae kanti lerem, bang!

***