Sejatining Jokowi Kuwi Kayu Jati

Jokowi salah satu figur yang berhasil memahami karakter kayu jati seutuh-utuhnya. Ia tak sekedar memanfaatkan untuk membangun kariernya dari bawah.

Senin, 12 April 2021 | 09:08 WIB
0
290
Sejatining Jokowi Kuwi Kayu Jati
Presiden Joko Widodo (Foto: Istimewa)

Sakbosok-bosoke kayu, yen jati ya tetep aji. Itu adalah ungkapan pasar dan kasar (dalam arti seluas-luasnya) bahwa sebusuk-busuknya bila ia adalah kayu jati tetaplah berarti. 

Di dalam dunia kolektor barang antik, kayu jati yang telah mengalami korosi. Dalam arti ia telah mulai lapuk, termakan usia, atau tidak kopen, kurang terpelihara dengan baik. Sudah tidak rata lagi, sudah pating grajul tidak karuan wujudnya.

Bagi sebagian orang yang ngerti, atau lebih tepat lagi kolektor tertentu justru memiliki nilai yang sangat mahal. Alasannya tentu saja, karena ke-tua-annya, usia dan perjalanan waktu yang tak terbeli. Ia menjadi sangat artistik, karena alur-alur urat kayunya tampak tak beraturan, sebagaimana kehidupan itu sendiri yang tak terduga. 

Dapat dimengerti bila kayu jati dalam kultur masyarakat Jawa, menempati posisi paling atas. Jadi saya sering heran, kalau ada orang Jawa malah menjual mebelairnya koleksi warisan keluarganya, lalu menggantinya dengan mebel partikel kayu. Menguatkan kata pepatah abadi, satu2nya yang tak terbeli oleh siapa pun itu adalah selera baik. 

Tanaman jati tidak sekedar dipahami sekedar sebagai material, tapi juga diberi nilai secara spiritual maupun filosofis yang tinggi. Pembandingnya, orang Jawa hanya menyebut, kelapa sebagai pohon yang paling multi-fungsi. Nyaris semua yang melekat di tubuhnya memiliki guna yang tak terperi. Dari ujung akar, batang, daun, hingga bunga dan buahnya.

Jati hanya kalah dari kelapa, karena ia tak menghasilkan buah yang daripadanya bisa menjadi bahan baku olahan berbagai macam masakan. Tapi nyaris sekujur tubuh tanaman jati juga memiliki nilai manfaat. Dulu, akarnya tak masuk hitungan. Tapi hari ini semua orang terpesona oleh mebelair atau kerajinan yang berasal dari akar jati. 

Sekali lagi, jati bagi masyarakat Jawa ia adalah sebuah simbol. Simbol apa saja!

Bisa kelas, apabila ukurannya keduniawian dalam arti raja-kaya (kekayaan). Tapi juga sekaligus simbol spiritualisme, ia adalah simbol pencarian yang tak pernah ada ujungnya: "kesejatian". Sebuah istilah yang makin asing dan kering, dalam masyarakat yang makin terasing dari nilai-nilai asketisme. 

Lalu mengejek, sejati itu apa to? 

Dalam Ilmu Kramadangsa yang dicetuskan Ki Ageng Surya Mantaraman menjelaskan bahwa sejati itu adalah bagian dari diri kita yang mendorong kita untuk mencari kenyamanan diri sendiri tanpa mempertimbangkan atau peduli kepada orang, sehingga membuat kita bertindak sewenang-wenang.

Kramadangsa membuat kita mempercayai kenyataan yang hanya kita kehendaki dan menghalangi kita untuk melihat dunia sebagaimana adanya. Ketimbang hanya kesan-kesan yang kita miliki tentangnya. Ia bersemayam dalam kesadaran seseorang dan menghalangi munculnya diri sejati (true self), diri yang bebas dari gejala-gejala.

Intinya: kesejatian itu bertolak belakang dengan dunia seolah-olah, dunia yang selalu penuh pencitraan. Butuh pendapat orang untuk dikesankan baik. Yang dalam, kultur kampung selalu dibedakan antara "benere sing sejati" tinimbang "benere wong akeh". Kebenaran hakiki dibanding dengan "sesuatu yang dianggap benar oleh orang banyak".

Dalam konteks hari ini yang terakhir adalah "rezim sesungguhnya" yang secara keji berkuasa di area publik. Lebih buruk karena otak didalamnya dikuasai oleh berbagai mahzab yang berumber dari aturan agama.

Menjadi sangat mengerikan, karena segala sesuatu selalu diinisiasi oleh hadiah surga dan ancaman neraka. 

Dalam konteks inilah: kayu jati bisa berubah menjadi apa saja di tangan banyak orang. Ia bisa dibikin rumah, dengan berbagai model atau versi. Dari yang paling anggun model joglo yang anggun dan rumit. Yang bisa diaplikasi dari menjadi bangsal atau masjid besar, dengan variasi atap yang sangat beragam.

Atau model limasan sebagai rumah tinggal kelas menengah yang bisa menjadi simbol status pansos, karena di dalamnya bisa digunakan untuk menyimpan berbagai aksesoris mebelair yang sangat kaya ragam. Atau sekedar model kampung asal jadi, waton cepet. Tapi justru sangat fungsional dan praktis. Yang sangat typically wong cilik. 

Tentu kayu jati, tidak pernah pilih kasih atau sekedar memilih "mbok saya" digunakan untuk ini, atau itu. Selama ia adalah kayu yang cukup tua dan berkualitas. Dimana pun ia ditempatkan, ia akan tetap memiliki nilai artistik dan daya tahan yang luar biasa. Sebagai juga, ketika ia diolah sebegai bahan perkakas rumah tangga.

Tentu ia tak bisa memilih model polosan atau minimalis gaya Semarang, yang sangat kuat dipengaruhi gaya Eropa yang simpel tapi sangat anggun. Atau diukir dengan sangat rumit dan komples dalam gaya Jepara, yang memang terkenal memiliki para tukang bertangan para dewa. Atau sekedar gaya Mataraman, yang memadukan kedua gaya di atas. Diukir tapi menyisakan banyak ruang polosan. 

Dalam konteks inilah saya memahami Jokowi!

Sebagai seorang sarjana Kehutanan, yang memiliki pengalaman panjang di dunia mebel. Tentu ia sangat paham luar dalam tentang karakter kayu jati. Ia tidak sekedar melihat dan menilai dengan cara berjarak dan sekedar membaca buku. Tapi ia menyentuh, membentuk, mempoles, dan memperdagangkannya. 

Ia salah satu figur yang berhasil memahami karakter kayu jati seutuh-utuhnya. Ia tak sekedar memanfaatkan untuk membangun kariernya dari bawah. Tapi sekaligus belajar kerendahan hati kepadanya. Ia memahami bagaimana jati terbaik justru tumbuh dan berasal dari tanah paling tandus dan berkapur. Tempat dimana tak ada tanaman lain bisa tumbuh dengan baik dan sempurna.

Hal ini tentu menjadi alasan sangat gampang untuk memahami, kenapa ia sangat santai dan biasa saja, ketika ia dihina dan direndahkan. Karena ia adalah tanah tandus itu! Tanah paling tak bermutu yang selalu dianggap tak pantas untuk bercocok tanam. 

Apalagi bila ukurannya adalah nilai-nilai materialistik hari ini. Terlalu lama investasinya, kapan untungnya? 

Hari-hari ini tak ada lagi orang yang memuji atau membelai Jokowi. Barangkali memang tidak perlu, dan yang paling jelas Jokowi-pun tak membutuhkannya. Bahkan jauh waktu sebelumnya pun, sesungguhnya ia tak memerlukannya.

Para influencer palsu-nya saja, yang tiba-tiba merasa tersadar, pilihannya keliru. Sehingga untuk menjaga marwah harga dirinya, tiba-tiba perlu mengkoreksinya. Dengan cara menyorakinya, atau bahkan dalam beberapa kali yang saya baca tiba-tiba jatuh melecehkannya sedemikian rupa. Sembari mengejek para influencer setianya yang dianggap melulu sebagai pemburu rupiah. Apa boleh buat!

Saya pun tak bisa mengerti, kenapa ia harus menghadiri perkawinan youtuber populer yang kontenya sangat populer tapi merendahkan karakter manusia itu. Pasangan Atta Halilintar dengan seorang wanita yang sama tak bermutunya. Yang jangan-jangan kalau bukan anak orang kaya, ia tak lebih cantik dari bakul jamu gendongan dari Wonogiri.

Saya juga berkali-kali mengamati, kecaman terhadap jeleknya desain Istana Negara yang futuristik dan aneh itu. Saya berpikir jangan-jangan selera publik sudah mandeg, bahwa gedung negara harus bergaya gothik dengan banyak pilar raksasa. Kritik saya, jangan-jangan mereka tidak melihat desain lengkap dari calon ibukota baru. Dan mengecam dengan modal gambar yang diblur dan jelek yang beredar di sosial media. 

Atau berbagai kelakuan anak-anaknya yang tiba-tiba menjadi terlalu milenial dan oligarkis: pengusaha yang tiba-tiba juga merasa tak sempurna bila tak mencoba peruntungan jadi pejabat publik. Atau anaknya yang lain, seorang sarjana marketing yang merasa kurang keren dan global bila tak masuk ke dalam industri sepakbola yang penuh gemerlap tapi sekaligus penuh resiko bangkrut itu.

Makin aneh, tanpa malu ia menggandeng seorang Menteri tajir melintir karena bisnis rente-nya yang secara sosial-politik masih tercatat resmi sebagai pejabat negara yang dipilih bapaknya. 

Semua membuat, kita mengernyit kening. Inikah Jokowi yang sesungguhnya? Hingga cukup lama saya berpikir untuk menuliskan artikel ini. 

Hingga menemukan pemaknaan: bukankah demikian watak kayu jati. Ia menjadi apa saja, hadir dimana saja. Pada mulanya ia direndahkan, lalu kita datang memungut karena selalu direndahkannya lalu membelanya. Lalu kita kecewa ketika tiba-tiba ia tiba-tiba membesar. Lalu hadir dimana saja, bahkan bersedia jadi "mebel pajangan" di sebuah acara perkawinan?

Ia tiba-tiba saja memiliki mainan baru yang sangat mahal dengan "membuat ibukota baru". Ia tiba-tiba saja menjadi sebuah "rezim arogansi baru", semua memaki dan mengutukinya, tapi sekaligus tak membayangkan ketika kita ditinggalkannya. 

Itulah sejatiningnya kayu jati. 

Ia suatu saat juga akan membusuk dimakan waktu. Tanpa pernah kita bisa membelainya lagi. Tapi saat ini, ia adalah apa yang dikhawatirkan oleh Lord Acton tentang jargonnya yang paling abadi bahwa power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.

Tentu saja ia tidak korup, tak pernah. Sisi baik, yang membuat kita masih akan terus mempercayainya. Mungkin karena ia hanya kayu jati, ia hanya bisa mengalami sedikit korosi yang kita pahami sebagai mengalami penurunan atau kelelahan. Tapi bisa saja ia sedikit patah rantingnya, tapi ia tak pernah akan terbakar. 

Kalaupun ada yang bisa kita lakukan. Terkadang kita hanya bisa menghela nafas dan mengelus dada bahwa ia menjadi terlalu populer, di luar kendali yang kita mau.

"Populer" adalah kata yang paling tepat dan fair untuk menggatikan kata "power" dalam jargon di atas. Kita kadang menjadi jelousy karena merasa ikut membesarkannya untuk menjadi terlalu kuat, populer, sekaligus populis.

Dua kata yang menjadi ajimat paling tak terlawankan di abad multi-media ini: jika kamu populer tapi tetap jadi seorang populis, maka tak ada lawan lagi bagimu. 

Begitulah Jokowi, ia sangat berhasil memahami dan menjadi sebuah kayu jati. Ia adalah kayu yang paling keras dan tahan lama, tapi sekaligus paling mudah dibentuk, ditatah, dan diukir menjadi apa saja. Hingga kita tak mampu mengenali asal-usul dan lupa bagaimana awal ia bermula. Asing dan serba tak terduga.

Yang kelak akan kita maknai sebagai sejatining Jokowi. Hingga kita hanya bisa ngungun dan menggumam sesungguhnya Jokowi itu.....

***

NB: Saya terkadang curiga, Jokowi ini adalah orang Kalang. Sebuah komunitas kecil orang Jawa yang sangat trampil memperlakukan kayu jati untuk menjadi apa saja. Sebuah legenda yang akan selalu dikenang sebagai minoritas pribumi lokal paling kaya dan sukses secara sosial politik, namun sekaligus selalu dicurigai dan dicemburui.