Sketsa Harian [40] Hasrat Itu

Tetapi waktu jugalah yang memisahkan. Saya dan mantan pacar diantar pulang ke Stasiun Rangkasbitung. Desis kereta terdengar membawa kembali kami ke Sudimara.

Selasa, 3 Desember 2019 | 06:35 WIB
0
777
Sketsa Harian [40] Hasrat Itu
Saya dan Dadan Hamdani (Foto: Dok. pribadi)

Sudah sekian tahun lalu saya berniat hendak mengunjungi teman semasa bersekolah di sekolah dasar dulu, teman di periode 1972-1977, tetapi baru kemarin itulah saya berhasil mengunjunginya di Rangkasbitung. Nama teman yang saya kunjungi itu Dadan Hamdani.

Konon ada beberapa tanda-tanda sebelum ajal tiba, salah satunya adalah ada tekad kuat untuk mengunjungi satu persatu sahabat, kerabat dekat atau sanak-saudara yang tinggal jauh di lengkung puncak bukit berbataskan langit sana, selain hasrat ingin pulang dan tinggal di kampung halaman.

Saya ga peduli. Saya malah bertekad, masa-masa pensiun ini akan saya gunakan untuk mengunjungi satu persatu teman-teman yang pernah saya kenal dekat dulu, tidak terkecuali para mantan yang pernah berhasil merebut hati saya dan kami berpisah baik-baik karena beda keyakinan; saya yakin bisa memilikinya, sementara dia juga yakin tidak bisa diambil hatinya.

Juga ada keinginan secara naluri, tanpa ada yang menyuruh untuk membuat semacam "wasiat", yang orang lain sulit menangkapnya. Atau juga adanya hasrat mengumpulkan foto-foto secara kronologis penanda telah berlangsungnya satu sketsa kehidupan. Almarhumah ibunda pernah menjalankan naluri ini beberapa bulan sebelum kepergiannya.

Orang lain tidak bisa menangkap gelagat ini, pun orang yang punya hasrat bermacam-macam itu. Misteri.

Soal naluri gajah mati yang cenderung kembali ke tempat di mana ia dilahirkan saat ajal tiba, sudah saya tulis beberapa tahun lalu. Tapi, saya mencoba menyenyahkan perasaan yang bukan-bukan itu saat berhasrat mengunjungi teman SD itu sedemikian kuat.

Jarak pemisah ga sampai ribuan mil antara tempat tinggal saya di Bintaro dengan Rangkasbitung. Berdosa rasanya kalau hanya mengemukakan hasrat ingin bertemu tanpa memenuhinya, sebab kenanya cuma omong doang.

Maka ditemani mantan pacar yang sudah menemani hidup selama 26 tahun, kami naik kereta commuter line dari Stasiun Sudimara menuju Rangkasbitung, menemui Dadan "Pak Guru" Hamdani...

Bunyi mendesis roda-rada besi melindas rel terdengar di pagi yang cerah itu, minus lengking peluit yang biasa terdengar dalam cerita-cerita lama, yakni tentang seorang perempuan muda melambaikan tangan meninggalkan kekasih prianya yang berlari mengejar dalam mode "slow motion" sambil bercucuran air mata (eh, kebalik, ya?).

Wajah teman yang tergolong "calakan" (selain pinter juga terampil, beberapa di antaranya main catur, gitar, dan menggoda siswi) itu selalu muncul dalam ingatan. Sebab selain kami berteman dengannya, saya sudah kadung berjanji ingin bertemu. Di stasiun Rangkasbitung dia yang ditemani istrinya menyambut kedatangan kami.

Saya berdiri di sudut stasiun, dari jauh saya melihat seraut wajah yang nyaris tidak berubah sejak sekolah dasar dulu, kecuali uban bertebaran di kepalanya. Pun dia masih mengenal saya dengan baik, mungkin karena kegantengan saya sedemikian melekat awet, tidak luntur seperti cinta palsu, meski waktu telah lama berlalu.

Tidak harus saya ceritakan bagaimana detailnya pertemuan itu. Kami seperti Teletubies berpelukan sebelum menuju kediamannya yang katanya sudah ia tempati sejak empat tahun lalu. Pun kami langsung "botram" makan siang dengan menu utama pete mentah dan sambal goreng terasi, sedang cumi goreng dan pepes ikan mas hanya pelengkap saja, setelah diperkenalkan kepada kedua anaknya. Nikmat sekali. Sampai nambah.

"Saya telat nikah, umur empat puluh satu saat menikah, beda duapuluh tahun sama istri. Alhasil, anak masih kecil-kecil," katanya tadi saat berada di kendaraan roda empat yang disopirinya.

Yang ingin saya ceritakan adalah arti pertemanan itu sendiri. Bukan tanpa "clash" ala anak-anak sekolah dasar, tetapi semua berjalan baik-baik saja. Kami bercerita bahwa menurut Ibu Diah, salah seorang guru kami, angkatan saya dan Dadan itu lumayan berhasil, meski anaknya bandel-bandel luar biasa.

Tentang kebandelan atau kenakalan itu, saya coba ingatkan Dadan sendiri bahwa ia pernah memelorotkan celana salah seorang teman kami yang tubuhnya mungil, bersama Asep Dedi, Uus dan Riki (kakaknya Veti Vera dan Alam) di depan kelas, sampai maaf, "titit" si teman keliahatan. Anak-anak perempuan berteriak senang, soalnya sambil ketawa-ketawa. Korban menangis sambil berusaha menaikkan kembali celana pendeknya yang tanpa daleman.

Kemudian guru datang. Seperti hutang mata bayar mata, sang guru, yang tidak lain ibunda saya, almarhuahm Enok Suhayah (alfatihah...), meminta siapa-siapa saja yang memelorotkan celana teman itu untuk maju ke muka kelas. Empat anak maju untuk mendapat hukuman.

Kami masih menunggu hukuman apa yang bakal mereka terima. Di luar dugaan, sang guru memerintahkan keempat anak itu melepas celananya di muka kelas atau si korban sendiri yang akan melakukannya. Seisi kelas menanti dengan harap-harap cemas, sambil terselip rasa senang. Soalnya kapan lagi Oki, Lela, Eli, Elsa dan teman-teman perempuan lainnya melihat "burung" anak-anak nakal itu.

Sudah tidak usah diceritakan detailnya, pornografi kenanya, yang jelas kami sekelas ketawa ngakak melihat burung mereka tertunduk malu atau mungkin karena ketakutan...

Satu momen lagi saya ingatkan kepadanya ketika berkemah di bukit Torowek, lagi-lagi Dadan dan Asep Dedi, memelorotkan celana --sebut saja Kumbang-- seorang anak laki-laki, kira-kira lewat tengah malam saat ia tertidur. Saya menjadi merasa bersalah karena sebagai ketua kelas tidak melarang atau berusaha mencegah perbuatan nakal itu.

Saat celana melorot, ternyata dialah satu-satu anak di antara kami yang belum dikhitan!

Tentu saja Kumbang menangis, merasa harga dirinya direndahkan, terlebih lagi rahasia terdalamnya terbongkar.

Tapi ketauilah apa yang terjadi dengan Kumbang di kemudian hari... ia menjadi mualaf dan kini sudah bergelar Doktor untuk ilmu matematika di sebuah universitas di Bandung!

Dadan tidak membantah cerita saya, di sisi lain saya hanya sekadar mengingatkannya, biar percakapan mengalir. Ia juga masih ingat potongan cerita dan merasa itu nakalnya anak-anak, ga ada tujuan lain. Saya sepakat.

Kami kuliner sebentar di Kota Rangkasbitung, makan mie ayam Uun yang konon sangat terkenal di sana (dan memang enak), juga berfoto di alun-alun.

Tetapi waktu jugalah yang memisahkan. Saya dan mantan pacar diantar pulang ke Stasiun Rangkasbitung. Desis kereta terdengar membawa kembali kami ke Sudimara.

Sebuah perjalanan batin, bukan sekadar perjalanan lahir.

#PepihNugraha

***

Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [39] Cadar "wal" Cingkrang