Agus Lenon dan Aktivis Kere

Aneh memang dengan beragam praduga dan tuduhan miring terhadapnya. Tapi bagi para aktivis, ia seorang yang menginspirasi. Dia tak peduli dengan beragam asumsi terhadap dirinya.

Sabtu, 11 Januari 2020 | 09:21 WIB
0
361
Agus Lenon dan Aktivis Kere
Agus Lenon (Foto: Sayangi.com)

Beberapa bulan lalu, kami bicara santai sambil makan siang. Menikmati mie Aceh dan kopi Gayo di cafe Tji Liwoeng Coffe di kawasan Condet, Balekembang, Jakarta Timur. Cafe milik aktivis senior Agus Edy Santoso alias Agus Lenon (59 tahun).

Julukan Agus Lenon, karena semasa menjadi aktivis mahasiswa di Yogyakarta, ia kerap menggunakan kacamata dengan bingkai bulat. Mirip seperti yang biasa digunakan John Lenon. Agus memang menyukai lagu-lagu The Beatles, dengan vokalis John Lenon. Itulah kenapa dia lebih populer dengan sebutan Agus Lenon.

Belakangan dia tampil dengan kepala plontos dan tubuh yang kurus. Padahal sebelumnya ia berambut cukup gondrong dan badannya gempal. Rupanya ia memang bermasalah dengan jantungnya. Bahkan untuk pemasangan ring di tubuhnya pun belum bisa dilakukan, karena belum memungkinkan.

Belakangan pula, sebagai aktivis, ia dianggap lebih dekat dengan kelompok Islam kanan. Sebelumnya ia justru dianggap aktivis kiri, dekat dengan kelompok sosialis dan komunis. Dengan kelompok liberal pun, ia dekat sekali.

Ada pula yang menuduhnya cenderung Syiah. Dengan kalangan moderat, Agus juga sangat dekat. Banyak praduga terhadap dirinya. Bahkan dia juga dituduh sebagai bagian dari intelijen, orang BIN.

Aneh memang dengan beragam praduga dan tuduhan miring terhadapnya. Tapi bagi para aktivis, ia seorang yang menginspirasi. Dia tak peduli dengan beragam asumsi terhadap dirinya.

Yang jelas.... Ia tidak percaya siapa pun rezim yang berkuasa. Dengan garang, ia akan menguliti sang presiden. Apalagi orang-orang di sekitar istana. "Mereka para penghisap darah rakyat!" tegas Agus.

Kembali ke pembicaraan di cafe Tji Liwoeng. Di situ, Mas Agus mengungkapkan betapa banyak aktivis yang kere. Belum punya rumah dan hidup dalam belenggu kesulitan ekonomi. Utang di mana-mana dan untuk makan kekuarganya pun sulit. Modal hidup mengandalkan idealisme semata.

Dampaknya, banyak aktivis juga kesulitan untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Nah, masalah ini yang menjadi fokus pembicaraan kami. Diskusi berhenti sejenak, kami menuju masjid dekat cafe tersebut. Menunaikan sholat dzuhur berjamaah.

Dalam diskusi lanjutan, ia menceritakan punya akses ke Baznas DKI Jakarta. Di situ ia melihat peluang anak-anak aktivis yang terlantar sekolahnya, mungkin bisa dibantu. Agus belakangan aktif di Laznas Muhammadiyah.

Agus Lenon, ia aktivis lintas generasi, lintas ideologi, dan lintas profesi. Kami kerap jumpa di beberapa rumah sakit untuk menjenguk aktivis yang sakit dan tidak punya uang. Padahal kami juga sama-sama tidak punya uang. Juga jumpa di pemakaman beberapa aktivis.

Pertanyaan yang senantiasa diajukan adalah, "Kamu sudah punya cukup uang untuk bantu teman-teman? Atau masih kere juga?" Kami tahu jawaban pertanyaan itu, karena hanya tawa jawabannya.

Tiga hari lalu, rupanya Agus Lenon naik gojek menuju Rumah Sakit Jantung Harapan Kita di Slipi, Jakarta Barat. Ia mengeluh dengan kondisi tubuhnya. Ia terkendala di BPJS, karena ada tunggakan. Seorang teman membantu menyelesaikan administrasi tersebut. Agus akhirnya bisa dirawat.

Baru tadi malam saya dapat kabar tersebut saat buka WA grup aktivis Prodem. Paginya saya kembali lihat hp, ternyata Agus Lenon telah dipanggil Yang Maha Kuasa. Rencanamu mencarikan rumah dengan DP 0 persen untuk aktivis yang belum punya rumah, belum bisa direalisasi. Begitu juga rencana membantu sekolah anak-anak para aktivis. Niatmu yang luar biasa mulia telah tertulis sebagai bekal akhiratmu.

Allahuma firlahu warhamhu wa afihi wa' fuanhu. Bagi saya, orang seperti almarhum aktivis Amir Husein Daulay, dan Agus Lenon menjadi inspirasi bagi para juniornya. Selamat jalan senior, Agus Edy Santoso alias Agus Lenon. Semoga husnul khotimah.

Duka cita mengiringi kepergianmu.

***