2014 Lalu Seharusnya Jokowi Kalah, Ini Penjelasan Rahasianya

Minggu, 23 Desember 2018 | 15:33 WIB
0
1660
2014 Lalu Seharusnya Jokowi Kalah, Ini Penjelasan Rahasianya
Jokowi



Muslim yang pernah terdidik di alam pesantren pasti mengenal dengan yang namanya ilmu hikmah. Dalam ilmu hikmah, nasib bisa diubah dengan mengupayakan faktor-faktor tertentu. Pernah mendengar, seseorang harusnya hari ini mati tewas kecelakaan, tapi bisa selamat dan usianya dipanjangkan karena ternyata kemarin dia bersedekah? Bisa selamat, dengan faktor sedekah, ini ranah ilmu hikmah.
 
Di tahun 2015 saya terserang demam hebat, dan sakit kepala berkepanjangan karena gigi bungsu kanan dan kiri tumbuh dan tidak ada ruang lagi untuk gigi terakhir ini muncul (impaksi ekstrim) dan harus segera dibedah mulut. Saya kontak anak FKG UI yang koas bisa bantu tidak. "Belum berani kalau bedah mulut", katanya.
 
Akhirnya setelah dapat info rujukan ke drg SpBM, biaya minimal untuk bedah mulut itu antara Rp2jt-Rp4jt. Sementara waktu itu uang saya tinggal Rp250rb, saya tidak punya uang lagi. Dan rasa sakit membuat saya seperti mau mampus. Akhirnya apa, saya ambil shortcut yang selama ini sudah saya ketahui selalu ampuh, sedekah.
 
Waktu itu entah ada bencana apa di Sumatera, ACT Foundation membuka rekening donasi. Ya sudah, malam itu juga saya langsung ke ATM Central Park Jakarta, transfer Rp200rb ke rekening donasi. Pulang kembali ke kosan. Minum obat acetosal pereda nyeri lagi (yang hanya meredakan nyeri 3-4 jam saja), dan tidur.
 
Besoknya, pagi-pagi sekali, 2 gigi bungsu sumber sakit maha-dahsyat tersebut mendadak rasa sakitnya hilang. Demam hebat yang menyergap hingga semalam juga langsung reda. Dan sakit kepala hebat saya langsung musnah. Pagi itu saya mendadak sehat, setelah seminggu lebih seperti mau tewas.
 
Masuk akal? Sampai sekarang kalau saya ingat-ingat lagi kejadian tersebut, sangat di luar akal sehat, tapi faktanya saya benar-benar tidak pernah sakit gigi bungsu lagi sampai sekarang, yang normalnya secara medis harus dibedah.
 
Nasib Jokowi Berubah setelah Difitnah 
 
Ketika menjabat Gubernur DKI, Jokowi mengeluarkan statement, bahwa dirinya tidak memikirkan copras-capres, dan bahkan berkata bahwa dirinya akan “komit untuk memperbaiki DKI Jakarta dalam 5 tahun” (sumber: Kompas 2014).
 
Di titik ketika ia maju menjadi capres 2014, saat pilpres 2014 harusnya Jokowi kalah, yang kalau harus disebutkan secara kasar, “dosa” khianat terhadap amanah itulah yang seharusnya mengantarkan Jokowi kepada jurang kekalahan di pilpres 2014.
 
Namun nasib berbalik lain, Jokowi bisa menang. Jawabannya jelas dan terang-benderang: yakni karena Jokowi difitnah habis-habisan.
 
Mayoritas umat Islam pendukung Prabowo dari seantero Nusantara ramai-ramai memfitnah Jokowi sebagai PKI, komunis, kafir, Kristen (sampai sang ibu Jokowi Sudjiatmi juga tidak luput dari fitnah dan cacian), lalu hujatan asing, China, serta sederet hinaan dan caci-maki yang bahkan tidak berkesudahan hingga sekarang.
 
Bagaimana sudut pandang ilmu hikmah menilai hal tersebut? Dosa khianat yang dimiliki Jokowi, berpindah deras tertransfer terbagi rata kepada seluruh pencerca dan pencacinya. Dan sederet AMAL-AMAL PERBUATAN BAIK PKS, Amien Rais, La Nyalla, dan amal-amal perbuatan baik jutaan pendukung Prabowo di 2014 yang mencaci Jokowi, semuanya balik tertransfer ke Jokowi.
 
Posisinya jadi bagaimana? Do’a-do’a Jokowi yang seharusnya terhijab, tertolak, karena dosa khianatnya, menjadi diterima langit. Lha dosanya sudah ludes, disedot semua oleh para pencerca dan pencacinya.
 
Jadinya apa? Jadinya nasib membawa Jokowi menang sebagai presiden, dan Prabowo harus menelan nasib kalah karena telah melakukan pembiaran terhadap fitnah kepada Jokowi yang disusun La Nyalla di 2014.
 
"Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala sholat, puasa, dan zakat. NAMUN IA JUGA DATANG DENGAN MEMBAWA DOSA KEZALIMAN. IA PERNAH MENCERCA SI INI, MENUDUH TANPA BUKTI TERHADAP SI ITU […] MAKA SEBAGAI TEBUSAN ATAS KEZALIMANNYA TERSEBUT, DIBERIKANLAH DI ANTARA KEBAIKANNYA KEPADA SI INI, SI ANU DAN SI ITU. Hingga apabila kebaikannya telah habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang dizaliminya sementara belum semua kezalimannya tertebus, diambillah kejelekan/ kesalahan yang dimiliki oleh orang yang dizaliminya lalu ditimpakan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke dalam neraka.” (Hadits Shahih Muslim 6.522)
 
Hadits Nabi Muhammad.saw ini menjadi kenyataan. Belum di akhirat saja nasib La Nyalla sudah bangkrut, mendapat tuah dari apa yang sudah pernah dilakukannya. Ia ditelantarkan sendirian oleh Gerindra ketika berhadapan dengan Kejaksaan Agung. Fahri Hamzah nasibnya lebih apes, ditendang dari PKS. Amien Rais nyaris copot jantung terkait kasus aliran dana alkes.
 
Jadi sebetulnya kasihan sekali orang-orang Islam yang sampai hari ini masih mencaci-maki Jokowi, baik di sosial media maupun di dunia nyata. Amal-amal baik mereka hangus, malah dosa-dosa Jokowi dihibahkan kepada mereka tanpa mereka sadari. (Belum lagi ancaman Al-Qur’an, bahwa balasan Neraka Wail bagi pemaki dan pencaci). Rugi kuadrat. Catatan: faktor nasib sialnya Ahok juga sebenarnya karena Ahok khianat kepada Prabowo dan Gerindra, jika ditilik dari perspektif ilmu hikmah.
 
Lalu Pilpres 2019 Bagaimana?
 
 
Balik lagi, jika diukur dari sudut pandang ilmu hikmah, di pilpres 2019 kali ini Jokowi seharusnya tersungkur. Faktornya bisa berderet-deret, namun kita sebut 3 (tiga) saja.
 
PERTAMA, faktor Ma’ruf Amin. Paling andil dalam proses penjeblosan Ahok ke penjara dengan delik penistaan agama, namun hal yang sama tidak ditujukan kepada Rizieq Shihab yang menistakan agama Kristen ketika mengatakan: “kalau Tuhan beranak, lalu bidannya siapa?”. Juga tidak kepada Arifin Ilham yang terang-terangan mengatakan bahwa Nabi Muhammad tidak bisa berlaku adil. Juga tidak kepada Evi Effendie yang terang-terangan mengatakan bahwa Nabi Muhammad pernah sesat. Prinsip keadilan semestinya menghajar siapapun yang patut dihukum, tanpa pandang bulu.
 
KEDUA, faktor pembelaan terhadap minoritas. Jokowi tidak mampu memberikan rasa aman dan keadilan terhadap minoritas. Sedangkan inspirasi kriteria seorang pemimpin termaktub dalam Al-Qur’an surah Quraisy ayat 4: “wa amanahum min khauf”, memberikan rasa aman, dan membebaskan dari segala ketakutan. Kasus Meiliana terkait speaker adzan adalah contoh hilangnya wibawa pemerintah dalam membela minoritas.
 
KETIGA, faktor khianat untuk tidak menambah utang luar-negeri. (Sumber: Kompas, Juni 2014). Yang ini tidak perlu penjelasan panjang-lebar. Semua sudah mafhum.
 
Jadi, akhir bulan ini Anda bokek? Ingin jalan pintas dapat rezeki finansial? Bisa dicoba cara hikmah, dengan sedekah semampunya, dan biarkan keajaiban langit mengantarkan berkah dan mukjizat ke rumah Anda.
 
Dan, kalau Anda dicaci-maki atau difitnah dan fitnah itu tidak benar, berbahagia saja, sebab segala nasib sial yang seharusnya menghampiri Anda, bakal berbalik berpindah kepada orang-orang yang menyakiti Anda.
 
Life is full of mysteries. Wallahu a’lam.
 
 
***