Tentang Tukang Kayu di Mata Bekas Tukang

Rabu, 16 Januari 2019 | 07:24 WIB
0
2593
Tentang Tukang Kayu di Mata Bekas Tukang
Saat sosok Joko Widodo masih menjadi pengusaha kayu - Foto: FB JOKOWI.

Menjadi seorang tukang bukanlah pekerjaan yang bergengsi. Setidaknya begitulah dalam pandangan sebagian orang. Itu juga yang sempat saya alami langsung ketika sempat menekuni pekerjaan ini di sela-sela sekolah sampai dengan masa-masa awal kuliah. 

Bahkan, ketika seorang tukang kayu menjadi presiden pun ada saja yang meremehkan tukang. Ada semacam kesulitan menerima bagaimana bisa seorang tukang malah jadi penguasa.

Begitulah kira-kira terbetik di pikiran sebagian orang yang ingin mereguk indahnya puja-puji sebagai elite, dan belum pernah mengalami bagaimana bekerja di bidang yang tidak menjadi cita-cita kebanyakan orang.

Bisa dimaklumi. Sebab, kalau menanyakan ke anak-anak di perkampungan kumuh pun, apa yang menjadi cita-cita mereka, hampir mustahil menemukan jawaban, "Aku pengen jadi tukang kayu." Sebab kecenderungan siapa saja, menginginkan pekerjaan yang dianggap bergengsi, dan bisa membuat orang menaruh hormat kepada mereka.

Sedikitnya, itu juga menggambarkan kenapa sebagian orang tetap meremehkan ketika mereka harus melihat fakta bagaimana seorang tukang kayu menjadi penguasa. Di sini, tentu saja, yang dimaksudkan sebagai tukang kayu adalah Joko Widodo atau Jokowi.

Mungkin media sosial Anda pun sering disinggahi pemandangan bagaimana cibiran hingga cemoohan kepada sosok tukang kayu bernama Jokowi ini. Hampir bisa dipastikan, sebagian besar yang mencemooh itu adalah mereka yang masih bertahan dengan fantasi bahwa seorang penguasa itu semestinya yang memiliki trah para raja dan bukan dari rakyat jelata.

Tukang kayu mau tidak mau memang mewakili rakyat jelata. Pekerjaan tukang kayu bukanlah sebuah pekerjaan yang sering menghias halaman-halaman media massa. Kapan pekerjaan ini mulai sering disinggung hanya sejak tukang kayu bernama Jokowi memimpin Solo, lalu menangani Jakarta, dan belakangan justru meloncat ke kursi kepresidenan.

Ini menjadi fakta yang sulit diterima oleh kalangan yang "mengimani" bahwa seorang pemimpin, seorang presiden, semestinya adalah mereka yang bertubuh gagah, bersuara berapi-api, dan ... mungkin, sedikit pongah.

Lha, ini yang jadi presiden bukanlah orang yang punya suara berapi-api ketika bicara. Ia nyaris terbata-bata tiap kali mengangkat suara. Terlihat, dia bukanlah orang yang cukup terlatih untuk berbicara. 

Itu kekurangannya. Namun, kekurangan pun sejatinya juga merupakan sebuah kelebihan. Kenapa? Sebab kekurangannya dalam kemampuan berbicara justru mengukuhkan fakta lainnya bahwa ia memang bukan orang yang mau menghabiskan waktu untuk sekadar bicara. Ia membuktikan rekam jejaknya untuk lebih banyak bekerja daripada berbicara. 

Jika Anda pernah main-main ke tempat tukang kayu, Anda akan jarang menemukan mereka berbicara panjang lebar. Kalaupun jam istirahat, mereka lebih banyak menghabiskan dengan menenggak kopi, dan menyimak-nyimak ulang apa yang baru saja dikerjakan, di mana kurangnya, apa yang mesti dipoles, dan sebagainya.

Maka itu, kemampuan seorang tukang kayu, dapat dipastikan hanya membicarakan yang penting-penting saja. Menemukan mereka berbicara panjang lebar dengan bahasa yang dibuat-buat, akan sangat sulit untuk Anda temukan. Sebab mereka hanya memikirkan apa yang sudah dikerjakan, apa yang sedang dikerjakan, sebelum beranjak untuk memikirkan apa yang nanti mesti dikerjakan.

Itu juga kenapa saat seorang tukang kayu menggemakan "kerja, kerja, kerja" itu menjadi penegas budaya apa yang paling akrab dengan rakyat jelata yang pernah memilih pekerjaan sebagai tukang kayu. Sebab rakyat jelata terbiasa berpikir apa adanya, bahwa tak ada nasib yang bisa berubah hanya karena berbicara saja. Sebab yang paling lihai berbicara pun baru benar-benar dianggap dan dihargai orang jika kelihaiannya berbicara sama lihai dengan kemampuannya bekerja.

Setidaknya begitulah saya sebagai seorang mantan tukang kayu dan tukang bangunan ini melihat bagaimana profesi kami sebagai rakyat jelata membawa pengaruh pada kepribadian. 

"Eh, kapan elu jadi tukang bangunan dan tukang kayu?"

"Woy! Gue salah satu anak yang sudah mengenal dunia tukang saat gue mestinya masih ingin bergaya sebagai remaja!"

Saya sendiri saat menekuni pekerjaan ini pun dikelilingi oleh orang-orang seperti itu. Mereka adalah orang-orang yang terbiasa melatih fokus pada apa yang dikerjakan. Dari bagaimana membuat sesuatu yang kasar menjadi halus, memastikan ukuran satu dengan lainnya tepat seperti dibutuhkan, hingga bagaimana merekatkan sesuatu dengan lainnya. 

Dalam merekatkan itu, sebagian memang hanya cukup dengan lem saja, dan lainnya memang membutuhkan paku dengan ukuran sesuai kebutuhan. Tak jarang ada juga yang memang membutuhkan perpaduan antara lem dan paku sekaligus. 

Anda bisa menemukan itu pada sosok Jokowi. Ia bisa membuat orang-orang yang kencang meneriakkan permusuhan terhadapnya pun menjadi melunak di depannya. Orang-orang bisa berlagak ksatria di belakangnya, namun acap terlihat seolah kehabisan darah saat berhadapan dengannya.

Ini kemampuan seorang tukang kayu. 

Sebab para tukang kayu di manapun sangat lihai dalam memilih bagaimana merekatkan satu kayu dengan kayu lainnya, meskipun antara satu kayu dan lainnya berbeda jenis dan dan ukurannya. Dari sanalah lahir meja, kursi, hingga lemari, entah untuk membuat sebuah ruangan menjadi lebih indah, atau membantu segala sesuatu menjadi lebih tertata.

Kalaupun ada yang dibuang, ia akan memilih membuang sebagian kecil dari satu kayu, dan menyisakan sebagian besar lainnya. Sebab yang dipentingkan adalah bagaimana merekatkan sesuatu menjadi lebih baik, lebih indah, dan tentu saja kuat. 

Lah, bekas tukang seperti saya kenapa bisa lebih tertarik kepada tukang kayu dibandingkan seorang jenderal yang lahir dari kalangan elite, tak lain karena meyakini bahwa tukang kayu jauh lebih paham dan mengerti kehidupan rakyat biasa. Sebab ia sudah terbiasa menghadapi rakyat biasa, dan paham bahwa membantu mereka membutuhkan tangan yang acap bersentuhan dengan masyarakat biasa.

***