Dalam kebudayaan patriarkal, banyak perempuan diposisikan sebagai objek narasi orang lain. Tetapi Syahrini, dengan segala kegenitan dan kemewahannya, justru menulis narasinya sendiri, di atas panggung yang ia ciptakan sendiri. Ia adalah parodi sekaligus kemenangan.
Syahrini kembali membetot perhatian publik. Bukan karena karya baru yang ditampilkannya, bukan pula karena aksi sosial yang dilakukannyua, melainkan karena kehadirannya di Festival Film Cannes, sebuah peristiwa yang bagi sebagian artis adalah puncak karpet merah dunia.
Bagi Syahrini, kehadirannya di pusat festival film dunia yang bergengsi ini bukan sekadar soal gaun glamor yang dikenakan atau lensa kamera internasional yang menyorotnya, tetapi tentang bagaimana ia masih menjadi magnet pemberitaan di tanah air, bahkan setelah lebih dari satu dekade tampil dengan persona yang nyaris tak berubah.
Ketika membaca selintas mengenai keberadaan Syahrini di Cannes, Perancis, melalui algoritma yang dikembangkan media sosial sehingga lewat di linimasa saya, teringatlah Jean Baudrillard yang mengembangkan konsep simulacra atau simulasi yang pernah saya baca dengan penuh minat. Gagasan konsep ini adalah dalam dunia modern -khususnya yang dibentuk oleh media massa, iklan, dan budaya populer- simulasi atau representasi bisa menjadi lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri.
Simulacra adalah tiruan tanpa referensi asli, di mana realitas "asli" hilang atau tidak penting lagi karena kita lebih percaya pada versi yang dibentuk oleh media dan simbol.
Baudrillard membagi perkembangan simulacra dalam empat tahap, yakni pertama, simulasi yang mencerminkan realitas (masih ada hubungan dengan kenyataan), kedua simulasi yang menutupi dan mengubah realitas, ketiga simulasi yang berpura-pura menjadi kenyataan padahal tidak, dan keempat simulacrum murni di mana realitas hilang, hanya ada tanda atau simbol yang berdiri sendiri.
Ketika Syahrini pergi ke Festival Film Cannes, banyak orang di media sosial, infotainment, dan media massa menyorot penampilannya, gaun, gaya, dan foto-fotonya di karpet merah. Di sinilah konsep simulacra bisa digunakan untuk membaca peristiwa itu.
Simulacra dalam peristiwa tersebut antara lain bahwa Cannes sebagai simbol eksklusivitas dan kelas dunia. Pergi ke Cannes memberi kesan seseorang adalah bagian dari elite perfilman global, meskipun ia tidak terlibat langsung dalam film yang ditayangkan atau dinominasikan.
Syahrini menjadi citra selebritas internasional karena media dan publik melihat "Syahrini di Cannes" sebagai simbol keberhasilan, padahal mungkin ia hanya hadir sebagai tamu undangan brand tertentu, bukan sebagai tokoh perfilman. Di sini realitas menjadi kabur karena publik tidak lagi peduli apakah kehadiran itu berkontribusi pada festival atau sekadar fashion show. Yang penting: citra Syahrini telah menyatu dengan "kelas dunia".
Di sinilah hyperrealitas terjadi karena kehadiran Syahrini di Cannes menjadi lebih penting dan viral daripada kehadiran sutradara atau aktor film yang benar-benar diputar di sana. Realitasnya di mana fungsi asli Festival Cannes sebagai ajang film, tertutupi oleh simulasi citra glamor.
Dalam pandangan Baudrillard, Syahrini di Cannes adalah simulacra tingkat keempat, yakni citra tanpa realitas asal yang jelas. Ia bukan bagian dari film Cannes, tapi tampil seolah-olah begitu. Yang dikonsumsi publik bukan realitas, tetapi citra yang telah dibentuk oleh media dan simbol-simbol glamor.
Lalu pertanyaannya mengapa Syahrini masih menarik? Jawabannya barangkali bukan karena Syahrini, tetapi karena kita. Lho kok bisa kita? Dalam dunia yang digerakkan oleh citra dan representasi, Syahrini adalah simulakra Baudrillardian yang paling sukses di Indonesia, sebuah representasi yang telah tercerabut dari realitas, tetapi justru menggantikan realitas itu sendiri.
Ia adalah "karya seni" yang menciptakan dirinya sendiri lewat bahasa unik, gaya centil yang disengaja, ucapan-ucapan absurd yang menjadi meme nasional ("maju mundur cantik", "sesuatu banget"), hingga kisah cinta bak dongeng dengan Reino Barack, pengusaha tampan berdarah Jepang. Semua itu bukan lagi potret seseorang, tetapi konstruksi budaya pop yang hidup di kepala kita.
Syahrini adalah bukti bahwa dalam zaman ini, popularitas tidak lagi diukur dari prestasi, tetapi dari resonansi. Ia bergema karena masyarakat ingin bergema bersamanya. Kita menyukai "Syahrini" bukan karena siapa dia, tetapi karena apa yang kita bayangkan dia wakili, antara lain kemewahan, kemenangan, dan mungkin keberuntungan. Ia adalah impian kelas menengah dari artis asal Sukabumi yang merangkak menjadi ratu sosialita; dari panggung musik ke karpet merah Cannes.
Dalam masyarakat yang mendambakan mobilitas sosial, Syahrini adalah alegori keberhasilan versi zaman sekarang. Kita menonton dia bukan seperti kita menonton pekerja seni, tapi seperti menonton simbol, yakni ikon yang membuktikan bahwa dengan cukup "branding", dunia bisa menjadi panggung siapa pun.
Apa yang layak ditonjolkan dari Syahrini bukan sekadar statusnya sebagai istri Reino Barack. Itu hanya satu bab dalam narasi yang lebih besar, yakni narasi tentang perempuan yang mengerti cara mengelola dirinya sebagai kapital simbolik.
Dalam kebudayaan patriarkal, banyak perempuan diposisikan sebagai objek narasi orang lain. Tetapi Syahrini, dengan segala kegenitan dan kemewahannya, justru menulis narasinya sendiri, di atas panggung yang ia ciptakan sendiri. Ia adalah parodi sekaligus kemenangan.
Di ujung hari, barangkali Syahrini bukan sekadar fenomena hiburan, tetapi cermin dari kita sebagai bangsa, betapa kita masih menyukai keajaiban, betapa kita gemar menjadikan kehidupan pribadi orang lain sebagai mitologi, dan betapa kita rela memaafkan ketidakjelasan karya, asal ada cukup cahaya sorot kamera yang membuat segalanya terlihat glamor. Jika demikian, berita tentang Syahrini di Cannes bukan tentang dia berada di sana, tetapi tentang kita yang memilih untuk memperhatikannya.
Demikianlah sihir simulacra bekerja.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews