King Q. Laban| Nama Pena Kaukah Itu, Pepih Nugraha?

Barangkali, karena itu, Pepih cinta Borneo. Ia pun berlabuh di pulau terbesar ketiga dunia itu. Sebagai pegiat. Sekaligus pekerja literasi.

Kamis, 1 Juli 2021 | 22:14 WIB
0
293
King Q. Laban|  Nama Pena Kaukah Itu, Pepih Nugraha?
Dalam tempo sebulan, cetak ke-2/

King Q. Laban.

Adalah nama pena Pepih Nugraha. Ia kembali muncul di jagad sastra kita.

Nuansa serta kaidah-kaidah sastra dalam Alena, novel karya Pepih Nugraha ini, telah ada. Bahkan, sejak lama. Tatkala ia masih duduk di bangku SMP. Ketika, dia rajin membanjiri media-cetak dengan cerpen dan sejumlah novelnya. Yang ketika itu dikenal dengan "sastra koran".

Bagi kami, sastrawan dan penggila baca, nama-penanya sangat familiar.

Setelah puluhan tahun tak muncul di jagad sastra Indonesia, nama pena King Q. Laban ini menghadirkan novel Alena. Jika mengira bisa menebak ending novel ini, maka Anda keliru!

Tulisan fiksi Kang Pepih berupa cerpen dan cerbung dimuat antara lain di Majalah Hai, Bobo, Femina, Gadis, Nova, Anita Cemerlang dan majalah berbahasa Sunda, Mangle, baik dengan nama asli maupun nama pena, King Q. Laban. Sedangkan tulisan berupa artikel dan opini dimuat antara lain di Harian Kompas, Bisnis Indonesia, Surya, Intisari, dan lain-lain.

Setelah larut dalam dunia jurnalistik selama 26 tahun, Pepih sebenarnya tidak pernah benar-benar putus menulis fiksi. Selama itu pula, ia "memendam" cerita. Sedemikian rupa, sehingga mengkristal jadi Alena. Dan sejumlah cerita, buah dari imaginasi liar dan, mungkin, secuil pengalaman nyata. Baik yang ia sendiri alami, maupun orang sekitarnya rasakan.

Di sanalah sebuah novel menemukan mutunya: Ia setingkat di atas karya jurnalistik. Namun, setingkat di bawah karya filsafat. Sastra bermutu itu punya kaki yang berpijak di bumi. Tapi sekaligus menjolok ke tubir langit lewat imaginasi sang pengarang. Sering liar sebagai musang. Tapi jinak bagai bayi sedang mengisap susu-ibu.

Novel sejati: bukan laporan jurnalistik, namun bukan pula berada di awang-awang. Ia kombinasi keduanya. Itulah: sastra kontekstual. Cerminan masyarakat, waku itu.

Novel ini dalam proses-cetak ulang ke-2.  Cetakan pertama, sehabis pelucurannya di sebuah Kafe di Bilangan Karawaci, Tangerang (22/-06-2021), telah pun ludes. Habis. Tak menyisa satu jua. Selain dibeli di tempat, juga banyak dipesan para penggila baca dan sastra secara inden. Sebab penggalan-penggalan kisahnya telah pernah menggoda pembaca, fans Kang Pep. Karena memang sengaja "digoda" dengan cara mempostingnya di beranda FB. Tidak dihabiskan ceritanya. Dibiarkan mengambang. Setelah itu, berhenti.

Seperti itu teknik marketing. Jadi, menjual itu, yang benar: Sebelum buku terbit.

Novel ini terdiri atas 344 halaman. Sangat ideal bagi sebuah novel, semi-sastra serius.

Saya masih ingat. Ketika itu, saya memberi Pepih sebentuk cincin. Matanya jeli. Batu akik, khas bumi Borneo. Barangkali, karena itu, Pepih cinta Borneo. Ia pun berlabuh di pulau terbesar ketiga dunia itu, sebagai pegiat literasi.
Saya mengenal baik Pepih. Sejak tahun 1990-an. Sebagai sesama alumni UGM --begitu biasa kami menyebut-- Universitas Gramedia-- kami satu gaya. Satu dalam habitus. Juga dalam banyak hal. Namun, yang tak biasa: kami tetap menulis, berliterasi, meski berada di luar pagar perusahaan penerbitan. Bagi kami, menulis itu hobi sekaligus profesi. Sedemikian rupa, sehinggabukan semata olah imaginasi, melainkan olah kata yang jadi kepulan asap-dapur.

Diakuinya atau tidak, sayalah di tahun 2015 bilang, "Kang, orang kreatif seperti kita ini, tidak bisa dikerangkeng dalam sebuah lembaga, selamanya. Ide kita membuat kita senantiasa keluar-ruang. Menembus sekat bernama dinding kantor. Ke muka, kantor di mana-mana. Media berubah. Siapa saja bisa jadi penerbit. Kita ini punya segalanya: sebagai penyedia konten dan penerbit!"

 


 

Saya lebih dulu pensiun dini, 2013. Pepih menyusul empat tahun setelah itu.

Tak dinyana. Lima tahun kemudian, setelah pertemuan di halaman parkir itu, kami berkolaborasi. Di situ saya mafhum bahwa 1+1 bukan 2, melainkan bisa: 10, bahkan nirbatas. Kami memiliki beberapa media digital (PT). Dan menjadi pegiat literasi di mana-mana. Terutama di bumi Borneo, yang masih haus dan sangat antusias dalam literasi.

Saya masih ingat. Ketika itu, saya memberi Pepih sebentuk cincin. Matanya jeli. Batu akik, khas bumi Borneo.

Barangkali, karena itu, Pepih cinta Borneo. Ia pun berlabuh di pulau terbesar ketiga dunia itu. Sebagai pegiat. Sekaligus pekerja literasi.

Sastra bermutu itu punya kaki yang berpijak di bumi. Tapi sekaligus menjolok ke tubir langit lewat imaginasi sang pengarang. Sering liar sebagai musang. Tapi jinak bagai bayi sedang mengisap susu-ibu.

Saya telah baca tanpa meninggalkan sepatah kata novel ini. Tanpanya, koleksi penggila sastra menjadi tak-lengkap.

Dari kata pembuka, hingga tamat. Semua mengikat peristiwa satu dengan yang lainnya. Itulah ciri novel. Yang membedakannya dengan cerpen. Gagasannya utuh. Meski dipecah dalam bab-bab, tetap ia sebuah novel. Di sini menjadi genap bahwa: kumpulan cerpen, bukanlah novel! Tetapi novel, bab per bab dilihat secara lepas sendiri, dapat berbentuk cerpen!

Alena terdiri atas 51 bab. Dari "Adegan Itu" hingga "Hukum Keseimbangan". Mengapa 51? Kiranya hanya pengarang yang mafhum. Kita hanya bisa menduga-duga. Bisa jadi itu angka spesial: ulang tahun ke-51kah, nomor rumah, nomor kamar, tahun, atau....? Yang pasti, itu angka punya kisahnya sendiri! Bisa jadi novel, setidaknya cerpen.

Saripati isi:

Dua lelaki asing hadir dalam kehidupan Alena, wartawati muda blasteran India-Sunda dengan waktu kemunculan hampir bersamaan. Dua lelaki asing yang pada mulanya sama-sama menjengkelkan telah mengubah hidup Alena secara drastis. Hidup yang semula tenang dengan materi berlimpah karena orangtuanya, Bhaskoro-Sonya, pengusaha energi terpandang, kemudian menjadi tidak berarti sama sekali atas pengakuan salah satu dari lelaki asing itu, yang secara tidak terduga mendaku sebagai ayah kandungnya. Lelaki asing lainnya tak kalah menjengkelkannya meski perjumpaan pertama didahului sebuah kecelakaan lalu-lintas yang hampir merenggut nyawanya. Namun, kepada pemuda lugu itulah Alena melabuhkan cinta sejatinya.

***

Endorsement, atau peneguhan, penguatan, atau apa kata orang yang dianggap mengenal dan mafhum suatu bidang. Novel ini diberi dua orang: Ahmadun Y. Herfanda dan R. Masri Sareb Putra.

Demikian tertera pada halaman preliminary novel Alena:

Rasa cinta yang terpendam lama kadang bisa meledak menjadi kisah yang menakjubkan. Suatu keajaiban dari Pepih Nugraha, novelis Alena ini, yang layak dinikmati sebagai bacaan yang mengasyikkan.

Saya terkagum pada kepiawaian Pepih Nugraha, sang pengarang, membangun plot dengan narasi, dialog, dan latar yang mempesona.

-          Ahmadun Yosi Herfanda, Sastrawan senior dan Pemred litera.co.id

Saya telah membaca novel ini. Tanpanya, koleksi penggila sastra menjadi tak-lengkap.Dari kata pembuka, hingga tamat. Semua mengikat peristiwa satu dengan yang lainnya. Itulah ciri novel. Yang membedakannya dengan cerpen. Gagasannya utuh. Meski dipecah dalam bab-bab, tetap ia sebuah novel. Di sini menjadi genap bahwa: kumpulan cerpen, bukanlah novel! Tetapi novel, bab per bab dilihat secara lepas sendiri, dapat berbentuk cerpen!

Nuansa serta kaidah-kaidah sastra dalam Alena, novel karya Pepih Nugraha ini telah ada. Bahkan, sejak lama. Tatkala ia masih duduk di bangku SMP. Ketika, dia rajin membanjiri media-cetak dengan cerpen dan sejumlah novelnya. Yang ketika itu dikenal dengan "sastra koran". Bagi kami, sastrawan dan penggila baca, nama-penanya sangat familiar.

Setelah puluhan tahun tak muncul di jagad sastra Indonesia, nama pena King Q. Laban ini menghadirkan novel Alena. Jika mengira bisa menebak ending novel ini, maka Anda keliru!

-          R. Masri Sareb Putra, Angkatan 2.000 dalam Sastra Indonesia, pengarang dan penulis.

 

Silakan Pembaca langsung mengecap indah sekaligus sihir Alena. Ia lebih indah dibaca daripada dicerita!

***