Tafsir atas Sebuah Foto Keluarga Soekarno

Namun secara umum benang merahnya sangat jelas, mereka mewarisi keping-keping sifat baik ayah ibunya. Yah, kepingan-kepingan loh. Jadi gak pernah utuh...

Selasa, 9 Februari 2021 | 22:16 WIB
0
570
Tafsir atas Sebuah Foto Keluarga Soekarno
Keluarga Soekarno (Foto: Dok. pribadi)

Apakah sebuah foto bisa meramalkan masa depan? Bisa ya, bisa tidak. Tapi jika dirimu adalah "orang besar" berhati-hatilah. Karena kelak akan ada manusia yang mengotak-atiknya. Dalam kultur Jawa itu namanya "ilmu gothak-gathuk". Menghubung-hubungkan sesuatu yang bisa atau tidak saling terhubung, tapi "dipaksa" untuk saling terhubung. Jadi santai saja, kalau saya menafsirkan kartu pos di bawah ini. Saya satu di antaranya...

Ya foto yang ada dalam kartu pos ini lahir pada era pasca kemerdekaan. Periode, yang saya anggap ditandai dengan kualitas kartu pos yang jatuh harga: cetakannya jelek, kasar, dan sembarangan banget. Cuma sedikit lebih baik dari kualitas cetak cover majalah. Jauh bila dibanding periode emas pada era 1890-1910, dimana kualitas cetak kartu pos sangat tinggi, artistik, dan tahan lama!

Lucunya, ya lucunya. Pada masa itu, bahkan gambar keluarga presiden bebas dijadikan kartu pos. Menunjukkan rasa cinta dan harapan yang sedemikian tinggi dari masyarakat pada presiden pertamanya ini. Berdasar penyelidikan singkat, foto ini, saya perkirakan berasal dari awal 1950-an, saat keluarga Sukarno masih "utuh". Saat ia belum lagi terkena penyakit suka kawin-cerai.

Saat ia, belum lagi menganggap kawin-cerai adalah obat stress menghadapi tekanan politik yang nyaris tak pernah surut sejak ia memproklamirkan kemerdekaan. Bukan saja politik dalam negeri yang tak kunjung stabil. Tapi keberaniannya berkonfrontasi dengan negara manapun yang dianggapnya kaki tangan imperialisme dan kapitalisme. Sungguh memeras energi yang luar biasa beratnya. Dan "perempuan adalah solusinya". Halah, rasah nesu!

Menurut saya ini adalah foto keluarga, yang diambil tak lama ketika anak keempatnya, Sukmawati lahir dan jauh waktu sebelum Guruh lahir. Sebagaimana kita tahu Sukmawati lahir pada 26 Oktober 1950, artinya ini foto sekira awal tahun 1951. Sedang Guruh lahir pada 13 Januari 1953. Sebagai tambahan informasi Sukarno meminang Hartini tahun 1953, saat ia berumur 29 tahun dengan berstatus janda lima anak.

Kelak Hartini inilah satu-satunya yang mempertahankan status sebagai istri Sukarno, walau Sukarno berkali-kali kawin cerai. Di pangkuan Hartini jugalah, Soekarno menghembuskan napas terakhirnya di RS Gatot Subroto pada 21 Juni 1970. Ini adalah perkawinan paling istimewa di mata saya. Satu-satunya yang bisa diterima, secara sosial-politik-budaya. Jadi resep mulia kalau mau poligami, carilah janda yang beranak banyak. Weh!

Kembali ke tafsir foto di bawah ini. Tampak wajah Sukarno yang selalu ingin tampak berwibawa, bahkan ketika ia berada di tengah anak istrinya. Tapi foto ini gagal menyembunyikan bahwa ia tidak happy, jatuhnya gak enak. Entah kenapa, ia tak pernah nyaman ketika harus berfoto dalam formasi lengkap keluarganya. Beda kalau ia hanya dengan anak-anaknya, atau sebaliknya hanya dengan istri-istri barunya. Karakternya sebagai "don juan" menghalanginya untuk itu barangkali. Hooh po?

Sebaliknya, wajah Fatmawati tampak ceria, tersenyum lebar, tapi tak lagi secantik ketika ia dilamar Sukarno. Pernikahan yang harus mengorbankan Inggit Ganarsih yang tak mau dimadu. Kelak, ia harus membayar mahal (pakai banget) melihat laki-laki yang dicintainya itu berkali-kali secara resmi menikahi enam wanita lainnya. Dan entah berapa kali menselingkuhi yang lainnya....

Di luar keduanya, saya ingin menyoroti keempat anak Sukarno dalam posenya masing-masing. Guntur duduk di kursi kecil terpisah, tampak tenang dan dingin. Foto ini saya pikir berhasil menujumkan kelak ia tak pernah sungguh-sungguh mau terjun ke hiruk pikuk dunia politik, atau bahkan lebih buruk dari itu "sekedar dunia ramai". Ia lebih suntuk pada hobi yang sangat personal dan soliter: fotografi.

Sebaliknya dengan Megawati, yang menunjukkan bahwa ia punya bakat kepemimpinan yang lebih. Ia berdiri dan menunjukkan kepedeannya yang tinggi. Semuda itu, ia berani berdiri bahkan jauh lebih tinggi dari ayah-ibunya. Kelak, ia lah yang menjadi penerus ayahnya, menjadi penjaga Pancasila dan UUD 1945. Yang akhir-akhir ini terus menerus digempur dan dilecehkan sebagai tak relevan lagi dengan zamannya.

Sedang dua anak perempuan lainnya. Rachmawati yang duduk di tengah bapak ibunya, menunjukkan bahwa figur ini selalu in-secure dan selalu berada di bawah bayang-bayang ayahnya. In-secure bisa dibaca sebagai "serba tanggung". Walau selalu mendaku sebagai "penyambung lidah Bung Karno", mendirikan Universitas Bung Karno. Tapi yaitu tadi tak pernah mencapai puncak prestasi tertinggi. Ia sering ribet (baca: ribut juga), bahkan dengan saudaranya sendiri.

Sukmawati, mungkin karena ia masih bayi. Tak fokus saat difoto, pandangannya menengok ke arah lain. Arah yang tak jelas. Tapi apakah hidupnya tak sejelas itu? Entahlah, atau minimal saya gak berani menafsir. Namun secara umum benang merahnya sangat jelas, mereka mewarisi keping-keping sifat baik ayah ibunya. Yah, kepingan-kepingan loh. Jadi gak pernah utuh...

Kartupos ini dikirimkan dalam rangka menyambut Iedul Fitri pada tahun 1955, dari seorang yang bekerja di Dinas Kereta Api di Aceh ke kerabatnya di Padang. Sebuah sinyal bahwa nasionalisme Aceh pada masa itu untuk mendukung Sukarno sangatlah luar biasa. Rasa cinta mereka pada Bung Karno luar biasa. Sekarang?

Sekali lagi ini hanya sebuah tafsir, cara membaca dokumen karya visual lama. Karena itulah pekerjaan dan hobby yang paling saya minati. Jika ada salah, sebagaimana pesan kartu pos ini: Maaf, Dosa Zahir Bathin, Dunia Akhirat, Sekeluarga.....

NB: Kartupos koleksi Indonesia Early Visual Documentary (IEVD) (c. 1955).

***