Perginya Sang Pembawa Cahaya

Bu Noto tak pernah menunjukkan keraguan tentang kemampuan anak sulungnya memimpin sebuah negara sebesar Indonesia. Ia yakin anaknya menyerap dengan baik ilmu hidup.

Kamis, 26 Maret 2020 | 07:08 WIB
0
363
Perginya Sang Pembawa Cahaya
Sujiatmi ibunda Jokowi (Foto: indozone.com)

Setiap kali perkembangan politik di dalam negeri tak bisa lagi dicerna akal sehat, maka saya menghubungi seorang ibu yang mengajar kesederhanaan. Kadang-kadang selesai melalui pembicaraan telepon, tapi sering juga harus bertemu langsung.

“Saya masih melihat cahaya di wajahnya, jadi Mbak Kristin tenang saja,” katanya suatu kali sambil mempersiapkan sambel tumpang di meja makan. Setelah itu saya merasa ayem, lega.

Seorang ibu bisa merasakan apa yang dialami anaknya meskipun tidak semua masalah bisa diceritakan. Apalagi bila masalah yang harus dipikirkan menyangkut bangsa dan negara. Tak mungkin semua dibicarakan.

Komunikasi Ibu Sujiatmi Notomiharjo dengan anak-anaknya, terutama si sulung yang tak mungkin bisa ditemui setiap saat, dilantarkan lewat tahajud yang dilanjutkan dengan sholat subuh.

Begitulah Ibunda Presiden Joko Widodo memberikan dukungan lahir-batin pada anak-anak dan seluruh keluarganya. Dari Bu Noto, Jokowi belajar menelan fitnah. Dari Bu Noto, Jokowi belajar kerja kerja kerja… Dari Bu Noto, Jokowi belajar kesederhanaan.

Dari Ibunya, Jokowi belajar untuk mengutamakan kerja nyata daripada berpolemik. Apalagi mencari kambing hitam untuk dipersalahkan. Bu Noto mengajar dalam perbuatan. Ia tidak pernah nutuh, menyalahkan orang lain. Orang yang menghadapi persoalan itu sudah susah. Kalau kita nutuh, itu bikin makin susah.

Pertalian kuat dengan Ibunda juga ditunjukkan Jokowi. Ia bisa kapan saja muncul di rumah ibunya, Jalan Pleret, Sumber, Solo. Meskipun hanya dalam hitungan menit, Jokowi akan menyempatkan diri bertemu ibunya bila memungkinkan dari segi waktu dan jarak.

Di awal-awal masuk Jakarta, Sang Ibu selalu tampak di mana pun Jokowi berkampanye. Ia selalu menguatkan, ia selalu mendorong, ia selalu memompa semangat untuk terus bekerja tanpa lelah. Persis seperti yang dilakukan Bu Noto ketika menguatkan anak sulungnya itu ketika menghadapi kekecewaan karena tidak bisa masuk SMA favorit di Solo.

Humor khas Jokowi juga diperoleh dari ibunya. Suatu hari, buku yang saya tulis bersama Fransisca Ria Susanti, terbit dalam edisi Bahasa Inggris atas inisiasi Rio Sarwono. Rupanya itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi Bu Noto. Ia katakan, boleh saja dia (Jokowi) punya banyak buku, tapi yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris buku saya…

Bu Noto tak pernah menunjukkan keraguan tentang kemampuan anak sulungnya memimpin sebuah negara sebesar Indonesia. Ia yakin anaknya menyerap dengan baik ilmu hidup. Bahwa hidup tak selalu berjalan lurus seperti yang diinginkan. Bahwa hidup tak melulu soal menang dan bahagia, tetapi ada juga masa berjuang dan bekerja.

Sang Pembaca Cahaya itu telah pergi… Selamat jalan Bu Noto, ilmu kesederhanaan, pengetahuan hakiki tentang kehidupan manusia bukan hanya menjadi milik Joko Widodo, Iit Suryantini, Idayati, dan Titik Ritawati, tetapi juga kau ajarkan pada seluruh bangsa Indonesia…

Kristin Samah

***