Ki Dalang di Pulau Buru

Apa persamaan Ki Dalang Panjang Mas dengan Ki Seno Nugroho. Keduanya harus "tiba-tiba" berhenti. Sebuah ciri yang nyaris sama pada dalang kondang yang tiba-tiba memiliki segalanya.

Kamis, 5 November 2020 | 08:16 WIB
0
377
Ki Dalang di Pulau Buru
Ki Seno Nugroho (Foto: inews.id)

Setiap kali seorang dalang meninggal, setiap kali itu pula saya teringat satu situs paling unik, paling keramat, dan paling ajaib menurut saya. Berbeda dengan banyak "situs cinta", ia tetap abadi hidup dan menghidupi. Sebuah situs yang menggambarkan "kesejatian cinta", atau bolehlah dibalik sebagai cinta sejati.

Apa pun, Tanah Mataram ini memang menyimpan seribu satu kisah cinta ala Romeo dan Yuliet. Salah satu yang paling populer adalah tentu saja legenda cinta Rara Mendut dan Prana Citra. Tapi di luar itu banyak yang lain, sama tragik dan dramatisnya.

Kisah ini juga menjadi "keramat", karena legendanya menjadi abadi karena bukan saja situs ini dikenang, namun diluhurkan sebagai tempat untuk mewisuda seorang menjadi seorang dalang dan/atau sinden. Dan terakhir bisa disebut ajaib, karena inilah satu-satunya situs di bekas Kraton Plered yang hingga hari ini secara fisik masih utuh. Di Plered sebagai bekas pusat transisi (aneh ya, lebih tepat sebagai ibukota yang gagal), menjadi satu-satunya situs yang justru masih tersisa.

Inilah Situs Ratu Malang dan Dalang Panjang, yang terdapat di Bukit Gunung Kelir, Pleret, Bantul. Sebuah makam yang menurut saya dinamai dengan sangat tragik sekaligus mistis sebagai Makam Antakapura, yang berarti “istana kematian” atau “istana tempat menguburkan jenazah”. Istana kok kematian?

Kisah cinta yang tragis pasangan dalang dan sinden. Sial, saking cantiknya si sinden membuat jatuh cinta Raja Amangkurat I. Saking cintanya Sang Raja, bahkan ia rela menyisihkan sang permaisuri dan selir-selirnya yang lain demi sang sinden berparas cantik bernama Retno Gumilang. Sedemikian mabok kepayangnya sang raja hingga membuat si sinden disebut Ratu Malang. Ratu yang menghalang-halangi si permasuri dan selir-selir yang lainnya...

Padahal sang sinden secara de facto telah berstatus sebagai istri dalang kondang bernama Ki Dalang Panjang Mas. Upaya mempersunting si sinden yang ternyata tengah hamil dua bulan itu gagal, karena ditolak oleh sang suami. Tak kurang akal, sang raja menanggap si dalang dalam suatu acara meriah, yang ternyata tak lebih tipu muslihat. Karena dalam acara tersebut, pak dalang berserta seluruh kru-nya baik penabuh gamelan dan sinden diracun. Dan mati terbunuh!

Si putri cantik tak rela melihat suaminya diracun, dan ikut mati meminum racun. Tragik sebagai sebuah cinta yang platonik....

Makamnya dibangun megah, entah oleh siapa? Sebuah benteng kecil di atas bukit. Yang berisi makam sang sinden dan pak dalang, dengan seluruh sinden dan penabuh gamelannya. Inilah makam yang paling dikeramatkan mereka yang menekuni profesi yang sama. Untuk naik setapak demi setapak ke puncak kariernya.

Hari kemarin Sang Dalang kondang dari Jogja meninggal. Ia dianggap sebagai dalang dari Jogja yang paling kondang yang tercatat. Secara teknis, pedalangan Jogja memang relatif inferior dan kurang menjual bila dibanding "saudara"-nya dari Surakarta. Apalagi dibanding dalang pesisiran yang relatif lebih ugal-ugalan seperti dari Tegal atau Semarang misalnya...

Ki Seno Nugroho adalah "dalang modern", yang bisa tangan kanannya sambil memegang wayang, tangan kirinya memegang ponsel. Ia fasih berbahasa gaya anak milenial, sambil tanpa sungkan menggoda pesinden dan mengumumkan tranferan donasi. Ia adalah prototype dalang masa kini. Memahami seni tradisi berikut berbagai tetek bengek nilai adi luhungnya, tapi tak sungkan menyesuaikan diri dengan cara bergaul kekinian....

Apa persamaan Ki Dalang Panjang Mas dengan Ki Seno Nugroho. Keduanya harus "tiba-tiba" berhenti. Sebuah ciri yang selalu nyaris sama pada dalang kondang yang tiba-tiba telah memiliki segalanya: popularitas, kekayaan, dan terutama dikelilingi wanita-sanita yang cantik dan menarik....

Akhir-akhir ini pertanyaannya menjadi sama; bagaimana merawat "nyawa" agar bisa lebih panjang. Nyawa di sini tidak sekedar usia, tetapi terutama bara, gairah, dan semangat agar bisa sedikit lebih panjang. Tidak mudah, bahkan semakin tidak mudah di hari ini...

Tidak mudah, karena kitalah yang selalu merasa di Pulau Buru. Terburu-buru, terus diburu, makin memburu. Sehingga selalu saja kita dipaksa bergumam terlalu cepat: lirih, miris, menangis.

Sugeng Tindak Ki Dalang...

***