Putri-putri Sulung Dua Presiden RI yang Kembar Tanggal Lahir tetapi Beda Haluan

Jumat, 25 Januari 2019 | 21:17 WIB
1
515
Putri-putri Sulung Dua Presiden RI yang Kembar Tanggal Lahir tetapi Beda Haluan
Ilustrasi Megawati dan Mbak Tutut (Foto: Tirto.id)

Mereka ditakdirkan menjadi putri orang nomer satu di Indonesia dalam masa yang cukup lama, tumbuh dewasa di lingkungan istana dan mengakhiri masa-masa kejayaan sang ayah dalam keadaan yang kurang baik. Di tanggal yang bersamaan, mereka memperingati masa dimana ibunda melahirkan mereka.

Adalah Dyah Permata Megawati Soekarnoputri terlahir dari rahim ibu Fatmawati Soekarno di Yogyakarta pada tanggal 23 Januari 1947. Berselang 2 tahun, Siti Hardijanti terlahir dari Rahim ibu Siti Hartinah Soeharto pada tanggal yang sama. Keduanya adalah anak pertama dari beberapa bersaudara.

Megawati tumbuh dalam gemblengan bung Karno dengan jiwa marhaenis, sejak remaja kerap kali diajak ayahnya dalam agenda-agenda politik. Tumbuh dewasa ditempa berbagai ujian dalam kehidupan rumah tangganya sejak meninggalnya suami pertama, Megawati menjadi pribadi yang tangguh.

Pasca Bung Karno diberi status tahanan politik pada akhir masa jabatannya hingga pergantian kekuasaan pemerintah menjadi orde baru, banyak kesulitan ia dapatkan sebagai imbas karir politik ayahnya. Megawati pernah kuliah di Universitas Padjadjaran dan tidak bisa melanjutkan kuliahnya karena tekanan Orde Baru.

Megawati membesarkan ketiga anaknya, Mohammad Rizki Pratama, Mohammad Prananda dan Puan Maharani melewati tiga biduk rumah tangga. Suami ketiganya, Taufik Kiemas menjadi pengantarnya menuju kursi Wakil Presiden di tahun 1999-2001 dan menjadi Presiden di tahun 2001-2004. Taufik Kiemas yang juga adalah rekan aktifis Mega di PDIP adalah suami terakhir beliau hingga saat ini yang meninggal di tahun 2013.

Pasca reformasi, Megawati punya ruang gerak yang leluasa dalam dunia politik. Setelah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan terlahir di tahun 1999, Megawati pun bisa menunjukkan taringnya dalam kancah politik nasional.

Lahirnya PDIP jadi simbol benih demokrasi marhaenis dari Soekarno yang akan disemai oleh Megawati. Meskipun begitu, perjalanan memimpin PDIP tak semulus yang direncanakan. Banyak cobaan dan fitnah yang menyerang hingga PDIP tampil sebagai partai terbesar di negeri ini.

Tutut terlahir sebagai anak pertama dari seorang prajurit bernama Soeharto yang terus naik karir pangkatnya menjadi letnan jenderal. Di usia Tutut yang ke-18 tahun ayahnya mendapat amanah menjadi Presiden RI yang ke-2 menggantikan presiden Soekarno.  

Sejak itu, orde lama berganti orde baru. Tutut pun aktif dalam partai Golongan Karya seperti ayahnya, Soeharto. Dia pernah menjabat sebagai anggota DPR Fraksi Golkar sejak 1 Oktober 1992 hingga 14 Maret 1998.

Tutut menikah dengan Indra Rukmana dan memiliki 4 orang anak yaitu Dandy Nugroho Hendro Maryanto, Danty Indriastuti Purnamasari, Danny Bimo Hendro Utomo dan Danvy Sekartaji Indri Haryanti Rukmana. Tutut juga pernah menjabat sebagai Menteri Sosial Republik Indonesia pada Kabinent Pembangunan VII sejak 14 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998 Tutut mengundurkan diri bersamaan dengan pengunduran diri ayahnya, Soeharto, sebagai Presiden RI.

Sisa-sisa kekejaman PKI yang menyeret nama Bung Karno hingga ia dijadikan tahanan politik dan diturunkan dari jabatannya membuat adanya kesenjangan politik terhadap pelaku orde lama dan orde baru. Sementara Megawati dan adik-adiknya sempat hidup dalam keterbatasan ruang gerak.

Jika anak-anak bung Karno kesulitan banyak akses, anak-anak Soeharto justru sebaliknya. Tapi untungnya, saat Mega berkuasa sebagai wakil presiden dan presiden, tak terbesit sedikitpun di benaknya untuk membalaskan perlakuan buruk pemerintahan orde baru terhadap ayahnya dan keluarganya.

Anak cucu Soeharto disebut-sebut memiliki akses yang luas dalam memanfaatkan fasilitas dan kekayaan negara. Di masa orde baru, Tutut bersama adik-adiknya memegang proyek-proyek strategis nasional. Aksi reformasi yang digerakkan oleh Amien Rais dan dilakukan oleh himpunan-himpunan mahasiswa dari berbagai kota akhirnya berhasil memaksa Soeharto turun dari jabatannya setelah 32 tahun menjabat.

Korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah mengakar selama bertahun-tahun yang membuat rakyat jengah dan melawan. Tutut dan adik-adiknya pun terkena imbas. Ibarat sudah diberi buaian selama bertahun-tahun dan harus tercoreng nama baiknya secara tiba-tiba. Jabatan politik yang Tutut miliki pun terpaksa dilepaskan. Sebagian aset keluarga Cendana pun disita oleh negara karena dianggap hasil korupsi, kolusi dna nepotisme.

Dulu Tutut memiliki saham yang cukup besar di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Sejak tahun 2005 TPI dikelola bersama oleh perusahaan Tutut dan bekerjasama dengan perusahaan MNC Harry Tanoe. Karena perusahaan Tutut memiliki banyak hutang yang sudah disehatkan oleh grup MNC maka kepemilikan TPI ini pun beralih ke MNC.

Sempat ada sengketa di antara mereka selama 8 tahun dan saat ini TPI yang sudah berubah nama menjadi  MNC TV masih mengudara. TPI sendiri awalnya merupakan perusahaan milik ibu Tien Soeharto yang diwariskan ke Tutut.

Hingga kini, Tutut kini tercatat sebagai peringkat ke-130 orang terkaya di Indonesia dengan harta ditaksir mencapai 205 juta USD atau sekitar 2,9 triliun rupiah. Kekayaan Tutut bertambah 5 juta USD jika dibandingkan di tahun 2017. Kekayaan Tutut diketahui berasal dari PT. Citra Lamtoro Gung Persada, sebuah perusahaan yang bergerak di proyek pengelola jalan tol, property dan investasi bisnis.

Sudah rahasia umum jika keluarga Cendana dengan keluarga proklamator Bung Karno hingga kini tidak sejalan dalam kepentingan politik. Megawati bersama PDIP dan koalisinya berusaha untuk meninggalkan pola yang diterapkan oleh Orde Baru. Sementarai itu, Tutut yang kini bersama adik-adinya mendirikan Partai Berkarya justru berusaha mengembalikan iklim yang sama seperti di zaman ayah mereka berkuasa.

Partai Berkarya yang tergabung dalam koalisi Indonesia Menang yang mengusung Prabowo dan Sandiaga Uno sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden mengusung slogan mengembalikan kejayaan Orde Baru.

Seperti kutub utara dan kutub selatan, kedua putri sulung dari dua pemimpin negeri ini, meskipun lahir di tanggal yang sama mereka berlawanan haluan. Kontestasi politik pun membuat perang opini yang sering bersinggungan dengan emosi yang tak terhindarkan.

Bayangkan jika mereka berdua dilahirkan hanya sebagai rakyat biasa, bukan anak pejabat manapun dengan konflik apapun. Dengan hari lahir yang sama, mereka yang sama-sama anak putri sulung bisa jadi punya karakter psikologis yang mirip. Mereka bisa saja menjadi sahabat baik, bahkan seperti saudara sendiri. Tetapi begitulah politik, kepentingan di atas segalanya.

Megawati tak pernah meminta terlahir menjadi anak presiden bahkan proklamator yang selalu dipuji tapi sekaligus dihujat dan dibunuh karakternya di sisi lain. Begitupun Tutut, pastinya sebagai gadis remaja 18 kala itu melihat ayahnya dilantik menjadi presiden yang ada hanya rasa bangga. Mungkin tak pernah terlintas di benaknya bahwa peristiwa menyakitkan akan terulang kepada ayahnya seperti di akhir karir politik seorang bung Karno.

Kedua Srikandi Indonesia ini punya rekam jejak yang terus tersimpan di hati masyarakat. Semoga apa yang sudah dilalui bisa jadi pelajaran bagi banyak pihak. Selamat hari lahir, Ibu Mega dan Mbak Tutut!

***