Nasionalisme Hilman dan Nasihatnya yang Universal

Hilman seperti menanamkan kesadaran kebangsaan secara tersirat. Entah karena pribadinya yang nasionalis, atau memang itu kecenderungan semua masyarakat kita masa itu.

Rabu, 9 Maret 2022 | 15:39 WIB
0
834
Nasionalisme Hilman dan Nasihatnya yang Universal
Hilman Hariwijaya (Foto: kompas.com)

Berita dukacita pagi ini rasanya sungguh memilukan hati. Penulis Hilman Hariwijaya meninggal dunia di usia 57 tahun. Bagi anak-anak era akhir 80an dan awal 90an, siapa yang tak kenal tokoh Lupus ciptaan Hilman?

Anak SMA Merah Putih yang selalu cuek bebek, gemar mengunyah permen karet, berambut ala John Taylor sekaligus wartawan freelance majalah HAI. Lupus menjadi patron idaman remaja-remaja masa itu. Karya Hilman yang lain, Olga si penyiar radio yang gemar bersepatu roda, juga laris dan (lagi-lagi) menjadi patron remaja masa itu. 

Sebenarnya bukan hanya Lupus cerita remaja yang meledak dan populer saat itu. Ada juga Catatan Si Boy karya Zara Zettira. Tapi Lupus dan si Boy bisa dibilang bagai langit dan bumi. Si Boy digilai, tokoh ideal nyaris utopis, tetapi si Boy terlalu sulit untuk ditiru. Ia kemana-mana naik Baby Benz, nyaris tak pernah punya masalah keuangan sehingga bisa dengan mudah gaul dan selalu tampak keren. Dengan mengendarai Baby Benz, terlihat keren tentu gampang. Jadilah si Boy hanyalah mimpi para remaja, bukan keseharian mereka.

Lupus berbeda. Hilman menuliskan Lupus persis seperti mayoritas remaja saat itu. Berjejalan di bis kota, mengayuh sepeda balap, atau beramai-ramai naik mobil orang tua teman yang kebetulan kaya. Sering bokek dan ditolak cewek.

Populernya Lupus juga diikuti dengan ramainya remaja berambut ala John Taylor, dengan jambul panjang di depan, tetapi tetap pendek di belakang. Dan satu lagi, sejak Lupus, semua remaja kembali mengunyah permen karet.

Selain berkisah yang dekat dengan keseharian remaja masa itu, kisah Hilman juga sangat lucu untuk zamannya. Kita tentu tak akan lupa pada tokoh Fifi Alone si artis karbitan. Di lihat dalam kacamata saat ini, Fifi layak disebut gemar pansos. Demi terlihat ‘ngartis’, Fifi gemar menggunakan Bahasa Belanda dalam percakapannya: eike, jij juga aneka istilah asing yang tidak pas. Kita akan terpingkal-pingkal membacanya, seperti juga jokes-jokes tentang anak Jaksel masa kini. 

Lupus pun diceritakan sebagai anak yang mendapat kebebasan dari Maminya. Mami akan lebih pusing mencari sendok yang hilang daripada memikirkan Lupus yang belum pulang. Jadi bila ingin dicari Maminya, Lupus akan membawa sendok. Dijamin Mami akan mencari.

Di kisah lain tentang Lupus cilik, ia punya seorang teman yang selalu menyanyi Gundul Gundul Pacul saat diminta guru untuk menyanyi. Sekalinya ia diminta menyanyikan lagu Halo Halo Bandung, si bocah dengan mantap bernyanyi; “halo halo bandung-dung…”

Lalu apa pembeda besar remaja masa Lupus dan para millennial masa kini? Jelas gadget. Tak ada gadget di era Lupus. Sebagai penulis freelance, Lupus diceritakan masih mengetik naskah-naskahnya secara manual bahkan saat ia berada di kantor majalah Hai. Belum terlihat jejak komputer di situ, meski Hai adalah bagian dari penerbit besar dan terkenal. Lupus pun masih akrab dengan telepon umum koin.

Seperti umumnya remaja masa itu, mabar, main bareng di masa Lupus berarti kita benar-benar berhadap-hadapan fisik. Ngakak bersama atau saling memaki dan bukan hanya berbagi meme dan emoticon.

Generasi Lupus membangun komunikasi antar sahabat nyaris 100% lisan. Berbeda dengan para millennial yang sering berkomunikasi via teks, millennial menjadi tak asing dengan ungkapan-ungkapan gombal seperti hujan adalah 1% air dan 99% kerinduan pada dirimu….

Di era Lupus, kalimat ini membuat kita ditertawakan sebagai Pujangga Baru.

Anak era Lupus bukan saja berbicara dalam bahasa gaul yang berbeda, tetapi mereka juga bicara dalam pola kalimat yang berbeda. Tentu dengan sudut pandang yang berbeda juga. Tidak sepuitis anak-anak millennial. Kalimat paling gombal yang mampu diucapkan Lupus hanyalah, "Saya selalu punya waktu kok untuk cewek cakep kayak kamu."

Bandingkan dengan Raditya Dika yang tulisannya mulai populer di pertengahan 2000an. Kalimat-kalimat puitis mulai masuk dalam karya Dika. Entah dalam konteks romantis maupun satir. Kata 'galau' kembali marak dipopulerkan Dika, bukan lagi kata yang terasa Balai Pustaka. Dika pun mampu dengan enteng menertawakan dirinya dalam kalimat puitis: "Hampa itu seperti langkah tak berjejak, senja tapi tak jingga, cinta tapi tak dianggap."

Serupa dengan Dika, tokoh Dilan juga populer dengan gombalan: "Jangan rindu, rindu itu berat. Kamu gak akan kuat. Biar aku saja." 

Anak era Lupus asli akan geleng-geleng kepala bila dirayu dengan kata-kata segombal itu. Seperti Gusur, penyair di cerita Lupus yang sering jadi tertawaan karena berkata, "Fifi.. Jadikan aku mami dari anak-anakmu.”

Dika, dan juga tokoh fiksi lain di era setelah tahun 2000, seringkali digambarkan canggung dalam berhubungan dengan orang lain. Karenanya sering sial karena kecanggungannya. Kesialan ini kemudian diceritakan secara satir. Mungkin ini yang menjadi pembeda utama dengan era Lupus yang belum kenal pergaulan maya ala medsos. Lupus bukan anak yang canggung dalam bergaul. Teman-temannya pun lapang dada dan tak mudah tersinggung, termasuk dalam menghadapi candaan nyelekit seperti: “Lu udah jelek, idup lagi...'

Inilah generasi Lupus, generasi yang memaknai bergaul sebagai (benar-benar) nongkrong rame-rame di suatu tempat. Bukan sekadar eksis dan populer di dunia maya, meski sejatinya nyaris kesepian di dunia nyata.

Era pramedsos membagi remaja menjadi dua golongan besar: rumahan dan nonrumahan. Rumahan dengan segala atributnya seperti kalem, pendiam, dan tidak nakal. Nonrumahan dengan segala atributnya: populer, banyak teman, dan kadang nakal. 

Dalam salah satu episode berjudul Tante Nelly, dikisahkan Lupus memiliki seorang bibi yang cerewet dan menyebalkan. Gemar membandingkan Lupus dengan anaknya. Di mata Tante Nelly, Lupus tak ada benarnya: bicara kurang sopan dan terlalu cuek. Berbeda dengan anaknya yang alim dan selalu sopan. Hingga suatu ketika anak yang alim itu terlibat narkoba. Kisah ini mengajarkan untuk tak terperdaya tampilan luar.

Saya kira inilah kekuatan Hilman. Kisah-kisah Lupus tak pernah membosankan karena mengumbar kalimat-kalimat sok bijak atau relijius. Remaja-remaja di kisah Lupus terlihat setara, dalam arti tak pernah membawa atribut-atribut relijius dalam setiap tindak-tanduknya. Kita tak akan tahu apa agama Fifi Alone atau Boim si playboy cap Duren Tiga. Nasehat-nasehat yang disampaikan Hilman pun universal. 

Yang paling layak kita saluti tentu saja cara Hilman membangun nasionalisme dalam kisah Lupus. Keberagaman terlihat dari tokoh-tokohnya yang mengacu pada berbagai etnis Indonesia. Mulai dari Poppy yang netral, Engkong-nya Gusur yang Betawi, hingga guru Lupus Pak Pangaribuan yang dipanggil Mr. Punk. Dan puncaknya tentu saja cara Hilman memberi nama sekolah Lupus: SMA Merah Putih….

Kalau tidak salah, nama sekolah lain di kisah itu juga selalu bernuansa kebangsaan: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan sejenisnya.

Hilman seperti menanamkan kesadaran kebangsaan secara tersirat. Entah karena pribadinya yang nasionalis, atau memang itu kecenderungan semua masyarakat kita masa itu.

Selalu menjadi pertanyaan di benak saya, apakah era Lupus itu secara umum kita lebih nasionalis dibanding saat ini? Tidak terlalu gemar mengaitkan sesuatu dengan hal-hal relijius hingga terasa sedikit berlebihan. Relijiusitas yang (sedihnya) kerap tak berkait dengan kemanusiaan yang lebih baik.

Remaja masa Lupus hanya meributkan masalah-masalah sederhana untuk ukuran kini. Sebatas keren dan tidak keren, belagu atau tidak belagu. Tak ada keributan berbasis ideologi yang membuat setiap pihak merasa lebih benar dari pihak lain dan sulit didamaikan. 

Mungkin bila ada hal yang paling ngangeni dari kisah-kisah Hilman, era Lupus, dengan mantap saya akan katakan: ”kebhinekaan dan nasionalisme” yang terasa hadir dalam keseharian.

Selamat jalan, Hilman Hariwijaya….