Cita-cita Jadi Ahli Nuklir, Dokter dan Master Hukum yang Didapat

Selain memimpin IDI, Daeng juga aktif di Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia (2014–2017), Tim Kendali Mutu Kendali Biaya Pusat, dan diDewan Pembina Komisi Akreditasi Rumah Sakit.

Selasa, 3 September 2019 | 18:12 WIB
0
581
Cita-cita Jadi Ahli Nuklir, Dokter dan Master Hukum yang Didapat
Daeng Mohammad Faqih (Foto: Detik.com)

Bila Anda mendengar nama ‘Daeng’ pada diri seseorang, apa yang terlintas? Ya, tentu kita dengan mudah akan menyimpulkan orang tersebut berasal dari suku Bugis di Sulawesi Selatan. Tapi Daeng Mohammad Faqih langsung menggeleng dan tertawa saat menerkanya berasal dari sana.

“Ayah saya seorang guru dari Pasuruan yang mengajar di Pamekasan, Madura dan menikahi ibu saya di sana,” kata lelaki kelahiran Pamekasan, 30 Juni 1969 itu. Ia mengaku pernah menanyakan asal-usul nama tersebut kepada kedua orang tuanya. Tapi ternyata tak ada penjelasan khusus atau istimewa.

Selain soal nama, ada ketidaksinkronan lainnya yang melekat pada ketua umum Ikatan Dokter Indonesia, 2018-2021 itu. Sebelum menjadi dokter, Daeng rupanya pernah kuliah di Jurusan Kimia di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya. Karena otaknya yang encer, dia masuk ITS tanpa tes alias lewat jalur PMDK (Penulusuran Minat Dan Kemampuan) pada 1988.

Tapi setelah setahun berjalan, ibunya meminta agar anak keempat dari tujuh bersaudara itu kuliah di kedokteran sesuai wasiat ayahnya. Sang ayah, kata Daeng, sejak awal memang menghendaki dirinya menjadi dokter. Tapi sejak SMA dia pribadi sangat ingin menjadi ahli nuklir. Sayang, jurusan tersebut cuma ada di UGM, Yogyakarta.

Karena sang ibu menyebut salah satu wasiat ayahnya adalah ingin anaknya menjadi dokter, Daeng pun mengalah. Dia ingin menunjukkan hormat dan baktinya kepada ibu dan ayahnya.

“Saya ikut lagi Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan memilih jurusan kedokteran. Alhamdulillah lulus,” ujar Daeng. Ia pun meninggalkan bangku kuliah di ITS yang sudah setahun dijalani dan beralih ke Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya di Malang.

Setelah resmi menjadi dokter, sejak 1999 Daeng mulai aktif di IDI. Di organisasi profesi itu dia banyak ditugaskan untuk mengurusi masalah atau isu yang berkaitan dengan hukum. Ia menyebut antara lain kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan kesehatan, Undang-Undang Rumah Sakit, peraturan tentang praktek dokter, kasus-kasus malapraktik, serta pelanggaran disiplin dan etika.

Karena kerap terpapar masalah hukum itulah, atas sokongan para sejawat dan seniornya di IDI Daeng kuliah lagi mendalami ilmu hukum di Univeritas Jakarta, dan meraih Master Ilmu Hukum dari Universitas Hasanudin, Makassar.

Ketidaksinkronan berikutnya, meski nama lengkapnya adalah Daeng Mohammad Faqih, tapi oleh teman-teman dekatnya dia punya sapaan khusus, “Agus”. Kenapa demikian? Kali ini Daeng tak bersedia mengungkapkannya. “Sulit menjelaskannya,” Daeng berkilah diringi tawa.

Saya menemui Daeng di Kantor Pengurus Besar IDI di kawasan Menteng, Kamis (29/8/2019) untuk program Blak-blakan di Detik.com. Kami menggali penjelasannya terkait sikap IDI yang menolak untuk membantu eksekusi terhadap M. Aris bin Syukur. Pemerkosa sembilan anak itu dihukum 12 tahun dan hukuman tambahan kebiri kimia oleh majelis hakim PN Mojokerto. “Di banyak negara, hukuman tambahan kebiri kimia itu sudah dialihkan ke rehabilitasi,” ujarnya.

Selain memimpin IDI, Daeng juga aktif di Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia (2014–2017), Tim Kendali Mutu Kendali Biaya Pusat, dan diDewan Pembina Komisi Akreditasi Rumah Sakit.

***