Koin Kehidupan Arifin Panigoro

Ketika menghadapi kasus BPUI atau Jasindo, Arifin maupun Hilmi mengaku, keluarganya sangat stress. Mereka khawatir kalau Arifin atau Hilmi tiba-tiba ditahan, karena mereka yakin kasus tersebut berlatar-belakang politik.

Selasa, 1 Maret 2022 | 19:04 WIB
0
346
Koin Kehidupan Arifin Panigoro
Arifin Panigoro (Foto: CNN Indonesia)

Pengantar:

Institut Teknologi Bandung, selain melahirkan teknokrat dan politisi hebat, juga pengusaha papan atas Indonesia, seperti Aburizal Bakrie, Ciputra, Benny Soetrisno, dan lain-lain. Di bidang migas, nama Arifin Panigoro adalah salah satu ikon perminyakan Indonesia lulusan Ganesha. Tanggal 28 Februari 2022 ‘Kang Fifin’ (demikian dia biasa dipanggil) berpulang kepada Pemiliknya. Pada tahun 2009 saya berkesempatan mewawancarai Arifin Panigoro di rumahnya, Griya Jenggala, Jakarta.

ARIFIN Panigoro memiliki koin kehidupan yang dua sisinya sangat kontradiktif. Namun kedua sisi itu sangat ia minati. Pertama, sisi politik yang kerap menyeretnya dalam kesulitan dan kekecewaan. Kedua, sisi bisnis yang membuatnya dari ‘bukan siapa-siapa’ menjadi Arifin Panigoro yang dikenal saat ini.
Arifin Panigoro adalah seorang pengusaha yang sangat sukses, di bawah tekanan politik dari masa ke masa.

Bagaimana tidak, di zaman Orde Baru, ketika hampir semua pengsuaha merapat ke Cendana demi kelancaran bisnisnya, Arifin justru bertahan dengan aspirasi pilitiknya yang berafiliasi ke Partai Demokrasi Indonesia, PDI.
Bahkan ketika PDI terpecah, menjadi PDI Surjadi dan PDI Megawati Soekarnoputri, Arifin dengan tegas memposisikan diri di kubu Megawati yang jelas-jelas mengambil posisi diametral dengan Soeharto sebagai penguasa.

Koin Bisnis

Sisi dari koin kehidupan yang membuat Arifin Panigoro diingat sebagai figur hebat adalah bisnis, yang ia jalani dengan penuh kegairahan. Meskipun tekanan politik tak pernah surut mendera Arifin, tapi ia tak henti menyusun batu-bata kerajaan bisnisnya hingga menjadi besar seperti sekarang.

Puncak keberuntungan Arifin dalam bisnis perminyakan, terjadi tahun 1995 ketika Medco mengambil-alih saham PT Stanvac Indonesia dari Exxon-Mobil. Saat itu, dari data yang diberikan Exxon-Mobil dan hasil studi yang dilakukan Medco, di lapangan Kaji Semboja ada tiga sumur yang masing-masing diperkirakan menyimpan lima juta barel minyak.

Jumlah cadangan tersebut diperkirakan sekitar 5 juta barrel, terlalu kecil untuk dieksploitasi oleh perusahaan sebesar Exxon-Mobil, tidak ekonomis. Karenanya, diputuskan untuk dijual kepada Medco.

Tapi setelah Medco mulai mengebor, ternyata minyak yang terkandung dalam tiga ladang itu sangat besar. Seperti ‘danau minyak’ bawah tanah, dengan volume tidak kurang 250 juta barrel, atau 50 kali lipat dari yang diperkirakan. Tak ayal lagi saat itu bagai mimpi yang tiba-tiba menjadi kenyataan bagi Arifin.

“Bahkan, setelah informasi itu sampai ke kantor pusat Exxon-Mobiloil, manajer yang merekomendasikan penjualan Stanvac itu langsung dipecat!!” kata Hilmi yang sejak tahun 1996 menakhodai Medco.

Berkah lain, yang didapat Medco, lagi-lagi setelah perusahaan itu melakukan ekspansi: mengambil-alih saham perusahaan minyak Australia, Novus Petroleum Limited. Hanya beberapa minggu setelah kontrak akuisisi ditandatangani, harga minyak meroket dari kisaran US$30 per barel naik hingga kisaran US$60 per barel.
Itulah bedanya peruntungan Arifin di arena bisnis yang sering mendapat berbagai berkah, dibanding karier politiknya yang buram, bahkan nyaris gelap.

Hingga tahun 2007, Medco mengelola 34 lapangan migas di dalam dan di luar negeri, termasuk ladang minyak di Oman, Libya dan Teluk Mexico, Amerika Serikat. Total produksi dari berbagai tempat tersebut mencapai 60.000 barel minyak dan gas setara 20.000 barrel minyak per hari. Angka produksi itu masih akan beranjak signifikan.

Tambahan produksi paling signifikan akan terjadi ketika lapangan gas di Donggi Senoro, Sulawesi Tengah mulai mengalirkan gas. Volume gas yang diangkat dari sumur itu mendongkrak produksi Medco hingga setara 60.000 barrel per hari. Sehingga total produksi migas Medco melebihi 200.000 barel per hari. Artinya, Medco sudah layak dikategorikan sebagai perusahaan minyak berkelas dunia.

Dari gambaran peningkatan angka produksi, terlebih lagi jika harga minyak dunia terus menanjak, dengan kalkulasi kasar, aset Arifin mencapai miliaran dolar Amerika. Melalui bisnis di sektor migas dan lainnya, seperti di-publish oleh majalah Forbes Asia yang terbit di Singapore September 2006, harta Arifin tidak kurang dari US$815 juta atau setara Rp7,5 triliun.

Lantas, selain banyaknya tekanan politik, apakah bisnis Arifin semuanya berjalan mulus? Tak ada gading yang tidak retak. Sumur yang digali PT Lapindo Brantas Inc. di Sidoarjo Jawa Timur menyemburkan lumpur panas, bukan minyak atau gas. Di perusahaan itu Arifin memiliki 32% saham. Pada proyek itu Arifin bersama investor lainnya benar-benar bonyok.

Demikian juga dengan persepsi orang tentang Medco, tidak semua memuji. Pengamat perminyakan Kurtubi, mengkritik Arifin dengan Medco-nya bermain terlalu konservatif.
“Harusnya Medco lebih berani bermain dengan six sister (sebelumnya seven sister), supaya bisa meningkatkan produksi lebih besar lagi. Apalagi cadangan migas di Indonesia dan juga dunia masih cukup besar,” Kurtubi mengingatkan.

Dalam dokumen yang dipegang Kurtubi dari Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES), data cadangan minyak bumi Indonesia per tahun 2005 yang siap dieksploitasi mencapai 9,1 miliar barel atau cukup untuk jangka waktu 23 tahun, dengan tingkat produksi 1 juta barrel per hari.
Begitu juga dengan cadangan gas, cukup untuk 62 tahun, dan batubara cadangannya bisa memenuhi kebutuhan selama 146 tahun.

Menanggapi kritikan Kurtubi, Hilmi mengatakan, persoalannya bukan konservatif atau tidak konservatif, tapi bisnis yang dilakukan Medco mengacu pada kajian, ada tidaknya nilai tambah satu aksi bisnis bagi perusahaan. Bekerjasama dengan perusahaan manapun tidak jadi soal.

“Kita sih sepanjang kerjasama itu bisa dilakukan dan menghasilkan revenue lebih bagi perusahaan, kenapa tidak? Tapi, apakah ada ‘harimau’ yang mau berbagi buruan dengan ‘kucing’? Kalau perusahaan-perusahaan raksasa itu tidak mau kerjasama, kami tidak akan konyol head to head dengan mereka.” kata Hilmi beranalogi.

Meningkatkan produksi bagi perusahaan-perusahaan minyak nasional, termasuk Medco, sangatlah penting. Namun Kurtubi tak sepenuhnya menyalahkan para investor. Menurut dia, kendala terbesar untuk meningkatkan produksi minyak nasional justru pada Undang-undang Migas No. 22 tahun 2001.

Dengan ketentuan pada undang-undang itu, investasi di sektor migas menjadi sangat mahal. Misalnya investor hasrus membayar fiskal guna mendatangkan alat-alat pengeboran dan sebagainya, membayar pajak selama periode eksplorasi dan birokrasinya berbelit-belit.

“Investasi di sektor migas dunia terus menunjukkan kenaikan, kecuali di Indonesia. Penyebabnya Undang-undang Migas Nomor 22 tahun 2001!”

Secara umum, yang dikatakan Kurtubi, investasi sektor migas di Indonesia saat ini cukup seret. Tapi tidak demikian dengan Medco. Sejatinya, dibandingkan dengan perusahaan-perusahaanmigas nasional lainnya, Medco lebih ekspansif. Bahkan di luar negeri sekalipun.

Awal Oktober 2006, Medco menandatangani kontrak dengan Pemerintah Kamboja yang diwakili Cambodia National Petroleum Authority, CPNA, untuk melakukan eksplorasi di lepas pantai Kamboja.

Tumbuh dalam tekanan politik yang hebat dan ekspansif dalam persaingan bisnis yang ketat, mutlak perlu sumber daya manusia yang handal dan loyal. Sementara sumber daya manusia di sektor pertambangan tidaklah banyak. Lalu bagaimana cara Arifin dan Hilmi mengikat mereka?

Pertama, basic need karyawan yang harus dipenuhi adalah uang. Tiap tahun Medco membuat bench mark, membandingkan dengan perusahaan sejenis, seperti Chevron, Caltex, Exxon dan lain-lain.

“Policy saya, kita harus di atas rata-rata. Yang lebih penting, mereka harus tahu, dibayar dengan fair atau tidak?”
Kedua, karyawan perlu ‘semacam harapan’, jenjang karir dalam pekerjaan. Karena itu, perusahaan men-develop sistemnya. Setiap tahun, dilakukan employee opinion survey, saluran bagi karyawan untuk mengemukakan pendapatnya. Ada yang standard, ada yang non-standard.

Tujuannya, untuk mengetahui, apakah di perusahaan mayoritas karyawan happy atau unhappy? Rule-nya dalam survey itu, jika yang unhappy atau unsatisfied, kurang dari 20%, perusahaan masih oke. Usulan yang bisa di-adressed, dieksekusi oleh perusahaan. Sementara yang tidak, dijelaskan: perusahaan tidak bisa memuaskan semua orang.

“Buat saya, dalam menangani persoalan, honesty is the best policy.”

Di mata Arifin, Hilmi adalah sosok professional yang tenang, teliti dan memiliki visi ke depan.

Apakah Arifin puas dengan kepemimpinan Hilmmi di Medco? Menurut Arifin, bukan karena Hilmi adalah adik kandungnya, tapi hingga saat itu (2007), menurutnya, Hilmi adalah executive perminyakan terbaik di Indonesia. “Saya sih coba objektif. Saat ini Hilmi adalah yang terbaik. Tapi jika saatnya harus ada regenerasi atau perkembangan yang menuntut pergantian CEO, ya Hilmi akan diganti,” kata Arifin.

Dan hari pergantian President Direktur PT Medco Energy International Tbk. pun terjadi pada tanggal 23 Juni 2009. Hilmi Panigoro digantikan Darmono Doyoatmojo. Selanjutnya Hilmi menduduki jabatan Presiden Komisaris. Sekalipun tidak lagi duduk di manajemen Medco, Arifin dan Hilmi Panigoro adalah adalah dua sosok yang melambangkan keseimbangan, tapi tak henti berekspansi.

Selain di sektor migas, Arifin juga bermain di sektor perbankan. Tahun 2007 ia tercatat sebagai pemegang saham mayoritas PT Bank Himpunan Saudara 1906 yang berpusat di Bandung. Di bidang properti, Arifin adalah pemilik Hotel Sofitel di Seminyak, Bali dan pemilik sebagian saham Hotel Grand Preanger Bandung.
Bisnis lain yang digarap Arifin adalah perkebunan kelapa sawit dan tanaman jarak.

Koin Politik

Ketika Megawati mendeklarasikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, PDIP, Arifin pun ikut bergabung. Bagi PDI Megawati yang kemudian disebut PDIP, loyalitas dan kontribusi Arifin sangat signifikan, terutama menyangkut pendanaan.

Setelah jatuhnya Soeharto 21 Mei 1998, kelompok-kelompok yang sebelumnya di bawah tekanan, banyak bermunculan dalam bentuk partai politik baru. Sebagai pengusaha, Arifin tahu betul selama ini ‘kue ekonomi’ dibagi dengan tidak merata atau proporsional, sangat menguntungkan pengusaha yang merapat kepada kekuasaan.
Lewat Pemilu 1999, Arifin bisa duduk di DPR. Suatu hal yang nyaris tidak mungkin bagi Arifin ketika di bawah pemerintahan Soeharto. Hanya saja, meskipun PDIP keluar sebagai pemenang Pemilu 1999, namun Megawati hanya duduk sebagai Wakil Presiden.

Sementara kursi RI-1 diperoleh KH. Abdurrahman Wahid. Dalam pemilihan presiden di MPR, PDIP kalah oleh Poros Tengah-nya Amien Rais.

Beruntung bagi PDIP, perjalanan pemerintahan Presiden Gus Dur hanya 22 bulan. Posisi RI-1 beralih ke Megawati Soekarnoputri, boss-nya Arifin di kancah politik.

Dilantiknya Megawati Soekarnopoetri sebagai Presiden RI pada 23 Juli 2001 menandai naiknya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, PDIP sebagai ruling party.

Tak ayal lagi, dalam waktu singkat, kader-kader PDIP banyak yang naik memegang pos-pos pemerintahan di berbagai tingkatan. Terlebih lagi partai ini cukup kuat di parlemen. Trend tersebut, juga berlaku di kalangan dunia usaha. Kelompok pengusaha yang berafiliasi ke PDIP pun seolah mengalami ‘musim bunga’. Mereka bergegas mengadakan pesta kemenangan.

Di DPR saat itu, CEO Medco Energy ini menjabat Ketua Fraksi PDIP. Sungguh satu iklim yang teramat sempurna bagi seorang pengusaha-politisi seperti Arifin Panigoro yang menggebu untuk menyalurkan hasrat politik dan bisnisnya.

Suatu hari, Arifin datang ke ruang kerja President Direktur PT Medco Energy Tbk. waktu itu yang tak lain adalah adik kandungnya sendiri, Hilmi Panigoro, di Graha Niaga Jalan Sudirman Jakarta. Hilmi agak kebingungan, karena setahu dia hari itu tidak ada agenda atau hal yang mengharuskan kakaknya datang.

Di tangan Arifin tergenggam peta Indonesia. Pada peta itu beberapa daerah yang memiliki potensi minyak dan gas sudah ditandai. Ternyata, Arifin mau menyampaikan maksudnya untuk mengambil beberapa lapangan minyak potensial tersebut, melalui kekuatan politik dan lobby-nya yang waktu itu sedang kuat.

“Mi, ini saatnya kita untuk mengambil lapangan minyak ini, ini, ini…,“ kata Arifin seperti anak kecil di toko permen.
Setelah paham betul apa maksud kakaknya, meski Arifin belum selesai bicara, Hilmi yang biasanya tenang, dengan nada tinggi langsung memotong.

“Fin, kalau kita melakukan itu, mengambil ini dan itu, karena kita sedang berkuasa, apa bedanya dengan para pengsuaha kroni Soeharto di masa Orde Baru?! Saya tidak mau!” Hilmi sengit.

Rupanya yang dikatakan Hilmi cukup menonjok dan menyadarkan Arifin. Bagai kapas tersiram air, Arifin yang tadinya menggebu-gebu, langsung terkulai lemas. Atas kejadian itu, sampai berulang kali Arifin minta maaf sama Hilmi. Bahkan Arifin mengaku, meskipun Hilmi itu adik kandungnya sendiri, saat itu ia merasa sangat malu dengan Hilmi.

Sejak itu, Arifin kembali menjadi seorang yang kritis, termasuk terhadap Presiden Megawati yang ia sendiri ikut mengantarkan ke kursi kepresidenan.

Nah, rupanya sikap kritis yang sudah mendarah-daging pada diri Arifin tersebut, membuatnya disingkirkan dari lingkaran kekuasaan. Bahkan, tanpa mempertimbangkan loyalitas, perjuangan dan kontribusi Arifin sebelumnya, para petinggi PDIP di bawah komando Megawati memecat Arifin Panigoro dari keanggotaan PDIP.

Lebih pahit lagi bagi Arifin, kasus-kasus hukum yang menyangkut Arifin, diangkat lagi oleh pemerintahan Megawati. Sungguh satu musim bunga yang sebelumnya dibayangkan indah, berlalu dengan sangat cepat dan menyakitkan. Itulah nasib Arifin Panigoro, politisi yang sepanjang kariernya tidak pernah henti dirundung malang.

Arifin dengan Medco-nya adalah sebuah potret perjalanan seorang pebisnis yang tumbuh dalam tekanan politik. Ketika Soeharto berkuasa, ia tidak disukai dengan alasan yang tidak jelas. Tapi yang pasti sikap Soeharto tersebut diterjemahkan oleh aparat pemerintah dalam bentuk tekanan politik dan membatasi gerak bisnisnya.

Sikap sama juga ditunjukkan oleh presiden berikutnya, B.J. Habibie. Salah satu buktinya bisa disimak pada rekaman pembicaraan per telepon antara Presiden Habibie dengan Jaksa Agung Andi M. Ghalib.

Dalam rekaman yang bocor ke media masa itu dengan eksplisit nama Arifin Panigoro, Abdurrahman Wahid dan Sofian Wanandi disebut sebagai orang-orang yang harus diawasi dan dibatasi ruang geraknya.

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur terpilih menjadi Presiden menggantikan BJ. Habibie. Pergantian penguasa itu memunculkan harapan akan terciptanya perbaikan iklim ekonomi dan politik, selain penegakan hokum yang lebih baik. Tapi bagi Arifin yang terjadi justru sebaliknya.

Perusahaannya, Medco dituduh melakukan korupsi dengan menangguk kredit yang ‘tidak wajar’ dari PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, BPUI. Arifin ditetapkan sebagai tersangka, meski kasusnya tidak langsung dituntaskan.

Sebenarnya, menurut Hilmi, semua kalangan, termasuk dunia usaha. punya ekspektasi besar terhadap Presiden Gus Dur dan Megawati. Tapi kenyataannya, baik Gus Dur maupun Megawati, ketika mengendalikan pemerintahan, tidak men-deliver apapun yang diharapkan.

Ketika menghadapi kasus BPUI atau Jasindo, Arifin maupun Hilmi mengaku, keluarganya sangat stress. Mereka khawatir kalau Arifin atau Hilmi tiba-tiba ditahan, karena mereka yakin kasus tersebut berlatar-belakang politik.
Selain Arifin ditetapkan sebagai tersangka, Hilmi juga harus bolak-balik ke Kejaksaan Agung hingga tiga kali seminggu untuk diperiksa dari pagi sampai malam. Menurut Hilmi, para jaksa yang memeriksanya juga ikut bingung, karena tak ada lagi pertanyaan yang harus diajukan.

“Waktu itu stress, iya. Tapi yang membuat saya dan Arifin yakin, karena kami gak nyolong. Kita pinjem uang dari Bahana, Jasindo, ada kolateralnya kok, kita bayar semua, termasuk bunganya. Tak ada hair cut!” tegas Hilmi.
Bahkan, dalam satu sesi pemeriksaan, saking marahnya Hilmi karena merasa didzalimi waktu itu, sampai mengancam balik jaksa yang memeriksanya.

“Akhirnya, jaksa itu ngomong, ‘saya kan hanya menjalankan tugas Pak’,” Hilmi menirukan Sang Jaksa.
Meski hingga tahun 2007 kasus BPUI maupun kasus Jasindo yang menimpa Arifin dan Hilmi seperti masuk ‘peti es’, tapi belumlah tuntas. Koordinator Pekerja Indonesian Corruption Watch, Teten Masduki mengingatkan, jika Arifin dan Hilmi merasa bersih dan kasus yang muncul karena latar belakang politik, mereka harus membuktikan di pengadilan, bila suatu saat kasusnya dibuka lagi.

Kini yang tampak dari koin kehidupan Arifin Panigoro hanyalah sisi bisnisnya. Sepertinya Arifin akan membiarkan sisi koin politiknya tertutup. Selamat jalan, Kang Fifin.

***