Zaiful Bokhari (1): Cakil Mustahil Mengalahkan Arjuno

Dengan menjalani filosofi menebar kebaikan kepada siapa saja, sama artinya dengan meningkakan daya tahannya terhadap segala provokasi dan propaganda hitam yang ditujukan kepadanya.

Senin, 22 Juni 2020 | 17:54 WIB
0
274
Zaiful Bokhari (1):  Cakil Mustahil Mengalahkan Arjuno
Ilustrasi wayang orang (Foto: Dok. pribadi)

Setiap perjuangan selalu ada rintangannya. Itulah hukum alam sejak masa purba sampai zaman modern ini.

Situasi serupa terjadi pula pada diri Zaiful Bokhari, Bupati Lampung Timur yang sedianya berencana mencalonkan lagi menjadi bupati pada pemilihan kepala daerah Desember 2020 ini.

Pada beberapa hari terakhir, muncul dua peristiwa yang bisa saja men-downgrade reputasi seorang Zaiful. Peristiwa pertama adalah berita yang di online media yang mengutip surat kaleng tanpa verifikasi sebelum menjadi bahan berita.

Surat kaleng yang dijadikan bahan berita secara serampangan dan berujung fitnah ini menuduh Zaiful menyelewengkan anggaran pemerintah. Lalu peristiwa kedua adalah pencopotan Zaiful dari jabatannya selaku Ketua Partai Demokrat Lampung Timur.

Bagi lawan-lawan politiknya, dua peristiwa itu diharapkan bisa men-downgrade derajat popularitas dan elektabilitas dari Zaiful yang menurut survei internal mencapai 60%, jauh di atas figur-figur lain yang sudah muncul untuk menyainginya.

Dua peristiwa tersebut menjadi isyarat bahwa gerakan politik sudah mulai menuju titik didih. Zaiful sebagai petahana yang berpotensi mempertahankan tahtanya ibarat ksatria yang dibuat agar tidak lagi bisa tenang dalam menghadapi hari-hari ke depannya.

Akan ada saja penganggu yang datang silih berganti menghalangi Zaiful untuk meraih kemenangan bersama warga Lampung Timur. Dan, gangguan seperti itu lumrah terjadi di setiap kompetisi politik.

Kenyataan ini, bagi masyarakat Jawa sudah digambarkan dalam pewayangan. Dalam pewayangan Jawa, ksatria yang digambarkan sebagai Arjuno (Arjuna) atau Janoko selalu mendapat perlawanan sengit dari barisan raksasa jahat yang tamak. Raksasa itu biasa disebut Buto Cakil atau Cakil saja.

Cakil adalah raksasa yang memiliki rahang bawah lebih panjang daripada rahang atasnya. Giginya juga besar-besar dan tajam agar mudah digunakan untuk menggigit lawannya sampai mati. Tokoh ini adalah inovasi pujangga Jawa dalam pewayangan yang tidak pernah ditemui dalam kisah Mahabarata versi India.

Dalam sebuah pertunjukan wayang, Cakil selalu berperang dengan kstaria Arjuno atau Janoko yang baru turun gunung (karena bertapa atau puasa) untuk berjuang dalam sebuah peperangan demi keadilan.

Cakil sendiri oleh pujangga Jawa digambarkan sebagai raksasa yang punya karakter gigih berbuat apa saja sampai tetes darah terakhir demi ambisinya. Dan, dalam perang tanding melawan Arjuno, Cakil benar-benar mencapai tetes darah terakhirnya, karena dia pada akhirnya mati oleh senjatanya sendiri berupa keris sakti. Arjuno berhasil merebut kerisnya lalu menusukkannya ke tubuh Cakil hingga dia mati tersungkur kehabisan darah.

Dalam perang tanding antara Cakil dan Arjuno ini, ada sebuah pesan yang ingin disampaikan oleh pujangga yang bijak kepada masyarakat luas. Bahwa setiap perjuangan, seorang ksatria mesti membawa cita-cita luhur dan disertai jiwa bersih (usai bertapa atau puasa) agar memancarkan aura positif untuk mendapat kesaktian (dukungan rakyat), sehingga cita-citanya tercapai.

Ksatria yang berjuang demi keadian tanpa menggunakan cara-cara kotor secara psiko politis punya peluang lebih besar untuk mendapat kemenangan dan kemuliaan. Dan, mereka yang berlaku tamak hanya untuk kepentingan diri sesaat seperti digambarkan dalam figur Cakil tadi akan berakhir pada kehancuran dan kenistaan, karena akan mati dengan ulahnya (keris) sendiri.

Begitu juga dengan Zaiful, sebagai petahana yang popularitas dan elektabilitasnya berada di atas calon pesaingnya tetaplah berlaku seperti seorang ksatria yang andap asor (rendah hati), tenang tanpa terprovokasi, dan melihat semua peristiwa yang menghalanginya sebagai batu kerikil yang mesti ditangani secara tegas tapi tidak membuat gejolak.

Berlaku andap asor juga berarti selalu menebar kebaikan tanpa mencari permusuhan. Dengan semakin banyak menebar kebaikan lewat perbuatan atau kebijakan sama artinya dengan membatasi ruang gerak orang-orang yang berusaha mencelakainya.

Dengan menjalani filosofi menebar kebaikan kepada siapa saja, Zaiful sama artinya dengan meningkakan daya tahannya terhadap segala provokasi dan propaganda hitam yang ditujukan kepadanya.

Dengan begitu, alur pewayangan bahwa Cakil mustahil mengalahkan Arjuno menjadi kenyataan di Lampung Timur. *

Krista Riyanto, Penuis dan mantan Jurnalis.

***