Sapardi

Puisi Sapardi adalah puisi tentang bagaimana sederhananya sebuah kehidupan untuk dinikmati, memaknai kesederhanaan dengan cara sederhana lewat aliran alam, lewat api yang meredup,

Minggu, 19 Juli 2020 | 17:07 WIB
0
254
Sapardi
Sapardi Djoko Damono (Foto: Facebook/Anton DH Nugrahanto)

Sapardi meninggal dunia siang ini (19/7) menjadi kedukaan bagi banyak orang. Seliweran lini masa ucapan duka dilontarkan para netizen di media sosial. Ini menandakan Sapardi menjadi sebuah prasasti dalam kenangan publik.

Hujan, angin, daun, ruang sepi dan waktu di tangan Sapardi punya romantis-nya sendiri yang mengelus kesadaran akan jatuh cinta, rasa hangat, kesepian menjadi simpanan manis dalam laci laci kehidupan. Sapardi telah membawa puisi di masa Orde Baru dari puisi kritik sosial menjadi puisi yang domestik dimana pekik perlawanan diubah menjadi “rindu akan hangatnya rumah”, “tentang dahan dahan patah, tentang daun yang jatuh dan pikiran di tepi jendela yang menebak nebak langit malam.

Berbeda dengan WS Rendra yang mampu menjadikan puisi-nya bercerita dengan lugas. Tubuh perempuan, rambutnya yang panjang serta luruhan daun jambu jadi satu rangkaian utuh, atau sajak orang tua yang mengenang kemenangan di masa muda, WS Rendra menjadikan ‘rumah rumah kata seperti kereta yang berjalan cepat, dinamis tapi romantik.

Di tangan Sapardi, puisi menjadi ‘waktu yang berhenti’. Membaca puisi Sapardi seperti membaca sebuah ketenangan yang tak bisa dirumuskan, ia seperti diri kita melihat keseharian dari sisi yang lain. Keseharian yang tenang, keseharian yang melembutkan kemarahan, keseharian yang meredam tudingan tudingan. Sapardi membawa romansa keseharian dalam bentuk paling indahnya. “Jendela Jendela kamar, Hujan yang membasahi tanah, dahan dahan yang hampir patah, kelopak bunga, cangkir teh di tepi teras sampai pada tanggalan kalender seperti “Hujan Di Bulan Juni”.

Puisi Sapardi adalah puisi tentang bagaimana sederhananya sebuah kehidupan untuk dinikmati, memaknai kesederhanaan dengan cara sederhana lewat aliran alam, lewat api yang meredup, suara aliran air dan bertemu pada wajah sang perindu.

Sajak Sapardi adalah dirimu mengenang kehidupan, sajak Sapardi adalah rembulan yang menggantung pada matamu dan Sajak Sapardi adalah dirimu merasa damai melihat matahari sore di tengah tengah kelopak daun daun hijau dan menjadi ‘ranting yang patah’.

Pada dasarnya kenapa mangkatnya Sapardi ditangisi, karena sebagian diri kita terasa pergi oleh sajak sajak Sapardi...

Selamat Jalan Pak Sapardi Djoko Damono...

Anton DH Nugrahanto

***