Pedagang Buku itu Menjadi Manusia Terkaya dalam Sejarah Modern

Aneka jenis usaha yang ia beli untuk memperkuat jaringan Amazon. Ia semakin tak tergantung dari marketplace, karena ia dapat menjual dari jaringan produsen yang ia akuisisi.

Senin, 2 September 2019 | 06:53 WIB
0
466
Pedagang Buku itu Menjadi Manusia Terkaya dalam Sejarah Modern
Jeff Bezos (Foto: Forbes.com)

Bagaimanakah kisahnya? Seorang pedagang buku akhirnya menjelma menjadi orang terkaya dalam sejarah modern? Apakah inovasi yang ia kerjakan juga mengubah wajah peradaban?

Bukankah di tahun 1994, Jeff Bezos memulai Amazon hanya dari sebuah garasi rumah kontrakan sangat sederhana? Ia membungkus buku pesanan itu sendiri. Kadang ia sendiri pula yang mengantarkan buku itu ke kantor pos agar sampai pada konsumen.

Di tahun 2018, 24 tahun kemudian, Ia sekarang melompat menjadi orang pertama yang kekayaannya melampaui 100 billion USD. Forbes menyebut: The First Centi Billion Person in Modern History.

Pertanyaan ini saya renungkan di atas pesawat. Perjalanan udara selama 8 jam dari Dubai ke London, Juli 2019, terlalu panjang.

Sejak tahun 2010, di atas pesawat saya selalu ditemani banyak buku. Namun ini bukan buku fisik biasa. Ini e-book di kindle, produk dari si pedagang buku itu. Sejak tahun 2010, saya menjadi pelanggan Amazon.

Produk Amazon itu mengubah tradisi buku. Yang saya bawa ke dalam pesawat tak hanya sepuluh buku. Saya bawa serta sebuah perpustakaan berisi ratusan buku. Bahkan lebih dari seribu buku.

Itu tak perlu koper yang besar. Lebih dari seribu buku itu bisa disimpan dalam aplikasi Kindle, dan lainnya, di handphone. Dan perpustakaan buku itu hanya sebesar genggaman tangan saja.

Jeff Bezos menjadi besar karena ia tak hanya pedagang buku. Ia seorang inovator yang tak hanya mengubah dunia buku. Bezos pun meluas menyentuh begitu banyak produk lain, di luar buku.

Ia menjadi terkaya karena ia paling pandai memaksimalkan sisi komersial peradaban yang berubah. Ialah peradaban digital. Peradaban shopping online. Peradaban “Internet of Things.”


Kindle

Perkenalan saya pertama kali dengan Amazon sekitar tahun 1998. Itu masa awal saya sekolah di Amerika Serikat. Ketika memberi tugas membaca buku, dosen itu menyatakan perkembangan baru. Buku yang ia berikan, ujarnya, jika tak ditemukan di toko, bisa dicari di Amazon secara online.

Sangat aneh bagi saya saat itu. Membeli buku secara online? Apa pula ini? Toko buku Barnes and Noble di Pittsburgh, di kota tempat saya tinggal, ketika sekolah di Amerika adalah surga bagi saya.

Ketika saya melanjutkan sekolah ke Columbus AS, saya bawa serta tradisi berkunjung rutin ke toko buku Barnes and Noble.

Hampir setiap minggu saya ke toko buku itu. Kadang menghabiskan waktu dari pagi hingga sore. Di tengah toko buku itu, ada kafe, tempat duduk.

Itu masa ketika saya harus menghemat bahkan untuk membeli buku. Paling saya hanya membeli satu sampai dua buku. Namun saya sempatkan membaca cepat bab pengantar dan bab kesimpulan belasan buku. Jika sudah lelah berdiri, saya duduk di kafe. Kemudian berdiri lagi untuk membaca cepat secara gratis.

Itulah akal mahasiswa yang kere namun kehendak membaca buku baru begitu besar.

Saya menjadi pengunjung dan pembeli buku yang setia di Barnes and Nobles. Godaan membeli buku online gaya Amazon semakin sering datang. Terdengar pula datangnya Kindle yang disediakan Amazon. Kabarnya kita bisa membeli dan membaca buku online dengan asyik sekali.

Tapi semua belanja buku online itu tak mengganggu habit saya. Tetap setia saya datang ke toko buku. Membeli bahkan membaca buku di sana.

Saya mulai beralih ke Amazon ketika banyak buku yang saya cari tak ada di toko buku Barnes and Nobles. Tak ada pula di Kino Kuniya. Jika di Jakarta, tak ada pula di Gramedia atau Gunung Agung. Buku itu justru ada di toko online Amazon.

Saya pun mulai menjadi pembaca buku Amazon. Saya kadang membeli buku fisiknya secara online. Tapi lebih sering saya membeli buku kindle, e-book, yang bisa dibaca online.

Dan kini Amazon penjual buku online berevolusi menjadi super raksasa. Ia mengantarkan pemiliknya menjadi manusia terkaya. Total kekayaan di atas 100 milyar dollar AS. Dalam kurs rupiah, itu sama dengan di atas 1.400 trilyun rupiah.

Bagaimana cara Jeef Bezos tumbuh mengangumkan?

Bukan Jeff Bezos penemu shopping online tapi Michael Aldrich di tahun 1979. Namun berbeda dengan Michael Aldrich sang penemu dan entrepreneur lain, Bezoz yang paling mampu memanfaatkan inovasi bisnis dari shopping online.

Ia selalu mencari cara baru untuk lebih memuaskan konsumen. Ini yang membuat Amazon akhirnya mengalahkan raksasa toko buku lain, termasuk Barnes and Noble. Bahkan untuk aneka penjualan, Amzon mrngalahkan super raksasa Wallmart.

Data di tahun 2018 menunjuk itu. Dari 807 milyar dollar penjualan buku di AS, sebanyak 42 persen membeli dari Amazon. Ribuan toko buku lain, online dan offline kebagian hanya 58 persen. Bahkan untuk pembelian e-book, dari 560 milyar dollar, 89 persen berasal dari Amazon.

Tak hanya buku, jenis produk lain, Amazon juga dominan. Untuk penjualan toys dan hobi, musik dan video, consumer elektronik, office dan equipment, porsi pasar yang diraih Amazon di atas 51 persen. Bahkan untuk jenis bisnis dengan pola membership, Amazon memperoleh member sebanyak 100 juta. Ia hanya kalah sedikit dari Neflix yang memang bisnisnya bergantung dari membership.

Bezoz sejak awal memperluas jangkauan. Sekali ia menguasai hal ihwal shopping online, maka segala hal ia sediakan. Awalnya memang, Bezos hanya fokus jual buku saja. Perlahan, ia juga menjual musik melalui CD dan video. Ia juga mulai menjual fashion, alat elektronik, obat, mainan anak- anak. Bahkan ia juga menjual grocery.

Tak cukup hanya menjual produk, Bezos juga mengakuisisi produser langsung produk itu. Sejak tahun 1998 hingga tahun 2019, Bezos sudah mengakuisisi 98 perusahaan. Itu mulai dari jenis usaha buku online hingga usaha makanan, dari perusahaan robot hingga usaha apotik, dari usaha retail hingga Washington Post, dari jasa keuangan hingga film distributor.

Aneka jenis usaha yang ia beli untuk memperkuat jaringan Amazon. Ia semakin tak tergantung dari marketplace, karena ia dapat menjual dari jaringan produsen yang ia akuisisi.

Sejak tahun 1998, Amazon juga go public di harga USD 18 per saham. Ia mendapatkan banyak dana masyarakat untuk ekspansi. Kini di tahu 2018, harga saham amazon per share: sekitar USD 2000. Harga sahamnya naik hingga lebih dari 100 kali lipat dalam jangka 21 tahun.

Seorang jenius memang tak harus pula pribadi yang menyenangkan. Berbeda dengan Bill Gates yang sangat disukai dan memberi keteladanan bersikap, Bezoz datang dari personality yang lain.

Di tahun 2018, Tech Workers Coalition memberikannya penghargaan The Worst CEO. Ia dianggap pemimpin perusahan terburuk dilihat dari aneka kategori caranya memberlakukan karyawan. Di tahun 2014, ITUC memilihnya sebagai boss terburuk seantero planet. ITUC mendasarkan pilihan itu atas voting 20 ribu anggota.

Ayah kandungnya menyatakan ke publik sangat ingin berjumpa. Namun Bezos tak kunjung menemuinya puluhan tahun. Ayahnya pun wafat tanpa sempat berjumpa. Istrinya yang sejak awal menemaninya merintis usaha menggugat cerai.

Sudah banyak tulisan mengenai itu. Misalnya: Why Does Every One Seems To Hate Jeff Bezos? Atau: Why Do We Love to Hate Jeff Bezos?

Namun dalam hidup kita bisa belajar dari mana saja. Juga belajar dari pribadi yang dianggap kurang menyenangkan. Bukankah gagasan jenius juga bisa lahir dari mana saja? Ia juga bisa tumbuh dalam pribadi yang kurang disukai.

Terbang di udara, di dalam pesawat, 8 jam, dengan e-book di kindle, di handphone dalam genggaman, saya seolah berdialog dengan seorang jenius yang unik.

Juli 2019

***

Catatan Perjalanan Denny JA