Mengenal Direktur CIA yang Baru dan Pentingnya bagi Indonesia

Informasi dan analisis Burns dan Haines penulis perkirakan akan menentukan keputusan Biden memilih antara stick and carrot, baik terhadap sekutu, mitra, atau lawannya.

Jumat, 22 Januari 2021 | 16:55 WIB
0
188
Mengenal Direktur CIA yang Baru dan Pentingnya bagi Indonesia
William Burns (Foto: Kompasiana.com)

Presiden Amerika terpilih Joe Biden dan wakilnya Kamala Haris, Rabu (20/1), telah diambil sumpahnya dan resmi menjabat hingga empat tahun ke depan. Biden sebelumnya telah memilih kabinet intinya dan kini memilih William Burns sebagai direktur badan intelijen terkemuka Amerika Serikat CIA.

Burns akan menggantikan posisi Gina Haspel, wanita karier pertama di bidang intelijen yang menjadi Direktur CIA, menggantikan direktur sebelumnya, Mike Pompeo.

Siapa dan Mengapa Burns?

Mengapa Pray menulis tentang tokoh ini? Karena semua operasi intelijen Amerika di luar negeri ditangani oleh CIA, tetapi bekerjasama juga di antaranya dengan NSA (National Security Agency).

Di Amerika ada 17 organisasi intelijen yang secara hukum dikontrol oleh Direktur Nasional Intelijen, seorang wanita Avril Haines. Nah, "tukang" blusukannya adalah CIA, selalu clandestine, demi kepentingan negaranya. Dengan menguatnya HAM, operasi LN banyak dikerjakan oleh kontraktor atau tangan-tangan proxy.

Sulit menandingi 5 organisasi intel Amerika yang beroperasi di luar negeri (LN), karena mereka dibekali black budget lebih dari 20 miliar US Dollar (Snowden). Mari kita bahas tokoh menarik ini sebagai penambah wawasan kita bersama.

William Joseph Burns lahir pada 4 April 1956 (65), di Fort Bragg, North Carolina, Amerika Serikat. Ia pernah menempuh pendidikan di Universitas Oxford, St John's College, Universitas La Salle.

Ia adalah seorang diplomat Amerika, yang masih menjabat sebagai presiden Carnegie Endowment for International Peace sejak 2014. Burns terakhir menjabat sebagai Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (2011--2014), dan pensiun setelah berkarir sebagai diplomat selama 33 tahun.

Pencalonan direktur CIA adalah pilihan profil tinggi yang harus diisi oleh Biden setelah berminggu-minggu memilih anggota kabinet dan staf lainnya. Burns, mengungguli kandidat calon direktur CIA lainnya David Cohen, mantan Wakil Direktur CIA (2015-2017).

Dengan pengalaman bertugas lebih dari 33 tahun dalam kebijakan luar negeri, Burns juga mampu berbicara dalam bahasa Arab, Rusia, dan Prancis. Pengalamannya yang mendalam sebagai diplomat di samping hubungan lama yang dia miliki dengan Presiden Biden sejak dia bertugas di Komite Hubungan Luar Negeri menyebabkan Biden mengenal cara berpikirnya dengan baik, hingga dia akhirnya yang terpilih.

Tokoh Lama dengan Masalah Pokok yang Sama

Nominasi profil tinggi terbaru ini menurut para analis ART World menunjukkan sinyal yang jelas bahwa pemerintahan Biden akan berusaha untuk memperbaiki hubungan diplomatik dengan negara lain yang telah dirusak selama masa jabatan Trump di Gedung Putih.

Direktur yang dinominasikan oleh Biden ini dinilai akan memainkan peran kunci dalam memulai pembicaraan rahasia dengan Iran, merundingkan kesepakatan JCPOA yang mengharuskan Iran menyerahkan program nuklirnya dengan imbalan keringanan sanksi dari enam negara Barat termasuk Amerika. Saat berkuasa, Trump menarik diri dari perjanjian JCPOA pada 2018. Di sinilah Burns diharapkan dapat memainkan peran kunci itu (ART).

Tugas berat dan kritis Burns, karena Israel tidak menyetujui Amerika kembali ke perundingan JCPOA, dan mengancam akan menyerang reaktor Iran bila mereka diizinkan melanjutkan program nuklirnya. Israel pernah sukses menyerang program nuklir Irak dan Syria, jelas ancamannya sangat serius (parstoday).

Burns yang pernah menjabat sebagai duta besar Amerika untuk Rusia dari tahun 2005 hingga 2008 ini akan memberikan ke Biden wawasan mendalam tentang Presiden Vladimir Putin, khususnya tuduhan campur tangan Rusia dalam pemilihan umum Amerika yang menjadi salah satu masalah penting dari agenda kebijakan luar negeri Amerika dalam beberapa tahun terakhir.

Prestasi karier lainnya termasuk tugasnya sebagai Duta Besar Amerika untuk Yordania dari 1998 hingga 2001 dan Asisten Menteri Luar Negeri untuk urusan Timur Dekat dari tahun 2001 hingga 2005.

Perbaikan Hasil Pulbaket

Biden mengumumkan bahwa prioritas pertama Burns adalah memastikan pengumpulan bahan keterangan dan analisis intelijen tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik setelah muncul kritikan keras Presiden Trump terhadap badan-badan intelijen AS. Biden menegaskan hal serupa kepada penasihat keamanan nasional dan badan intelijen lainnya tentang posisi intelijen yang profesional menghindari kepentingan politik.

CIA secara hukum diawasi oleh Direktur Intelijen Nasional, terlepas dari otonomi yang dimilikinya. Di masa jabatan Trump sebagai Presiden, Direktur Intelijen Nasional yang bertugas di bawah pemerintahannya diduga telah mengambil nada partisan yang telah mempertaruhkan ketidakberpihakan badan-badan intelijen AS.

Pada 2017, Direktur CIA dinaikkan setingkat anggota kabinet, tetapi di masa Biden, nampaknya Direktur Nasional Intelijen (DNI) yang setingkat anggota kabinet, Direktur CIA dibawah kordinasi DNI (Avril Hanies)

Baca Juga: Amerika Serikat yang Terluka, Terbelah dan Coba Bangkit Kembali

Presiden terpilih Biden pada Senin (11/01/2021) menyatakan kepada Burns, "Shares my profound belief that intelligence must be apolitical and that the dedicated intelligence professionals serving our nation deserve our gratitude and respect."

Dikenal dengan latar belakang non-partisan, Burns telah memegang posisi diplomatik penting di bawah pemerintahan Demokrat dan Republik.

Di satu sisi, mencalonkan seorang kandidat dengan reputasi bipartisankemungkinan akan membuat proses pengukuhan Senat lebih mudah inilah kelebihannya sebagai non-partisan.

Burns tidak hanya memetik hubungan yang kuat dengan presiden terpilih Biden, tetapi juga sebelumnya bekerja secara ekstensif dengan tim Keamanan Nasional Biden dalam kesepakatan nuklir Iran. Pengalamannya dengan intelijen dimulai sejak awal selama penempatannya sebagai duta besar dan selama kariernya di departemen luar negeri.

Diplomat Berbasis Intelijen

Pencalonan Burns mencerminkan fokus Biden pada ancaman keamanan klasik, mengingat pengalamannya dengan Iran dan Rusia. Burns menyatakan bahwa pemerintahan Trump telah merusak diplomasi Amerika.

Hal itu diamini oleh mantan Menteri Luar Negeri Amerika Hillary Clinton yang menyatakan Burns sebagai "tangan yang mantap" dan "petugas pemadam kebakaran yang sangat efektif".

Meskipun ia tidak selalu menjadi bagian langsung dari kebijakan luar negeri dan badan intelijen, Burns masih memegang level kepemimpinan pemikiran yang relatif dengan tulisan dan suaranya.

Pada tahun 2002, Burns menulis sebuah memo yang dinamai memo Perfect Storm, menyoroti bahaya intervensi Amerika di Irak. Dia menjabarkan prediksi rinci tentang apa yang bisa salah dalam perang Amerika di Irak, bertahun-tahun sebelum itu terjadi (Estimates of the speculative evaluative element).

Pada tahun 2016, Burns adalah salah satu dari 100 pemimpin, pemikir, dan tokoh keamanan nasional yang ikut menandatangani surat yang menyerukan "rakyat Amerika Serikat untuk menolak penyiksaan sepenuhnya" dan meminta "semua pejabat publik untuk secara eksplisit menolak penyiksaan dan untuk mematuhi hukum, serta larangan penyiksaan".

Nominasi Biden memilih direktur CIA dengan latar belakang Burns sebagai diplomat, pejabat di Departemen luar negeri. Bukan pejabat intelijen karier seperti direktur CIA saat ini Gina Haspel penting dicermati.

Inti dari pilihan Biden adalah komitmen terhadap diplomasi internasional dan hubungan yang memburuk secara signifikan di bawah masa jabatan Trump. Biden ingin mengembalikan posisi Amerika di kepala meja.

Reputasi Amerika sendiri dalam empat tahun terakhir sangat menurun lantaran oleh terpukul pandemi, kekeliruan penanganan WHO yang dekat ke China, kekeliruan menangani Iran, kegagalan merebut pengaruh di Asean, yang ia nilai sebagai satu langkah di belakang China.

Keputusan Biden memilih Burns kemungkinan juga memperhitungkan posisi Direktur Intelijen Nasional (ODNI), Avril D. Haines, yang mengawasi 17 badan intelijen negara, termasuk CIA. Meskipun DNI secara teknis lebih senior dari direktur CIA, diperkirakan tidak ada ketegangan dan konflik di antara keduanya, yang telah bekerja sama sebelumnya di Departemen luar negeri AS.

Analis berpendapat, sebagai direktur CIA, Burns kemungkinan akan menghadapi kebijakan luar negeri Rusia yang lebih berani dan China yang menunjukkan sikap siap berkonflik dan bersaing dengan Amerika, di samping ancaman perubahan iklim dan pandemi global yang ditetapkan Biden di jantung agenda keamanan nasionalnya.

Nilai dan Arti Penting bagi Indonesia

Bagi Indonesia, karena Burns non-partisan, dia akan fokus kepada tugas utamanya dalam misi intelijen dengan format diplomasi.

Para pemegang amanah di Indonesia sebaiknya lebih membaca cara berpikir Burns terutama maalah geopolitik dan geostrategi kawasan regional, Asia Tenggara, Laut China Selatan serta kawasan Indo-Pacific secara utuh.

Di bawah Burns Badan Intelijen di Indonesia sebaiknya memperkuat Kemenlu, pendekatan Amerika ke Indonesia walau dalam format diplomasi tetap intinya adalah intelijen.

Maksudnya, para pejabat diplomatik tidak 'bias' membaca kepentingan nasional Amerika yang ada dalam benak pikiran Burns.

Informasi dan analisis Burns dan Haines penulis perkirakan akan menentukan keputusan Biden memilih antara stick and carrot, baik terhadap sekutu, mitra, atau lawannya.

Semoga bermanfaat, Pray Old Soldier.

Marsda Pur Prayitno Wongsodidjojo Ramelan, Pengamat Intelijen

Sumber: trtworld, parstoday, wiki dll.

***