Menjadi Ayah

Saya tidak habis pikir: apa jadinya kalau waktu kecil Rizal hanya melihat bapaknya menganggur duduk-duduk melamun di emperan rumah sambil merokok.

Selasa, 17 Maret 2020 | 13:22 WIB
0
191
Menjadi Ayah
Saya dan Rizal (Foto: Disway.id)

Hati-hatilah menjadi ayah. Anak Anda yang masih kecil pasti memperhatikan Anda. Diam-diam. Lalu merekam semua itu dalam kesadaran kecilnya. 

Lantas tumbuh menjadi obsesi: ingin seperti ayah! 

Apa pun pekerjaan sang Ayah, si anak punya keinginan mengikuti sang ayah. Termasuk Rizal Abdi. Yang ayahnya bekerja di bengkel mobil. Pekerja bengkel.

”Cita-cita tertinggi saya harus bisa seperti ayah: bekerja di bengkel,” ujar Rizal.

Apalagi ketika ayahnya naik pangkat menjadi kepala bengkel. Rasanya jabatan ayahnya itulah yang tertinggi di dunia. Di dalam hatinya terpatri seperti tidak ada jabatan yang lebih hebat dari kepala bengkel.

Maka Rizal pun sekolah di STM-Pembangunan. Yang saat ia kelas 3 berubah menjadi SMK.

Cita-citanya menjadi orang bengkel seperti di depan mata ketika Rizal diterima magang di bengkel Toyota di Surabaya. Yakni saat ia di kelas 2 STM jurusan mesin. 

Keseriusan bapaknya bekerja di bengkel membuat Rizal bekerja keras seperti bukan sedang magang.

Begitu pula saat magang lagi untuk yang kedua, di kelas 3.

Rizal pun menjadi anak magang favorit di bengkel itu. Maka begitu lulus SMK Rizal langsung diterima untuk bekerja di situ. 

Tapi Rizal harus kuliah dulu. Semula ingin ia rangkap. Siang bekerja di bengkel Toyota. Malamnya kuliah di Fakultas Teknik ITATS Surabaya.

Tapi, pulang kuliah malam itu Rizal dirampok di jalan sepi. Dekat jembatan Nginden. Sepeda motornya dipepet dua sepeda motor. Rizal dibacok dari kanan. Untung kena spion. Dan sedikit tangan kanannya. Berdarah. Sepeda motor yang membacok jatuh. Rizal balik arah. Dikejar. Tapi segera sampai di pompa bensin. Rizal masuk ke situ dan menjatuhkan diri: lemas.

Sejak itu Rizal kuliah siang. Berhentilah dari bengkel Toyota. 

Begitu tamat ITATS Rizal diterima di bengkel Honda.

Cita-cita Rizal pun tercapai: kerja di bengkel. Itulah cita-cita tahap I. Ternyata ia mampu menjadi seperti ayahnya.

Yang ia belum mampu adalah menjadi kepala bengkel. Itulah cita-cita Rizal berikutnya.

Mungkin perlu waktu panjang. Ia melihat terlalu banyak orang yang lebih senior di bengkel itu.

Tapi di saat Rizal berumur 29 tahun kesempatan itu datang. Jauh lebih cepat dari yang ia bayangkan.

Saat itu ada pengusaha yang membangun bengkel Honda di Mojokerto --50 Km di barat Surabaya. 

Mula-mula teman Rizal yang ditugaskan menjadi kepala bengkel di sana. Hanya tahan dua minggu. Si pengusaha merasa tidak cocok. Ia minta agar Honda mengirim tenaga yang lain.

Pengganti itu pun hanya tahan dua bulan. Si pengusaha minta diganti. Yang lebih bagus lagi.

Dikirimlah Rizal.

Waktu itu Rizal sudah punya piagam ”juara nasional” teknisi Honda. Ia memang diikutkan kejuaraan nasional setelah menjuarai tingkat Provinsi Jatim.

Yang dilombakan mulai dari keramahan menyambut mobil konsumen sampai kecepatan menyelesaikan masalah. 

Misalnya, ia harus tahu siapa nama pemilik atau yang membawa mobil ke bengkel itu. Untuk itu ia harus memperkenalkan diri dulu kepada tamunya.

Dengan sikap yang ramah tapi meyakinkan. Lalu bertanya siapa nama sang tamu. Juga dengan nada dan gaya bertanya yang sopan, menghargai dan percaya diri. 

Sejak mengetahui nama sang tamu, petugas bengkel harus selalu menyebut nama tamunya itu di setiap pertanyaannya. Misalnya: Bu Rina, ada keluhan apa?

Menurut doktrin Honda, setidaknya petugas harus menyebut nama tamunya tujuh kali --dari saat datang sampai mobil siap ditangani.

”Waktu lomba, saya bisa sampai menyebut nama tamu sembilan kali,” ujar Rizal.

Pun saat menyelesaikan masalah mobil sang tamu. Rizal yang paling cepat waktunya dan benar prosesnya.

Begitu ditugaskan menjadi kepala bengkel di Mojokerto itu Rizal pun tahu: ini bukan lagi hanya masalah kepintaran teknis. Ini sudah menyangkut kemampuan manajemen dan leadership.

Tapi yang lebih penting lagi: ini menyangkut mimpi untuk bisa mendapat jabatan kepala bengkel seperti ayahnya. 

Ia tahu mengapa pemilik bengkel di Mojokerto itu tidak puas dengan dua temannya terdahulu: bengkel baru dan besar itu sering kosong. Setiap bulan hanya 14 mobil yang diservis di situ. 

Rizal tidak mempersoalkan bahwa ia harus kehilangan status sebagai karyawan bengkel Honda. Ia harus pindah menjadi karyawan pengusaha Mojokerto itu.

Rizal tidak peduli. Toh ini penugasan dari Honda.

Pun ketika ternyata gajinya di Mojokerto lebih rendah dari apa yang ia terima di bengkel Honda Surabaya.

Rizal tahu: kalau bengkel Mojokerto itu nanti maju penghasilannya pun akan ikut naik. Begitulah sistem pengganjian di bengkel. Selalu dikaitkan dengan prestasi dan hasil kerja. 

Begitu pindah ke Mojokerto Rizal pun melapor ke ayahnya: sudah berhasil menjadi kepala bengkel. Di usianya yang 29 tahun. Jauh lebih cepat dari yang dicapai sang ayah. Yang baru bisa menjadi kepala bengkel di umur 46 tahun. Itu pun bengkel kecil.

”Sepertinya ayah saya lebih bangga dari saya sendiri,” ujar Rizal sambil senyum.

Tentu Rizal juga memberitahu sang ibu --yang menyumbangkan 50 persen bentuk wajahnya: antara wajah Jawa dan Tionghoa. Sang ibu memang asli Tionghoa yang lahir di Bali. ”Tapi saya tidak bisa bahasa Mandarin seperti ibu,” ujar Rizal.

Dulunya sang ibu adalah kasir di depot kecil dekat sebuah bengkel. Ayahnya sering makan di depot itu. Lalu pacaran --dan kawin. 

”Ayah-ibu saya sangat bangga. Saya juga bahagia melihat mereka,” ujar Rizal. 

Pengusaha Mojokerto itu pun puas. Dari hanya 14 mobil langsung menjadi 200 mobil/bulan.

Pengusaha itu pun membuka bengkel baru di banyak kota. Semuanya sukses.

”Bulan ke delapan, gaji saya sudah kembali sama besar dengan waktu di Surabaya,” ujar Rizal. ”Bulan-bulan berikutnya menjadi lebih besar dan jauh lebih besar,” tambahnya. Termasuk sudah mendapat mobil dinas. 

Tiga tahun di Mojokerto Rizal bisa membuat bengkel itu menangani 900 mobil/bulan. Pemilik Honda di kota-kota sekitar Mojokerto pun tidak perlu lagi ke Surabaya. Rizal mencegat mereka di Mojokerto: lewat kepuasan konsumen. 

Kini Rizal sudah di Jakarta. Ia menjadi general manager sebuah grup bengkel besar. Pemiliknya orang Palembang. Bengkelnya 39 buah di seluruh Indonesia. Termasuk bengkel terbesar di Indonesia yang ada di Palembang.

Itulah gabungan bengkel segala merk mobil. Ada yang bengkel khusus Honda, khusus Toyota, sampai ke yang khusus Wuling. 

Bisa dimaklumi kalau Rizal sangat dicegah agar tidak pindah dari grup Mojokerto. ”Satu tahun kemudian saya baru dilepas,” ujar Rizal.

Ayah Rizal sudah pensiun. Rizal tahu jiwa-raga bapaknya ada di bengkel mobil. Maka ia bangun bengkel kecil di rumahnya. Yang tidak sampai 300 meter dari rumah ayahnya. Di Trosobo, sedikit di luar kota Surabaya.

Tiap pagi sang ayah menekuni hobi di rumah anaknya. Apalagi Rizal sudah memberinya satu cucu.

Saya tidak habis pikir: apa jadinya kalau waktu kecil Rizal hanya melihat bapaknya menganggur duduk-duduk melamun di emperan rumah sambil merokok. 

Atau Rizal kecil hanya melihat bapaknya tidur melulu sepanjang hari!

Dahlan Iskan

***