Bob Hasan, Amarzan dan Empati untuk Pengantin Baru

Amarzan kerap menyambangi Bob di Nusakambangan. Selama dia memimpin Gatra, Bob tak pernah cawe-cawe urusan redaksi. Bebas mau menulis apa saja. Asal jangan mengusik Istana!

Rabu, 4 September 2019 | 19:36 WIB
0
580
Bob Hasan, Amarzan dan Empati untuk Pengantin Baru
Amarzan Loebis (Foto: Tempo.co)

Senin, 2 September, di media sosial banyak teman di Tempo maupun alumninya menulis isu seragam. Rasa duka atas kepergiaan Amarzan Loebis. Nama lengkapnya Amarzan Ismail Hamid Loebis alias Lian Tanjung. Beliau menjadi wartawan Tempo sepulang dari Pulau Buru pada 1979.

Sejak 2003, yang saya tahu salah satu tugasnya adalah menguliti tulisan-tulisan para calon redaktur di Tempo setiap Selasa. Tajam, terkadang sarkastis. Tapi setiap kali menelanjangai sebuah tulisan, dia sekaligus melengkapinya dengan penjelasan. Apa dan bagaimana seharusnya tulisan digarap.

Selama setahun mengikuti program M-1 (magang redaktur) di Tempo, September 2003- Agustus 2004, seperti yang lain saya pernah juga kena damprat. Salah satu yang teringat adalah ketika menulis soal bebasnya Bob Hasan dari Nusakambangan.

“Anda tahu gak siapa itu Bob Hasan? Tidak riset dulu sebelum ke lapangan? Gak tanya-tanya ke orang yang mungkin kenal dia?,” cecar Amarzan. Nada bicaranya sih biasa. Tapi ekspresinya yang sinis itu lo…

Saya membela diri. Tugas menulis soal Bob diberikan mendadak oleh Arif Zulkifli (M-3, magang Redaktur Pelaksana) selepas Jumatan, 20 Februari 2004. Tentu atas persetujuan Wahyu Muryadi sebagai Redaktur Pelaksana. Di hari tenggat itu sebetulnya saya juga punya tugas lain yang sudah disetujui di rapat proyeksi. Tapi kemudian didrop, digantikan soal Bob Hasan.

Daripada terlambat tiba di kediaman Bob, saya langsung meluncur ke Jalan Sanjaya I/94, Jakarta Selatan. Saya merasa di kepala ini tak kosong-kosong amat tentang siapa Bob Hasan. Dijuluki Raja Hutan, mengurusi atletik, anak angkat Jenderal Gatot Subroto, pernah jadi Menteri Perindustrian di kabinet terakhir Soeharto.

“Itu sih ensiklopedis. Mestinya Anda juga ngobrol dong dengan orang-orang yang tahu soal Bob. Jangan cuma bergerombol,” sergah Amarzan. Mak jleb! Entah bagaimana ekspresi saya kala itu. Cuma, ruangan kok mendadak terasa pengap. Saya melirik beberapa teman yang pura-pura seolah khusuk membaca. Mereka sepertinya tak tega melihat ekspresi saya.

Bob Hasan tiba di Jakarta menjelang magrib. Lamanya perjalanan karena dia singgah untuk nyekar ke makam Jenderal Gatot Subroto di Ungaran. Lalu makan sate di warung langganannya di Semarang. Semuanya lewat jalur darat.

Dengan kondisi yang tak lagi muda saya menilai perjalanan itu akan menyiksanya. Padahal sebagai konglomerat dia bisa menempuh perjalanan dengan lebih singkat. “Kenapa tidak naik helikoter?,” saya nyeletuk. “Helikopter nenek lu?,” jawab Bob ketus.

Tapi jawaban singkat itulah, menurut Amarzan, yang seharusnya menjadi pembuka tulisan saya. Dengan kalimat itu akan langsung tergambar karakter Bob Hasan. Lugas, ceplas-ceplos, santai tapi menyengat.

Amarzan rupanya pernah dekat dengan Bob. Dia adalah pemimpin redaksi bayangan Majalah Gatra yang dibikin Bob pasca Tempo dibreidel, 1994. Amarzan kerap menyambangi Bob di Nusakambangan. Selama dia memimpin Gatra, Bob tak pernah cawe-cawe urusan redaksi. Pokoknya terserah, bebas mau menulis apa saja. Asal jangan mengusik Istana!

Seorang teman di Gatra menyebut Amarzan adalah sosok di balik slogan majalah yang berkantor di Kalibata itu: "Baca Gatra baru Bicara". Selain di Gatra, Amarzan juga pernah aktif di Matra, majalah hiburan pria yang masih dimiliki Grafiti Press (grup yang juga menaungi Tempo).

Di kali lain, saya kembali kena semprot Amarzan. Satu dari tiga tulisan saya di Tempo disebutnya amburadul. Saking jeleknya, dia tak jadi membahas. Malas. Tapi ketika saya jelaskan bahwa di edisi itu saya menulis tiga artikel, padahal Sabtunya saya harus melamar calon istri, Amarzan terperanjat. Atasan yang baik, kata dia, semestinya sedikit-banyak tahu kondisi anak buahnya. “Orang mau lamaran kok malah dikasih beban tiga tulisan,” dia menggerutu.

Ke esokan harinya, atasan menghampiri saya. “Ah, lu gak ngomong-ngomong sih kalau ada lamaran. Sori ya,” ujarnya.

Beberapa pekan setelah menikah, kondisinya lain lagi. Baru beberapa menit di ruang evaluasi, bola mata saya terasa berat sekali. Dua kali saya izin ke toilet untuk cuci muka. Toh rasa kantuk itu terus mengintai, dan berhasil menyergap saya. Entah berapa lama saya merasakan sunyi. Saat terjaga tinggal beberapa orang saja di ruangan, termasuk Pak Amarzan.

“Wah, terkuras betul energi penganti baru kita ini,” dia berseloroh sambil menepuk pundak saya. Ketika saya meminta maaf, dia menyergah. “Ah, wajar saja. Saya juga pernah muda. Nikmati saja,” ujarnya penuh empati, lalu pergi sambil tertawa kecil.

Tak mau malu dua kali, saya bertekad tak melakukan aktivitas yang menguras banyak energi di Selasa pagi. Alhamdulillah istri setuju.

***