Canting

Arswendo Atmowiloto yang kemarin berpulang meninggal karya tulis berupa novel maupun cerpen, satu novel "masterpiece"-nya antara lain "Canting".

Sabtu, 20 Juli 2019 | 10:38 WIB
0
760
Canting
Arswendo Atmowiloto (Foto: iNews.id)

"Syukur ada sastra dan sejarah...!"

Konon, Aristoteles pernah mengatakan seorang penyair atau sastrawan lebih agung dari seorang ilmuwan, termasuk sejarawan. Sebab ilmuwan harus membatasi diri pada data-data faktual. Sebaliknya sastrawan mampu menciptakan dunia yang lebih lengkap, mampu mengungkapkan unsur-unsur eksistensi manusia yang hakiki dan universal.

Dan pakar sekaligus kritikus sastra Indonesia terkemuka dari Belanda, Prof. Dr. A. Teeuw mengulang pendapat itu ketika dia mengulas novel karya Arswendo Atmowiloto.

Teeuw mengutip David Daiches tentang seorang sastrawan: "...he create a self-sufficient world of his own, with its own compelling kind of probability, its own inevitability, and what happens in the poet's story is both "probable" in terms of that world and, because the world is itself a formal construction based on elements in the real world, an illumination of an aspect of the world as it really is.." (dalam CRITICAL APPROACHES TO LITERATURE, 1956).

Pendapat Daiches ini dikutip Prof. Teeuw ketika dia membuat ulasan menarik yang "membandingkan" buku ilmiah karya begawan sejarah Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dkk dengan sebuah novel sastra karya Arswendo Atmowiloto.

Buku karya Prof. Sartono dkk, PERKEMBANGAN PERADABAN PRIYAYI (1986) adalah suatu karya ilmiah yang juga memanfaatkan roman-roman Jawa sebagai sumber penting untuk menjelaskan persepsi orang Jawa sendiri sebagaimana terungkap dalam sastranya tentang peradaban priyayi Jawa.

Buku sejarah ini oleh Prof. Teeuw "dibandingkan" dengan CANTING (1986) novel Arswendo Atmowiloto, yang mengisahkan kehidupan keluarga priyayi Jawa pada masa yang lebih baru, yakni awal hingga pertengahan 1960-an.

Sosok sang priyayi yang sentral dalam novel ini adalah Raden Ngabehi Sestrokusuma, biasa disapa Pak Bei dan istrinya Bu Bei.

Menurut Teeuw, kedua buku ini punya kekuatan dalam bidang masing-masing --sebagai karya ilmiah dan sebagai karya sastra- yang melukiskan potret kehidupan priyayi Jawa pada zaman yang telah berubah.

Prof. Teeuw menutup uraiannya dengan menyatakan barang siapa ingin mendapat informasi yang "tepat" mengenai institusi kepriyayian Jawa, sebaiknya membaca buku Prof. Sartono. Yang ingin membaca hasil rekaan mengenai manusia dalam latar yang dapat dihayatinya sebagai dunia Jawa, mungkin akan merasa puas dengan CANTING.

Maka itu, kata Teeuw: ".....syukurlah ada sastra serta ilmu sejarah sebagai dua ragam pengungkapan persepsi manusia tentang dirinya......!"

Namun ketika membaca kembali dua buku itu, bagi saya novel sastra karya Arswendo terasa lebih mampu menangkap nuansa dan mengungkap suasana konflik batin, pergumulan, dan benturan nilai-nilai priyayi Jawa.

Misalnya, dalam kajian ilmiah tentang priyayi dan dunia batin orang Jawa, mungkin akan sulit menemukan tafsir tentang makna "pasrah" atau "sumangga" semacam ini (dalam CANTING):

"...Bu Bei hanya bisa menunggu. Menunggu adalah pasrah. Menunggu adalah menerima nasib, menerima takdir, menjalani kehidupan. Bukan menyerah, bukan kalah, bukan sikap pandir. Pasrah ialah mengalir, bersiap menerima yang terburuk ketika mengharap yang terbaik."

"...pasrah bukanlah kalah atau mengalah, tetapi menerima dengan damai...."

Demikian pula tentang "sumangga" atau "terserah". Sumangga adalah sikap pasrah membahagiakan lahir maupun batin. "Semua berjalan sendiri, mengalir begitu saja seperti kesetiaan air sungai, yang walau menjauhi sumbernya, kesetiaan ketika mengalir ke muara......".

"Tafsir" ala Arswendo dalam novelnya ini mampu mengungkap nuansa dan makna yang justru sulit ditemui dalam kajian ilmiah tentang dunia priyayi Jawa. 

Tafsir macam ini tentu saja tidak hanya ada dalam karya sastra Arswendo saja. Tafsir ini juga ada dalam novel Linus Suryadi, PENGAKUAN PARIYEM (1981), atau dalam novel Umar Kayam, SRI SUMARAH (1980), dan yang lain.

Apakah dengan begitu apakah karya sastra lebih baik dari karya ilmiah dalam mengungkap dunia batin priyayi Jawa?

Tentu tidak ! Yang ingin dikatakan hanyalah bahwa sering suatu karya sastra di samping kemampuan estetika naratifnya, bisa pula menyodorkan nuansa yang memungkinkan pembacanya lebih mampu memahami dan menghayati konteks suatu realitas dan historis tertentu secara lebih bermakna.

Dan itu bisa kita rasakan ketika membaca karya-karya sastra Arswendo Atmowiloto yang begitu banyak, termasuk CANTING.

Selamat jalan Mas Wendo..... Request in Peace 

***