Jerat Berpangkat

Kehormatan perempuan terletak pada tempiknya, yang sama sekali tidak boleh dijamah oleh para bajingan.

Senin, 27 Desember 2021 | 06:43 WIB
0
113
Jerat Berpangkat
Novia dan Randy (Foto: tribunnews.com)

Beda dunia Barat dan kita di Indonesia yang serba ambigu ini.

Di Barat sangat jelas. Sexual Consent adalah bagian dari gaya hidup kebanyakan orang di sana.

Saling tungging. Besok tidak mengenal lagi. 

Adalah biasa. 

Mereka mengerti konsekuensinya termasuk mencegah kehamilan..

Non sexual consent bakal dihukum berat Karena masuk delik perkosaan.

Tidak atau jarang terdengar ada gadis pecah perawan nangis kemudian menjadi budak cinta lelaki yang menidurinya. 

Pun kalau kebobolan. Aborsi saja. 

Selesai.

Tetapi ini tidak terjadi di Indonesia.

Dalam banyak kasus, sexual consent atau suka sama suka menjadi jalan bagi para lelaki bajingan untuk menjadikan pacarnya sebagai budak sex.  

Yang bisa ditunggangi dan ditunggingi setiap saat.

Para bajingan ini paham bahwa sekali dia perawani anak orang, pacarnya Itu bakal kintil-kintil.

Menuntut imbal atas hilangnya keperawanan. 

Sang perempuan ketika diperawani, merasa dirinya hina dan tidak kata lain selain berharap dengan amat sangat lelaki yang menidurinya bakal menikahinya setelah mengawininya.

Karena dia berfikir dirinya sudah ternoda. Tidak perawan lagi.

Para lelaki bajingan dengan sangat lihai dan licik memanfaatkan guncangan psikologis sang perempuan..

Untuk ditiduri berkali-kali.

Diselingkuhi kemudian ditiduri lagi..

Berkali-kali lagi.

Dalam perjalanan selanjutnya, pria bajingan itu makin menjadikan perempuan itu sebagai sampah

Atau pembuangan sperma busuk mereka.

Sementara perempuan makin malang hidupnya.

Makin tidak bisa keluar dari geraham srigala.

Karena dia berfikir hanya dengan menikah dengan bajingan itu, marwah dia terjaga

Karena aib tetap terpendam sepanjang masa.

Lingkaran jeratan psikologis seperti ini kerap berakhir dengan kisah tragis mbak Novia Widyasari.

Kisah pilu ini sangat khas Indonesia.

Berpacaran dengan seorang dari keluarga terpandang ( katanya). 

Yang bintara polisi.

Meski pangkatnya rendahan tapi dia supir pembesar kantor polisi.

Bapaknya orang dekat anggota DPRD di daerahnya disebuah kota kecil.

Mojokerto atau Pasuruan. Bukanlah kota metropolitan.

Siapapun yang menjadi cantelan celana kolor pejabat selalu disegani.

Tidak heran jika keluarga bajingan Randy bertingkah melebihi yang punya celana kolor.

Sementara keluarga Novi hanya keluarga biasa. Ibunya janda. Pamannya ketakutan melindungi dia Karena berhadapan dengan seorang polisi dari keluarga tersegani..

Jadilah Novi terhimpit di antara tiga beban.

1. Beban aib Karena ditiduri bajingan itu. Pertama dia setuju aborsi. Tapi ketika hamil lagi, dia menolak aborsi karena hanya itu cara dia bisa memaksa bajingan itu untuk menikahinya.

2. Pun dia aborsi lagi. Setelah parah dia sadar bahwa dia tidak lebih dari budak sex bajingan itu. Dan keluarga bajingan itu menggangap dia tidak lebih dari seorang pelaku prostirusi. Ini beban kedua.

3. Beban yang paling berat adalah ketika dia nekad melaporkan bajingan itu ke propam. Alih-alih dilayani, laporan dia dibiarkan terbang bersama angin. Provost polisi enggan memproses. Karena bajingan itu supirnya pembesar polisi. 

Ini yang menyebabkan Novi Widyasari kemudian memutuskan untuk bunuh diri.

Di pusara ayahanda tercinta. Mengakhiri nestapa yang menjebol rongga dada dan akal sehatnya.

Novi Widyasari adalah pengingat bagi para orang tua yang memiliki anak putri.

Harus terus diingatkan bahwa lelaki terlahir sebagai pemburu.

Yang mencampakkan dia ketika berhasil mencengkeram leher kemudian melepaskan celana dalamnya..

Jadi kasarnya..

Kehormatan perempuan terletak pada tempiknya.

Yang sama sekali tidak boleh dijamah oleh para bajingan..

Yang berkedok polisi atau yang berseragam atau orang berpangkat atau keluarga jenderal pitak sekalipun.

***