September

Dale Carnegie pernah mengatakan cara-cara menghindari konfrontasi bisa dimulai dengan tersenyum, bersahabat dan tak mudah menyalahkan.

Jumat, 3 September 2021 | 08:35 WIB
0
135
September
September (Foto: tribunnews.com)

Setiap memasuki bulan September, saya selalu tergiur untuk mengunggah lagu Green Day -Wake Me Up When September Ends. Berawal dari amatan teman-teman bila September akan selalu dipenuhi posting-posting dari kelompok ber’hati keras’ tentang bangkitnya PKI dari kuburnya.

Sebagai olok-olok postingan kelompok ber’hati keras’ itu, medsos juga akan dipenuhi becandaan tentang betapa menyebalkannya isi medsos di bulan September, sehingga mending kita tidur selama sebulan. Lagu Green Day itu akan diperdengarkan.

Hari ini saya berubah pikiran. Lebih memilih lagu September Ceria-Vina Panduwinata. Saya kira bila saya terus memperolok Bulan September dan kelompok penghujat PKI, saya tidak mengedepankan rekonsiliasi. Memaafkan kesalahan masa lalu, agar tidak menjadi noda buruk bahkan penghalang masa depan.

Secara kebetulan sahabat saya baru bertemu seorang ahli saraf bijak. Sahabat saya membagi petuahnya pada saya. “Mestinya kita harus sudahi berdebat masalah yang masih berupa konsep, “katanya. Membuat mata saya berkejap-kejap melihat sahabat mendadak ilmiah.

“Debat agama misalnya. Tentang sifat-sifat Tuhan. Itu kan masih konsep. Lu boleh percaya, boleh kagak. Tapi artinya apa yang kita anggap benar, belum tentu dianggap benar bagi yang lain. Dan itu sah saja…. Namanya juga konsep…”

Saya akan mengangguk tanda setuju, namun sebelum sempat mengangguk, sahabat sudah menambahkan. “Yang menjengkelkan, debatnya sering kali bukan cuma antar agama atau debat agama dan non believers, tapi juga melebar menjadi agama dengan isme atau filsafat. Misalnya mereka pendapat Nietszche tentang Tuhan, Marx tentang agama dan berdebat panas. Lagi-lagi itu kan baru konsep. Tidak mutlak benar. Beda misalnya kita bicara tentang virus Covid-19. Penyebab dan cara penyebarannya jelas…..”

Saya menatap sahabat dengan makin takjub. Jangan-jangan dia habis dibedah sama neurolog bijak itu dan mendadak jenius.

“Dan sialnya, kita di dunia ini berantem, bahkan berperang untuk sesuatu yang baru berupa konsep. Ibarat ada dua orang berencana mau masak soto, sebelum soto jadi, mereka sudah ribut duluan tentang kunir.Apakah soto kudu pake kunir atau tidak. Abis itu yang satu ribut ingin masak sop, dan nggak mau soto. Akhirnya tidak ada yang masak dan kita kelaparan…..”

“Kenapa nggak dari dulu-dulu kamu sepinter ini…” kata saya sambil tergelak-gelak.
“Kan gue kudu mabok dulu….” Kata dia kalem. “Yang jelas, kita harus menghentikan debat-debat berdarah untuk sesuatu yang masih konsep. Hanya membawa perpecahan….” Kalimatnya tentang perpecahan itu membuat saya menyudahi becandaan saya tentang bulan September dan hujatan abadi pada PKI.

Secara kebetulan pula seorang yang bijak mengatakan peristiwa 65 itu meninggalkan lingkaran karma buruk yang hanya bisa diselesaikan dengan saling memaafkan. Pihak-pihak yang terlibat dan terimbas merelakan apa yang terjadi. Memaafkan. Tidak menghujat PKI, maupun tidak menghujat para penghujat PKI.

Stop….. itu kuncinya, kata Beliau. Itu bila kita tidak ingin berlarut-larut masuk dalam lingkaran karma ini, yang menyebabkan pertikaian demi pertikaian tak kunjung usai. Duka demi duka. “Tetapi apa para korban bisa terima?” tanya saya.

“Bisa bila mereka merasa hak-haknya dipulihkan. Bila tak ada lagi hujatan. Sebab hujatan itu meninggalkan rasa tak aman dan tak nyaman. Kemarahan dan dendam. Harus ada kesadaran merangkul mereka, menghilangkan ketidaknyamanan. Kita pun harus berhenti memperolok penghujat PK*. Rekonsiliasi”

Dale Carnegie pernah mengatakan cara-cara menghindari konfrontasi bisa dimulai dengan tersenyum, bersahabat dan tak mudah menyalahkan. Demikianlah apa yang saya pikirkan hari ini, sembari sesayup teringat kalimat di buku sejarah Amerika.

We separate, than unite…

#vkd