KH Ahmad Sanusi: Tradisionalisme, Aktivisme, dan Otoritas

Syekh Ahmad Sanusi paling tidak merupakan simbol tradisionalisme pesantren yang merespon wacana dan gerakan reformisme yang telah terjadi di awal abad ke dua puluh.

Sabtu, 29 Juni 2019 | 12:43 WIB
0
421
KH Ahmad Sanusi: Tradisionalisme, Aktivisme, dan Otoritas
KH Ahmad Sanusi (Foto: Kompasiana.com)

Salah satu ulama Tatar Pasundan yang kerap mendominasi dalam merespon perkembangan wacana dan gerakan Islam reformis di abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh adalah Haji Ahmad Sanusi atau lebih dikenal dengan "Ajengan Genteng". 

Syekh Ahmad Sanusi---penyematan gelar "syekh" karena keluasannya dalam ilmu agama Islam---menjadi diantara sedikit ulama Pasundan yang paling produktif dalam menulis beragam disiplin keilmuan Islam, dari mulai soal tauhid, fikih, akhlak, tasawuf, bahkan hingga tafsir Alquran. 

Tak kurang dari seratus karyanya telah ditulis---sebagian hanya berbentuk risalah pendek---bahkan beberapa diantaranya menjadi kitab-kitab rujukan yang dipelajari di beberapa pesantren di Jawa Barat.

Syekh Ahmad Sanusi (1889-1950) adalah putra seorang tokoh pesantren di Cantayan, Abdurrahim bin Yasin. Seperti kebanyakan ulama Nusantara lainnya, Ahmad Sanusi mendapatkan didikan  pengetahuan suci dari ayahnya langsung dan untuk memperteguh otoritas keilmuannya, ia kemudian berangkat haji ke Mekah. Selama kurang lebih 11 tahun berada di Mekah (1909-1915), ia tentu saja banyak bertemu dengan ulama-ulama lainnya yang berasal dari Nusantara. 

Menariknya, Syekh Sanusi sepertinya tidak tertarik untuk belajar kepada Syakh Ahmad Khatib Minangkabau (1860-1916), padahal ulama Nusantara ini begitu dikenal bahkan seringkali diminta fatwanya dalam urusan-urusan agama dan politik oleh masyarakat Muslim di Hindia Belanda waktu itu.

Tidak menutup kemungkinan, bahwa sosok Syekh Ahmad Khatib dianggap "kontroversial" karena beberapa kali berpolemik dengan kelompok tarekat di Nusantara, bahkan secara terbuka "menyerang" praktik-praktik keagamaan yang dianggapnya menyimpang dari ajaran agama, membuat Syekh Sanusi kurang cocok dengan Syekh Ahmad Khatib. 

Bahkan, ada yang menganggap bahwa Ahmad Khatib adalah pelopor pembaharuan (reformis) Islam atau sekurang-kurangnya, ia adalah contoh generasi paling awal dalam hal ide gerakan reformisme Islam di Mekah di awal abad ke dua puluh (lihat, Deliar Noer, Gerakan Modernisme Islam di Indonesia: 1992).

Selain sebagai penulis produktif, Syekh Sanusi terdepan sebagai ahli debat ulung sekaligus pejuang kemerdekaan yang ditakuti pemerintah kolonial. Seringkali, misalnya, ia berpolemik dengan para penghulu yang diangkat oleh pemerintah dan faksi reformis dari kalangan Persatuan Islam (Persis).

Beberapa kali ia menunjukkan rivalitasnya dengan elit agama dari pakauman, membuat dirinya dianggap pemerintah sebagai pembuat onar dan ancaman bagi stabilitas politik. 

Oleh karena itu, pada 1927, ia diasingkan pemerintah ke Tanah Tinggi di Batavia dengan tuduhan mengganggu "rust en orde". Namun demikian, selama pengasingan dirinya tetap menjalin komunikasi dengan berbagai pihak, bahkan banyak diantara karya tulisnya yang lahir di masa pengasingan dengan penekanan terutama terhadap respon anti-penjajahan dan maraknya gerakan reformisme Islam.

Aktivitas politiknya di Sarekat Islam (SI), seringkali membangun kecurigaan pihak kolonial kepada Syekh Sanusi yang pada 1915 tercatat sebagai penasehat SI Sukabumi. Hal inilah yang kemudian, kasus Cimareme di Garut yang dikaitkan dengan Afdeeling B oleh pemerintah---isu ini terkait akan munculnya pemberontakan dari SI di wilayah Priangan---menyeret namanya sebagai tokoh yang dicurigai dan kerap kali ditangkap dan diasingkan pihak Belanda. 

Keterlibatan Syekh Sanusi dalam politik tampaknya tidak cocok, sehingga ia kemudian mengundurkan diri dari SI pasca peristiwa Garut yang menewaskan H Hasan dan keluarganya ketika mereka menolak menjual padinya kepada pihak kolonial dengan jumlah dan harga yang ditetapkan pemerintah.

Selepas dari segala aktivitas politik, sikap paling jelas sebagai anti-kolonial terwakili dalam salah satu karya tafsirnya, "Mulja'ut Thalibin"---tafsir berbahasa Sunda yang secara kritis-akademis diulas oleh Jajang A Rohmana, dalam salah satu artikelnya, "Al-Quran wa al-Isti'mar: Radd al-Syekh Ahmad Sanusi (1888-1950)"---yang ditulis sekitar tahun 1931-1932. 

Tafsir ini---menurut Jajang---ditulis di masa-masa pengasingan di Central Batavia dimana secara sangat lugas mengkritik para penghulu atau ulama-ulama birokrat yang diangkat pemerintah kolonial dengan sangat "keras". Seperti ketika menafsirkan surat al-An'am: 52-53:

"Lantaran eta ngusir ka batur atawa wungkul samata2 ngahinakeun jeung mikabenci ka eta jalma padahal sakabeh jalma anu iman anu islam, eta mesti kudu diaku jeung kudu diagungkeun jeung kudu dihormat, jadi lamun aya jalma anu sok ngusir ka jalma Islam Iman eta samata2 iblis setan, komo lamun eta jalma teh make ayan ngaran guru, eta lain guru Islam, tatapi guru Iblis sahakekatna Dajjal Ajaajil...Jadi kacida blegugna lamun jalma dipaparin kabeungharan dipaparin kamulyaan di dunya make tabeat gumede plegig dolim kanu hina kanu pakir"

Kritiknya juga tampak "keras" kepada gerakan reformis Islam yang secara nyata menyerang kalangan tradisional pesantren, terutama pihak reformis menuduh para tokoh pesantren sekadar "taklid buta"  yang sepi dari nilai-nilai itjtihadi dalam merespon kemajuan pemikiran Islam. 

Maka, karya-karya Syekh Sanusi, seperti "al-Silah al-Mahiyyah li Thuruq al-Firaq al-Mubtadi'ah" tentang kelompok muslim yang mengidentifikasikan dirinya sebagai pengikut praktik Mu'tazilah, Syiah, dan bid'ah; "Mandzumat al-Rijal" yang membahas tentang tawasul; dan kitabnya yang mengkritik wacana reformis yang saat itu berkembang adalah "al-Mufahamat fi Daf'i al-Khalayat" yang menekankan pentingnya mengikuti salah satu mazhab tertentu dalam Islam secara taqlid, seolah mewakili pemikiran tradisionalis dalam merespon wacana reformis yang kian marak. 

Syekh Sanusi menjadi corong utama kalangan tradisionalis di awal abad ke dua puluh dalam merespon gerakan dan wacana reformis yang cukup tajam, terutama dalam menyoroti persoalan ijtihad dan taklid. 

Kalangan reformis umumnya menganggap, sikap taklid masyarakat Muslim Indonesia atas kekuatan otoritas para ulamanya, semakin membuat pintu ijtihad tertutup rapat-rapat. 

Betapapun taklid sesungguhnya keniscayaan, sebab sebuah adagium menyebutkan, "al-insaanu hayawanun muqallidun" (manusia adalah sekumpulan mahluk penjiplak satu dan lainnya). Jadi patut diperhatikan, bahwa sesungguhnya kalangan reformis juga taklid atas segala pengaruh yang kala itu dipelopori ulama Mesir, Syekh Muhammad Abduh.

Menariknya, Robert R Jay melukiskan gerakan reformasi Islam di Jawa ini---dalam bukunya, "Religion and Politics in Rural Central Java": 1963---mengikuti arah pemikiran yang ditempuh oleh "Manar Modernist" Abduh di Mesir, yakni mengkompromikan antara "western rationalism" dan "Islamic fundamentalism" memadukan rasionalisasi Barat dan pedoman fundamentalisme Islam. Tepat sebagaimana yang disebutkan C.C. Berg, bahwa orang-orang Indonesia sekembalinya dari Mesir memancarkan sinar Al-Manar di tanah airnya (lihat misalnya, H. Aqib Suminto, "Politik Islam Pemerintah Hindia Belanda": 1985)

Namun demikian, diantara karya Syekh Sanusi dalam bidang tafsir Alquran yang secara sempurna ditulis hanyalah kitab "Raudlatu al-'Irfan fi Ma'rifati al-Qur'an" sebanyak dua jilid, dimana jilid pertama ditulis oleh sekretarisnya Muhammad Busyra atas persetujuan Syekh dan jilid berikutnya ditulis oleh Muhammad bin Yahya, dimana jilid lengkapnya inilah kemudian diterbitkan ulang oleh penerbit Pesantren Gunung Puyuh, Sukabumi. 

Kita tentu saja dapat mengetahui, bahwa dalam karya tafsirnya ini tampak jelas penolakan Syekh Ahmad Sanusi terhadap wacana reformis yang terlampau mudah memberikan label "bid'ah" atau "syirik" atas praktik-praktik keagamaan yang sejauh ini dibolehkan berdasarkan ijma' ulama.

Seperti kebanyakan karya ulama soleh terdahulu, mereka senantiasa menunjukkan kesederhanaan dan kebersahajaannya di awal ketika menulis segala sesuatu. Menulis, seolah memadukan ruang ideal dan spiritual, ditopang oleh ketulusan niat, semata hanya mengharapkan perkenan dan rida dari Allah. 

Seperti tertulis di sampul depan tafsirnya ini, "Kebon rupa2 ilmu jeung nganyahokeun maksudna Qur'an dikarang jeung dianggit ku kula ajhal khadim thalabatil 'ilmi...". Salah satu contoh, ketika Syekh Sanusi menafsirkan ayat 35 surat al-Maidah, dalam karyanya, "Raudlatul 'Irfan":

"Hai eling-eling sakabeh jalma anu iman, eta sakabeh jalma kudu sieun maraneh kabeh ku Allah, jeung kudu neangan maraneh kabeh ka Allah perantaraan anu ngadeukeutkeun jeung kudu jihad maraneh kabeh dina agama Allah, supaya maraneh kabeh meunang kabagjaan di dunia di akherat".

Syekh memberi penafsiran singkat mengenai ayat ini dengan menyebutkan, "maraneh kudu tawasul kalawan amal atawa kalawan anbiya, auliya jeung solihin saka yakin sasarna anu ngamusyrik-musyrik ka sagala tawasul" (kalian harus bertawasul dengan amal atau kepada para nabi, para wali, dan orang-orang soleh dengan yakin yang ditujukan kepada mereka yang gemar memusyrikan segala praktik tawasul). 

Dari ungkapan ini, terasa sangat kental penolakannya atas kegiatan kelompok reformis yang melancarkan serangan terhadap kaum tradisionalis dengan menganggap segala praktik ibadah yang berkaitan dengan adat atau tradisi sebagai bagian dari khurafat, bid'ah, bahkan musyrik.

Syekh Ahmad Sanusi paling tidak merupakan simbol tradisionalisme pesantren yang merespon wacana dan gerakan reformisme yang telah terjadi di awal abad ke dua puluh. Menariknya, pesantren yang berada di Pulau Jawa merupakan satu-satunya "pengikat" paling kuat diantara penggalan-penggalan tradisi yang hampir tak tergoyahkan bahkan hingga saat ini. 

Sekalipun kritik yang membanjiri dari sekian banyak kalangan sarjana modern Muslim yang menyebut terjadinya dekadensi intelektual Islam---seperti kritik Fazlur Rahman atas tradisi syarh yang ditulis banyak ulama Jawi---namun kenyatannya, perkembangan intelektual Islam di Indonesia tentu meningkat melalui perkembangan tradisi ini. 

Hal ini jelas berbeda dengan kesimpulan Jajat Burhanudin dalam bukunya, "Ulama dan Kekuasaan": 2012, dimana ia menulis bahwa, "bukannya menandai dekadensi intelektual, penulisan syarh oleh ulama Jawi memperkuat kembali berdirinya ulama sebagai kelompok yang otoritatif dalam pembentukan diskursus Islam".

***