Gus Mus, Protokol Kesehatan dan JJS

Kembali kepada JJS-nya Gus Mus. Yang mengagumkan saya dari Abah adalah konsistensinya menjalani "jalan ruhani", yaitu jalan pagi ini, setiap hari.

Senin, 4 Januari 2021 | 06:29 WIB
0
184
Gus Mus, Protokol Kesehatan dan JJS
Gus Mus dan keluarga setelah JJS (Foto: dok. pribadi)

Tak setiap hal selama pandemi ini membawa berita menyedihkan. Ada hal-hal yang menggembirakan juga. Salah satunya adalah hal tentang Gus Mus.

Sejak pandemi berkecamuk di awal tahun ini, Gus Mus menghentikan seluruh kegiatannya, terutama ceramah keliling yang sudah beliau jalani selama bertahun-tahun. Untuk membantu upaya pemerintah menangani pandemi, Gus Mus mematuhi secara konsisten protokol kesehatan: memakai masker, menjaga jarak, dan menghentikan kegiatan-kegiatan yang menyebabkan kerumunan.

Seluruh tamu di-stop. Hanya tamu-tamu yang "super-super urgen" saja yang dibolehkan menemui beliau. Satpam yang menjaga dengan super ketat Gus Mus tak lain adalah Mbak Admin Ienas Tsuroiya. Setiap tamu harus melalui "clearance" dulu dari Mbak Admin.

Bahkan ngaji mingguan tafsir al-Ibriz yang sudah menjadi tradisi puluhan tahun, dan diselenggarakan setiap Jumat pagi di pesantren beliau sendiri di Leteh, Rembang, dan biasanya diikuti ratusan jamaah orang-orang sepuh dari sekitar Rembang, sekarang diubah formatnya: dari ngaji darat menjadi ngaji online.

Dalam ketaatan pada protokol kesehatan, saya menganggap Gus Mus adalah salah satu kiai di lingkungan NU yang paling konsisten menaati. Beliau bisa dianggap sebagai "duta protokol kesehatan". Kita butuh tokoh-tokoh masyarakat yang menunjukkan teladan seperti ini, agar masyarakat tidak meremehkan virus Covid-19 ini. Di masyarakat bawah, baik di kota atau di desa, masih banyak kita jumpai sikap menyepelekan virus ini; bahkan skeptisisme tentang adanya virus ini pun masih ada.

Selama pandemi yang sudah berlangsung hampir setahun ini, Gus Mus memiliki kebiasaan "baru" yang membuat saya sendiri iri. Nyaris setiap hari, setiap bakda subuh, beliau keluar rumah, jalan kaki dari "ndalem" beliau di Leteh, menuju alun-alun di tengah kota Rembang. Perjalanan kaki itu menempuh waktu kira-kira lima belas menit. Setelah itu, beliau akan mengitari alun-alun sebanyak lima kali.

Beliau menamai kegiatan baru ini JJS: Jalan-Jalan Sehat. Biasanya, beliau akan disertai rame-rame oleh anak-anak dan cucu, berjalan dari rumah menuju alun-alun. Tetapi tak jarang pula, beliau JJS sendirian, seperti terjadi pagi ini. Beberapa saudara yang biasa menyertai beliau JJS sedang berhalangan, sehingga Gus Mus terpaksa jalan kaki pagi ini sendirian.

Ritual lain yang biasa beliau lakukan saat JJS, terutama jika didampingi cucu-cucu yang masih "krucil", adalah mampir ke warung untuk membelikan jajanan untuk para cucu itu. Saya pernah menyertai beliau JJS waktu "mudik-dengan-nyetir-sendiri" sekitar dua bulan lalu.

Pagi itu, saya sekeluarga menyertai Abah (begitu biasa kami memanggil beliau) jalan kaki dari rumah ke alun-alun. Seru sekali, karena jalan rame-rame dan (dalam bahasa Jawa Pantura) "pating kriyek". Usai JJS, Gus Mus mengajak kami mampir di sebuah warung, beli jajanan dan ngopi.

Sedang asyik-asyiknya kami ngobrol dan ngopi, tiba-tiba, "mak jegagik" ada seorang anak muda datang membawa satu kardus wingko. "Ini oleh-oleh untuk Gus Mus." Anak muda ini tak berani menghadap langsung ke Abah. Ia menyerahkan wingko itu kepada salah satu dari puteri Gus Mus.

Kami pun bengong, tapi kami tak membiarkan diri bengong lama-lama. Kami segera membuka kardus wingko itu dan menyantap ramai-ramai. Anda bisa bayangkan, betapa lezatnya pagi yang dimulai dengan kopi dan wingko.

Kembali kepada JJS-nya Gus Mus. Yang mengagumkan saya dari Abah adalah konsistensinya menjalani "jalan ruhani", yaitu jalan pagi ini, setiap hari. Beliau hanya absen saat hari sedang mendung gelap atau hujan. Bahkan beliau mau jalan kaki sendirian.

Bagi orang-orang yang merupakan "tokoh besar", jalan sendirian di pagi hari, tanpa didampingi ajudan atau teman, mungkin bukan kegiatan yang membuat nyaman. Beberapa orang yang dipandang tokoh besar, boleh jadi akan merasa malu jalan sendiri "glondhang-glandhung", seperti jomblo yang ndak laku rabi. Ndak usah kiai besar seperti Gus Mus. Kiai kecil tingkat kampung pun belum tentu "berani" jalan kaki sendiri di jalan umum. Perasaan "ewoh" dan sungkan biasanya menggelayut berat.

Tetapi Gus Mus tidak demikian. Beliau tidak malu jalan sendirian, tanpa didampingi ajudan atau pendamping. Karena itu, alhamdulillah, selama pandemi ini, secara fisik (apalagi secara rohani), Gus Mus sehat, segar-bugar, mengalahkan kami anak-mantu yang masih muda-muda ini.

Ayok JJS!

***