Jangankan ke luar negeri. Ke kota lain pun belum bisa. Bayangan Ibu Ani masih ikut terus. Ke mana pun saya pergi pasti ada kenangan dengan Ibu Ani
Saya ini boleh dibilang golongan radikal: melayat kok begitu telat.
Saya baru melayat setelah almarhumah dimakamkan lebih lima bulan sebelumnya.
"Nyuwun duko," kata saya kemarin malam --saat saya menyalami suami almarhumah.
Nyuwun duko.
Itu tidak bisa diartikan sebagai sekedar minta maaf. Arti harfiah "nyuwun duko" adalah "minta agar diberi marah".
Itulah orang Jawa. Atau budaya Jawa. Kalau merasa berbuat salah --yang keterlaluan-- tidak cukup sekedar minta maaf. Harus sampai minta dimarahi.
"Nyuwun duko, Pak", kata saya mengulangi.
"Gak apa-apa. Saya tahu Pak Dahlan lama di luar negeri," ujar beliau --sambil merangkul saya. "Waktu almarhumah dirawat di Singapura Pak Dahlan kan sampai menengok dua kali," tambah beliau.
Kemarin malam saya memang ke Cikeas. Melayat. Sangat telat. Dulu, saat Ibu Ani Yudhoyono meninggal dunia, saya lagi di Amerika. Lalu harus ke Tiongkok. Ke beberapa negara lainnya lagi. Sambung ke Inggris. Baru ketemu istri sendiri di Hangzhou. Diajak pulang.
"Nyuwun duko," kata saya lagi --sambil cipika-cipiki.
Lalu saya tinggalkan HP di teras. Kemudian diajak duduk di meja rapat --di ruang depan.
Ruang itu tidak asing bagi saya. Sudah sering saya diterima beliau di situ. Dulu. Saat masih menjadi sesuatu.
"Nyuwun duko," kata saya lagi --setelah duduk di kursi.
Kami hanya berdua.
Sunyi.
Di luar rumah cuaca dingin. Hujan baru reda. Waktu berjalan dari pendopo ke kediaman ini pun beberapa tetes hujan masih tersisa.
"Kami kaget Bu Ani meninggal begitu cepat. Mungkinkah tim dokter terlalu agresif?" celetuk saya.
Pak SBY terdiam agak lama. Lalu menarik nafas panjang.
"Tidak juga Pak Dahlan," katanya lirih. "Semua sudah sesuai dengan protokol penanganan kanker darah," ujar beliau.
Di samping ditangani tim dokter Singapura, dua tim dari Amerika juga didatangkan. Untuk melakukan review. Hasilnya: apa yang dilakukan di Singapura sudah betul. Mereka pun akan melakukan hal yang sama.
Saya tidak meneruskan pertanyaan itu. Padahal begitu banyak yang ingin saya tanyakan seputar masa sakitnya Ibu Ani. Sebagai sesama penderita kanker.
Saya harus tahu. Soal itu masih sangat sensi. Saya melihat Pak SBY masih begitu sedih. Wajahnya masih penuh duka. Pun setelah lima bulan berlalu.
Wajah beliau masih sangat sedih.
Karena itu beliau tidak lagi tinggal di Kuningan. Rumah Kuningan penuh dengan kenangan masa-masa akhir dengan Ibu Ani.
Itulah rumah yang diberikan negara. Untuk seorang mantan presiden. Tiga tahun penuh Pak SBY pindah ke rumah itu. Hanya berdua dengan Ibu Ani. Acara tidak sepadat waktu menjabat presiden. Ibaratnya di rumah baru itu beliau seperti pengantin baru lagi. Banyak waktu yang dihabiskan hanya berdua.
Rumah itu sekarang dibiarkan kosong dulu. Hanya ada penunggunya saja.
Pak SBY kembali tinggal di Desa Cikeas. Yang sudah masuk wilayah Bogor. Malam itu saya perlu waktu 1,5 jam untuk bisa sampai di sana. Dari rumah saya di SCBD Jakarta.
"Di sini lebih tenang," ujar Pak SBY lirih.
"Saya belum ke mana-mana. Di rumah ini saja," tambahnya.
"Tidak ingin ke luar negeri?“ tanya saya.
"Jangankan ke luar negeri. Ke kota lain pun belum bisa. Bayangan Ibu Ani masih ikut terus. Ke mana pun saya pergi pasti ada kenangan dengan Ibu Ani," ujar beliau.
Saya tahu betapa menyatu pak SBY dengan istrinya. Bukan hanya untuk masa yang panjang. Bukan hanya serasi. Tapi juga sangat intens. Intensitas hubungan itu begitu tinggi. Pun dalam masalah politik.
"Baru minggu depan terpaksa harus ke Bandung," ujar beliau. "Pak Hatta terima gelar doktor dari ITB," tambah beliau.
Hatta Rajasa adalah besan. Juga menteri. Di masa kabinet beliau. Termasuk menjabat Menko Perekonomian.
"Di Bandung nanti saya minta dicarikan hotel yang tidak ada kenangan dengan Ibu Ani," ujar beliau.
Saya pun tidak mau menambah kesedihan beliau.
Mungkin bicara politik lebih bisa mengalihkan kesedihan itu. Maka saya pun memulai bicara politik.
Mulai dari mengapa Mas Agus berhenti dari dinas ketentaraan --saat pangkatnya masih mayor. Agus Harimurti Yudhoyono adalah anak sulung beliau. Yang sangat pandai. Ganteng. Lulusan Akmil terbaik.
Karir militernya lancar. Mestinya akan bisa mencapai pangkat jendral. Tapi baru di mayor sudah memutuskan berhenti. Saya ingin tahu cerita panjangnya. Siapa yang berinisiatif untuk berhenti. Meski tidak untuk saya tulis.
Termasuk saya tanyakan juga: mengapa Mas Agus itu tidak langsung saja jadi ketua umum Partai Demokrat. Toh sudah nekat hanya akan terjun ke politik.
Tentu saya juga bertanya soal mengapa tidak jadi gabung ke koalisi. Cerita panjangnya seperti apa.
Pokoknya apa saja saya tanyakan. Termasuk yang agak sensitif: mengapa Ibu Megawati Soekarnoputri masih belum bisa menerima penggabungannya. Terutama apakah betul begitu.
Hanya satu yang saya tidak berani menanyakan: mengapa berat badannya tidak turun-turun.
Saya khawatir pertanyaan seperti itu hanya akan menambah kesedihan beliau.
Dan lagi, berat badan saya sendiri kini naik 3 kg. Gara-gara 12 hari di Xinjiang. Lemak dari kambing pantat besar di sana ada yang ikut ke darah saya.
Satu jam sudah kami berbincang. Tiba-tiba ada suara anak kecil. Sendirian. Dari arah dalam. Lari-lari. Mendekat ke arah Pak SBY.
Anak kecil itu termangu melihat saya. Lalu menempel ke pangkuan beliau. Sambil seperti mau mengambil kue di depan saya.
"Yang ini saja," kata Pak SBY kepada cucunya itu. Sambil menyodorkan kue di depan Pak SBY.
Setelah menerima kue itu sang cucu lari ke dalam lagi.
Itulah Pancasakti Maharajasa Yudhoyono. Putra kedua Mas Ibas --Edhie Baskoro Yudhoyono, adik mas Agus.
Cucu seperti itulah yang kini jadi penghibur hati beliau. Ibas dan keluarganya kini ikut tinggal di Cikeas --menemani sang ayah.
Sebagai intelektual Pak SBY tahu kesedihan jenis apa yang sedang dialaminya sekarang ini. Yakni masa sulit setelah ditinggal istri tercinta.
Beliau sengaja membaca beberapa buku yang membahas 'masa-masa sulit' seperti itu. Juga membaca beberapa artikel terkait.
Beliau optimistis masa sulit itu akan bisa diatasi. Pada saatnya. Hanya perlu waktu.
Semua orang mengalaminya. Itu sangat manusiawi. Ada yang bisa teratasi dalam sebulan. Setengah tahun. Ada yang perlu satu tahun. Bahkan ada yang harus sampai satu setengah tahun.
Pak SBY kelihatannya tergolong yang terberat itu.
Sudah hampir lima bulan pun masih seperti itu.
Padahal dulu begitu tegarnya.
Sudah satu setengah jam kami berbincang. Saya melirik ke jam dinding.
"Mungkin banyak tamu bapak yang antre," kata saya.
"Malam ini saya kosongkan untuk Pak Dahlan," jawab beliau.
Baru satu jam kemudian saya pamit.
Kembali melewati pendopo di sebelah rumah. Yang ada halaman luas di depannya. Yang dulu sering dipakai pertemuan umum.
"Apa yang berubah di halaman ini ya?“ tanya saya pada diri sendiri.
Dahlan Iskan
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews