Cak Imin [4] Umpan Lambung Bola ke Kursi Ketua PSSI

Santri 24 jam dilatih taat terhadap setiap aturan atau regulasi di pesantren, tidak dikenal negosiasi kepada kiai. Sportivitas, kejujuran, fair play, ketaatan kepada regulasi bukan barang baru.

Jumat, 12 Juli 2019 | 20:01 WIB
0
490
Cak Imin [4] Umpan Lambung Bola ke Kursi Ketua PSSI
Cak Imin dan sepak bola (Foto: Twitter.com)

Bukan Cak Imin (H. A. Muhaimin Iskandar) namanya bila tak membuat "geger" negeri ini melalui gagasan atau "manuvernya" yang sering tidak diduga orang. Baru-baru ini jagat media sosial kita heboh karena cuitan Cak Imin:  "Saya siap memimpin PSSI, biar beres, biar berprestasi, masuk gelanggang dunia" di akun Twitternya @cakiminNow.

Cuitan yang diposting pada tanggal 23 Januari 2018 pukul 10.57 itu sontak mendapatkan respons cepat dari penggiat media mainstream maupun media sosial kita. Tak lama berselang, berita media nasional kita langsung beredar ditambah dengar viralnya meme-meme Cak Imin terkait postingannya itu.

Pernyataan Cak Imin itu merupakan buntut dari mundurnya Edi Rahmayadi pada Kongres Tahunan PSSI di Bali baru-baru ini. Serentet kasus, mulai dari kekerasan suporter, melempemnya prestasi Timnas Indonesia, kasus pengaturan skor di liga tanah air, plus rangkap jabatan Ketua Umum PSSI dan Gubernur Sumatera Utara yang membuat dirinya harus mundur.

Meski berlatar belakang politisi, kesiapan Cak Imin adalah sikap keterpanggilnya ditengah sengkarut sepak bola Indonesia yang derajat penyakitnya sudah kronis. Kasus pengaturan skor yang sedang dibedah Satgas Anti Mafia Bola Polri dengan mayoritas melibatkan pelaku dari daerah ditambah orang lama PSSI adalah wujud nyata keakutan penyakitnya.

 Sikap Cak Imin itu boleh jadi mewakili suasana batin kita sebagai bangsa besar dengan penduduk 265 juta (tahun 2018) yang rindu akan prestasi sepak bolanya dipentas dunia. Mengingat sepak bola adalah olah raga yang paling popular di jagat ini, termasuk di negeri kita.

Jumlah penduduk besar kita ternyata tidak linier dengan prestasi sepak bolanya sebagai akibat belum maksimalnya kuantitas kompetisi maupun kualitas pemainnya. Ikhtiarnya adalah melakukan terobosan baru melalui "penyehatan tubuh" PSSI sebagai induk olah raganya. Boleh jadi, ini yang akan dilakukan Cak Imin meskipun tidak mudah mewujudkannya.

Penulis kira, profesionalisme, sportivitas, sinergi, dan pentingnya integritas dalam tubuh PSSI menjadi sumbu utama bangkitnya prestasi sepakbola nasional. Sebagai politisi tentu Cak Imin faham betul bagaimana meramu semua itu menjadi resep jitu meningkatkan marwah sepak bola kita.

Sudah menjadi rahasia umum bila kompetisi sepak bola untuk jenjang usia muda sudah banyak, sebut saja Piala Soeratin, Haornas, U 21, dan U 19. Namun, kompetisi itu tidak mampu berbuat banyak terdongkraknya prestasi sepak bola kita di level Asia Tenggara, Asia maupun dunia. Aneh bukan!.

Cak Imin dikenal sebagai inisiator Liga Pekerja Indonesia kala beliau mejabat Menaker di era SBY yang kemudian diteruskan oleh Hanif Dakhiri hingga sekarang. Beliau juga inisiator Liga Santri Nusantara, gagasan itu kemudian dijalankan oleh Kemenpora. Kedua menteri itu nota bene kader Partai Kebangkitan Bangsa dibawah komando Cak Imin. Hal inilah, yang menjadi penguat Cak Imin siap menjadi ketua PSSI. Bukan tanpa alasan bukan!

Politik dan Sepak Bola

Ribut-ribut dan kekisruhan PSSI tak ubahnya seperti serial sinetron televisi. Judul berita "PSSI Bobrok" bukan barang baru. Majalah Tempo edisi 18 Januari 1986 pernah merilis berita kekisruhan PSSI setahun jelang Indonesia menjadi juara sepak bola Sea Games 1987 untuk kali pertamanya.

"PSSI Bobrok" menjadi ilustrasi tak terbantahkan yang menggambarkan sejarah panjang sepak bola Indonesia yang tak luput dari cerita kegaduhan, kekisruhan, bahkan keruwetan. Padahal, Soekarno, Hatta, Otto Iskandar Dinata bahkan Ki Hadjar Dewantara meyakini bahwa sepak bola adalah alat menumbuhkan nasionalisme.

Sepanjang yang penulis ketahui, sepak bola Indonesia sejak dahulu selalu diluputi kegaduhan hingga kerusuhan antar supporter. Anehnya, sejarah itu selalu terulang seolah tiada ujung pangkalnya. Begitupun halnya terkait mafia sepak bola, tak luput dari cerita bahwa ia sesungguhnya kawan intim ketua PSSI.

Masih ingat kan PSSI eranya Nurdin Khalid yang mebuahkan perseteruan antara Liga Prima Indonesia (LPI) dengan Indonesia Super League (ISL) eranya Djohar Arifin Husein. Kasus itu kental nuansa politiknya, nampak betul politik mengendalikan sepak bola kala itu.

Penulis kira, kegaduhan dan kekisruhan yang dialami berulang oleh dunia sepak bola kita menggambarkan bahwa sepak bola dan politik memiliki relasi yang unik. Keduanya memiliki kesamaan: penggemarnya jutaan, menghasilkan primordialisme yang kuat, memunculkan harapan berbagi, bersenang-senang dalam kemenangan, persaingan dan kekalahan dan lain-lain.

Wajar bila kemudian Gus Dur semasa hidupnya dikenal pencinta sekaligus sebagai pengamat sepak bola. Tak jarang analisa Gus Dur selalu dinanti setiap kali ada perhelatan Piala Dunia atau Piala Eropa. Kala menjadi presiden, beliau pernah mengaku bahwa strategi mengelola negara beliau ambil dari sepak bola.

Layaknya Gus Dur, sebagai politisi Cak Imin faham betul bahwa sepak bola itu tidak mengenal penyelesaian matematis. Bola itu bundar dan tak akan pernah berubah, karenanya ia terus dinamis.

Begitupun halnya dengan politik. Bagi Cak Imin politik itu seni bermain dengan kemungkinan. Mana kemungkinan yang paling benar dan bagaimana menggunakan kemungkinan-kemungkinan itu untuk mencapai tujuan sesuai dengan kesepakatan. Keduanya berlaku dalam sepak bola dan politik.

Bila sebagian orang menganggap risi dengan pernyataan sikap Cak Imin yang bersedia menjadi Ketua Umum PSSI, bagi penulis justeru itu langkah cerdas Cak Imin sekaligus momentum tepat bagaimana beliau membentuk "kesebelasan" PSSI yang berintegritas dan berkarakter.

Sudah menjadi rahasia umum bila beliau adalah calon presiden yang disiapkan PKB untuk tahun 2024. Melalui sepak bola nampaknya beliau sedang ingin berlatih menguatkan kepekaan bagaimana ia harus mencari orang yang mumpuni dibidangnya bila kelak "kesebelasannya" turun gelanggang. Lebih dari itu, Cak Imin faham bahwa rakyat Indonesia adalah pecinta bola. Sepak bola boleh jadi menurutnya sebagai jalan untuk menguatkan kepekaan intuisi politiknya.

Santri untuk PSSI

Sebagai Panglima Santri, Cak Imin memiliki obsesi besar suatu saat santri menjadi bagian tidak terpisahkan dalam mewujudkan prestasi sepak bola negeri ini. Sangat wajar jika kemudian beliau menginisiasi Liga Santri Nusantara (LSN) sebagai ikhtiar pembinaan sepak bola yang berbeda dengan pembinaan lainnya.

Cak Imin sebagai trah pendiri NU tentu sangat khatam bahwa pesantren dan sepak bola merupakan dua simbol pemersatu dalam perjalanan bangsa Indonesia. Ditambah pesantren merupakan agen perubahan sosial melalui nilai-nilai keislaman

LSN diinisiasi untuk memfasilitasi tumbuhnya pesepak bola yang profesional dikalangan santri dan tentunya berkarakter khas santri yang berbudi luhur. Cak Imin sangat yakin dibalik 4.290.626  (data Kemenag tahun 2016) jumlah santri di seluruh Indonesia terselip bakat-bakat terpendam pesepak bola profesional.

Gagasan Cak Imin yang kemudian di jalankan melalui Kemenpora dibawah nahkoda Imam Nahrawi telah memberi warna baru terhadap pembinaan pemain muda. Hasil dari pembinaannya kemudian direkomendasikan kepada PSSI untuk disalurkan kepada klub-klub profesional.

Kehadiran LSN memberi semangat baru sebagai alternatif kompetisi ditengah kelesuan prestasi sepak bola kita. Hal ini seiring dengan kehendak Presiden Jokowi supaya sepak bola mampu meningkatkan prestasinya.

Dengan karakter dan semangat yang kuat sebagai hasil pembelajaran dan pembiasaan santri di pesantren mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi, dengan 24 jam kehidupan yang dijalani secara teratur merupakan modal besar kedisiplinan sehingga ia membentuk karakter pribadinya.

Tentu kita mengenal Adeng Hudaya (Persib Bandung), Budi Sudarsono (Deltras Sidoarjo), Ahmad Bustomi (Arema Malang) mereka adalah contoh santri yang mampu menjadi pemain profesional, bahkan langganan pemain Timnas Indonesia.

Pada generasi milenial ada Yadi Mulyadi, Santri asal Plered Purwakarta dari pondok pesantren Al-Mujtaba mampu menjadi pemain terbaik pada kompetisi Piala Danone U-12 tahun 2014 di Sao Paulo Brazil. Ada lagi, M. Rafly Mursalim santri asal Banten yang kini menjadi andalan coach Indra Syafri untuk pemain Timnas U-19. Rafly adalah pemain terbaik LSN 2016.

Cak Imin sebagai salah seorang yang mengikuti proses awal hingga akhirnya setiap tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri sadar betul tidak ada yang mustahil jika kelak dari kalangan santri menjadi top leader di PSSI sebagai induk olah raga cabang sepak bola di negeri ini.

Masyarakat Indonesia sungguh rindu akan tontonan sepak bola yang menghibur dan memunculkan kenikmatan tersendiri tanpa disusupi kepura-puraan akibat uang "menguasai" kompetisi dan pertandingan.

Santri 24 jam dilatih taat terhadap setiap aturan atau regulasi di pesantren, tidak dikenal negosiasi kepada kiai. Nilai sportifitas, kejujuran, fair play, ketaatan kepada regulasi bukan barang baru bagi santri.

Inilah pondasi yang kuat dalam membangun karakter seorang pemain maupun pengelola sepak bola. Sikap Cak Imin (Panglima Santri) tadi tiada lain sebagai sebuah keterpanggilan, saatnya sepak bola kita bangkit dari keterpurukan prestasi.

Usep Saeful Kamal, penulis adalah peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.

***

Tulisan sebelumnya: Cak Imin [3] Sang Penerus Trah Ideologis Politik Gus Dur