Belum Diterbitkan Gramedia, Belum Sah sebagai Penulis/Pengarang

Dalam bahasa penerbitan modern, disebut “user generated content”. Di mana (calon) pembeli turut menentukan isi. Minimal, sebelum terbit, telah mafhun verdict of market-nya.

Sabtu, 10 Juli 2021 | 14:06 WIB
0
431
Belum Diterbitkan Gramedia, Belum Sah sebagai Penulis/Pengarang
Paradigma penerbitan buku di era the new media.

Jika buku Anda belum diterbitkan Gramedia. Belum sah sebagai Penulis/Pengarang. Masihkah pameo itu berlaku?

Jangan murka dulu! Jika, misalnya. Anda, sebagai penulis, belum nembus Gramedia. Baca dulu seluruh narasi ini. Tanpa tersisa, sepatah kata.

Baiklah, saya kunci dulu. Tentu ada Pembaca langsung bertanya. "Lha, kamu sendiri? Mana bukumu yang diterbitkan Gramedia?"

Baiklah! Kalau gak sabaran. Bisa lihat covernya yang saya muat di narasi paling belakang.

Jangan salah kaprah. Induk, atau biangnya Penerbit Gramedia itu, ada logo GM. Atau Gramedia Pustaka Utama, disingkat GPU. Gramedia, yang biangnya ini, yang saya maksudkan.

Khusus kita, Indonesia. Agaknya, perlu dibeda antara pengarang dan penulis. Di negeri om Becham, keduanya terangkum dalam sepatah terminologi: writer. Di kita, cukup berbeda.

Mengarang adalah proses kreatif menghasilkan tulisan fiksi. Sedangkan menulis untuk jenis tulisan non-fiksi. Ketika menulis berita, seorang wartawan bukan mengarang. Tapi menulis/ mencatatkan peristiwa. Factum non fictum. Namun, menulis, bisa untuk kedua-dua proses kreatif dan seluruh kegiatan berliterasi.

Mengarang, kadang, menunggu ilham datang. Namun, menulis, tidak. Asalkan ada fakta. Ia, menulis itu, tidak (harus) menunggu mood. Dan memang. Entah pengarang dan atau penulis profesional, tidak pernah mengalami writers's block. Kebuntuan menulis. Itu hanya --maaf-- dialami penulis amatiran. Atau penulis-gagal. Yang gagal menulis.

Kembali ke laptop.

Saya tak pernah mengirim spontan naskah ke Gramedia. Atas inisiatif sendiri. Tapi diminta. Jadi, dua kali gengsi saya, sebagai penulis, tersanjung. Tapi gak sampai bikin hidung naik. Sebab saya rasa, itu biasa-biasa saja. Ketika Anda belum siapa-siapa, artinya penulis pemula. Naskah yang dianggap the best, dibilang: jelek oleh Penerbit. Sebaliknya, ketika Anda master. Sampah pun tulisan Anda, dibilang: bagus.

Nah, jadilah master! Dalam hal tulis-menulis.

Baiklah kiranya dibedakan. Penerbit Gramedia mulanya satu saja. Kemudian hari, beranak-pinak. Membentuk kelompok penerbitan buku. Sedemikian rupa, sehingga kelompok usahanya disebut: Kompas-Gramedia. Ada toko buku. Ada penerbit.

Jangan salah kaprah. Induk, atau biangnya, ada logo GM. Atau Gramedia Pustaka Utama, disingkat GPU. Gramedia, yang biangnya ini, yang saya maksudkan.

Kini, perkenankan saya berkisah. Memulai narasi. Yang mungkin awalnya bikin Anda gusar, namun akhirnya bersetuju dengan saya.

Tahun 2014. Saya diundang owner sebuah penerbit buku besar di Indonesia. Dia kumpulkan semua jajaran direksi, manajer, kepala bagian, kepala seksi, hingga karyawan. Dengan saksama, mereka dengar paparan saya. Topik tentang tren penerbitan di era digital. Dan mereka terkejut.

Kata saya, "Trend penerbitan ke muka. Naskah yang laku, tidak akan diserahkan ke penerbit mainstream. Tapi dicetak, diterbitkan, dan dijual sendiri oleh penulisnya."

Mereka kaget. Lalu serta merta minta saran. "Jadi, kami mesti gimana dong?"

Saya bagai mengajari ikan berenang! Sejak itu, David mengajari Goliath. Tapi, beruntunglah penerbit itu. Sebab hingga hari ini, masih untung. Saya kasih saran praktis. Berdasar kepada pengalaman saya ke luar negeri, memantau.

"Penerbit besar di Amerika dan Eropa, membuat imprint. Saya termasuk salah satu yang mengerjakan kamus visual berkelas internasional, dari Prancis. Yang dicetak di Singapura, untuk dijual di Asia Tenggara. Banyak memangkas produksi langsungnya. Salah satu ongkos yang digunting: ongkos kirim."

Kata saya, "Itulah konsep imprint. Jika Anda mau sukses, lakukan apa yang orang sukses lakukan! Jika mau untung, dan hidup dari buku --kata saya-- belajarlah dari saya!" --dengan sedikit percaya diri.

Dan mereka memang para manusia pembelajar! Yang mau belajar dari semut. "Kapal besar memang harus punya sekoci," kata saya dalam tamsil. Yang hanya jajaran manager ke atas mengerti.

"Saya seorang diri saja, bisa menghasilkan 1 buku untuk hidup 3 bulan. Coba, hitung ada berapa karyawan di PT ini? Tidak usah sebesar hasil produksi saya. Sepertiganya saja. Apakah produktivitas karyawan telah optimal? Masihkah Anda menerapkan paradigma lama: Menerbitkan buku yang bisa diterbitkan? Bukan: Menerbitkan buku yang laku sebagai komoditas?"

Saya lihat floor tepekur. Duduk dalam diam. Kaget sudah pasti. Tapi bisa jadi, memikirkan apa yang akan dilakukan menyongsong era yang berubah, penuh dengan dinamika.

Ya, di era digital. Di mana kemudahan didapat dari teknologi percetakan (Xerox –dalam bahasa McLuhan), setiap orang mungkin menjadi penerbit. Asalkan, kreatif dan bisa mengolah naskah menjadi buku yang laku dijual.

Tren ke depan: NASKAH yang laku, tidak akan diserahkan ke Penerbit mainstream.

Selama ini. Orang mafhum perbukuan Nusantara awal mulanya menggeliat di ranah Minang. Betapa tidak! Dibanding wilayah lain, di Nusantara, daerah yang banyak melahirkan munsyi dan sastrawan ini lebih dulu eksis. Jauh sebelum Indonesia merdeka, telah ada Penerbit Limbago Minangkabau, Drukkerij Merapi (Bukittinggi), dan Almoenir (Padang). Baru tahun 1917, mendapat saingan dari Batavia dengan tampilnya Balai Pustaka.

Kemudian baru muncul penerbit besar seperti Djambatan dengan oplah besar. Sarinah, karya Soekarno (1951) dicetak 50.000 eksemplar. Antara 1949-1956, Djambatan adalah market leader perbukuan Tanah Air yang meraup pangsa pasar sebesar 50%.

Tahun 1953, Masagung (Tjio Wie Tay) dan rekannya Adisuria (The Kie Hoat) mendirikan N.V. Gunung Agung. Memasuki dekade 1970-an, PT Gramedia merajalela hingga 1980-1990-an bersama penerbit besar lain, seperti Erlangga, Mizan, Intan Pariwara, Penebar Swadaya, dan lain-lain. Mereka meraja lela hingga tibanya era digital.

Kini menerbitkan buku bisa siapa saja. Pasar lebih tersegmentasi. Oplah tidak lagi harus bicara minimal cetak 3.000 eksemplar. Mencetak 5, bahkan 1 eksemplar, pun dimungkinkan dengan sistem print on demand (POD). Orang tidak bicara lagi soal omset. Melainkan kecepatan, net profit,  dan efisiensi.

Sewa gudang sudah tidak ada lagi. Demikian pula, biaya membangun dan sewa toko buku tidak ada. Gerai buka 24 jam, setiap waktu, bukan hanya 12 jam per hari. Toko daring menjadi pilihan penerbit era digital.

Seiring itu, penerbit Indie (bebas) dan penerbit daerah kian menggeliat. Seperti kembali ke masa silam, era prakemedekaan. Mutu isi dan perwajahannya tidak kalah dibanding penerbit profesional. ISBN pun dengan mudah didapatkan.

Kalimantan yang selama ini nyaris tak terdengar, tampil berbagai kelompok penulis dan penerbit Indie. Dreamedia, misalnya. Dengan misi membawa gerakan Kalimantan Selatan Menulis, penerbit ini boleh dikatakan produktif. Mengangkat khasanah lokal. Dengan segmentasi pasar setempat.

Bahkan, ada di antaranya yang dicetak atas pilihan khalayak. Apa yang digagas Dedy Ari Asfar, misalnya. Boleh dikatakan inovatif. Ia mengumpulkan 10 cerpenis Kalbar, menulis dan menerbitkan cerpen dalam bahasa ibu dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Jika diperhatikan saksama, inilah paradigma penerbitan di era digital. Cara menentukan isi (buku) bukan lagi oleh penerbit, melainkan oleh khalayak.

Dalam bahasa penerbitan modern, disebut “user generated content”. Di mana (calon) pembeli turut menentukan isi. Minimal, sebelum terbit, telah mafhun verdict of market-nya.

Jadi, bukan lagi paradigma lama. Yang menjual buku setelah terbit.

Kini di era baru: menjual buku sebelum-terbit. Saya mafhum ilmu itu dari Kremer (1993). Formulanya: You can sell a book by it's cover!

Bagaimana itu?

Akan diulas pada narasi tersendiri. Nanti.

Dua buku saya. Contoh saja. Yang terbit di biangnya Gramedia dan anaknya. Ada label "best seller pula".

***