Mengenang Gus Dur dan Surat 18.45

Ia orang besar. Dengan gagasan-gagasan besar yang disampaikan dengan guyonan khas ”Gitu aja, kok, repot...!” untuk bangsa dan negara kita Indonesia.

Selasa, 18 Februari 2020 | 22:32 WIB
0
371
Mengenang Gus Dur dan Surat 18.45
Abdurrahman Wahid (Foto: Tebuireng Online)

Hujan mengguyur Jakarta pada Rabu (30/12/2009) sore. Lumayan deras. Di dalam sebuah gedung bertingkat di lantai 12 tak terdengar suara menggelegar petir dan halilintar yang menyambar.

Selepas Maghrib hujan sudah mulai reda. Tapi justru sebuah ”petir” berita yang mengagetkan kita semua saat kita mendengar berita wafatnya Presiden Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur, yang dikabarkan berpulang ke rumah Tuhan pada pukul 18.45 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, pada usia 69 tahun 148 hari. Gus Dur meninggalkan istrinya, Ibu Shinta Nuriyah Wahid, empat anak perempuan yang disayanginya, cucu-cucu yang lucu, dan lebih dari 231 juta rakyat Indonesia.

Kita sebagai bangsa, tentu, sangat sangat sangat berduka.

Karena Gus Dur – kelahiran Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940 – adalah salah satu tokoh penggerak demokrasi di Indonesia. Ia yang gigih memperjuangkan kesamaan dan kesetaraan hak bagi seluruh warga negara Indonesia. Ia pendukung setia keberagaman. Ia selalu berada di baris terdepan melawan kezaliman.

Ia muslim yang melintasi seluruh agama. Ia mengayomi penganut agama-agama lain, meski dirinya seorang kyai dan keturunan darah biru pendiri organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU).

Saya salah satu pengagumnya, dari dulu sampai kapan pun. Apalagi ketika dia jadi presiden. Bayangkan, ”seorang anak pesantren”, bukan tentara, bukan lulusan Harvard University, berhasil menjadi presiden.

Langkah-langkahnya, di luar urusan pergi melanglang buana ke sejumlah negara, saat menjadi presiden sungguh jelas. Ia memisahkan polisi dari tentara. Ia mempelopori pembentukan KPK. Ia melikuidasi Departemen Penerangan, dan yang paling dahsyat ia meminta Golongan Karya (Golkar) dibubarkan saja! Ia memperteguh langkah menuju jalan demokrasi bagi Indonesia: kebebasan pers dan kebebasan berpendapat yang dilindungi Undang-Undang.

Hebatnya, di dunia internasional, Gus Dur menggebrak dengan ide membentuk poros baru New Delhi–Jakarta–Tokyo–Beijing. Yang membuat Presiden AS Bill Clinton mau tidak mau menerima kehadiran Gus Dur di Gedung Putih, meski sebelumnya sama sekali tak ada jadwal keduanya untuk bertemu. Mungkin, karena ide besarnya itulah, Gus Dur harus dijatuhkan. Karena Gus Dur tak mau disetir Amerika a.k.a. Neolib.

Di sebuah lapangan terbuka dekat Monas, bersama sekumpulan massa pendukungnya, saya sempat mengantar Gus Dur keluar Istana Negara menuju Amerika Serikat untuk berobat (sebuah alasan yang dicari-cari supaya Gus Dur bisa meninggalkan Istana secara elegan), tak lama setelah dijatuhkan oleh keputusan Sidang Istimewa MPR RI pada 23 Juli 2001.

Bersama sejumlah teman, saya menangis pada hari itu. Menyaksikan ketegaran Gus Dur ”dikeroyok” dan ”dipukuli” sampai ”mati” oleh lawan-lawan politiknya. Tanpa memberikan perlawanan, selain dengan lambaian tangannya dengan pakaian tidur – bercelana kolor – di luar serambi Istana.

Sebetulnya, Gus Dur bisa saja melawan. Karena Pasukan Berani Mati dari berbagai daerah, terutama dari Jawa Timur, siap membelanya sampai titik darah penghabisan. Tapi, Gus Dur bukan lah seorang yang gila kekuasaan. Seperti Bung Karno, ia tak ingin terjadi pertumpahan darah. Ia lebih baik memilih jalan damai, ahimsa, jalan damai anti-kekerasan yang diajarkan Mahatma Gandhi, salah satu tokoh dunia yang dikaguminya.

Lebih dari itu, Gus Dur lah yang kembali memulai mempopulerkan batik sebelum kita heboh setahun ini soal memakai baju batik secara massal pada 2 Oktober lalu. Hampir tiap hari Gus Dur – dan anggota kabinet – berbatik di Istana. Termasuk saat menerima tamu-tamu negara: presiden, perdana menteri, hingga raja dan ratu. Beberapa motif batik sempat identik dengan Gus Dur. Kalau kita ke butik atau toko batik, juga Pasar Beringhardjo Yogya, sering kali kita ditanya dan ditawarkan apa sedang mencari motif batik Gus Dur.

Lebih daripada itu, Gus Dur lah yang membuka pintu bagi perayaan imlek, sehingga tiap tahun sekarang kita akrab dengan atraksi barongsay. Gus Dur lah yang menjadikan Kong Hu Cu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia, menyusul Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, dan Budha. Ia begitu dikagumi masyarakat Tiongha. Terlebih lagi saat Gus Dur menyatakan bahwa ia punya darah China dari salah satu buyutnya.

Gus Dur fasih berbagai bahasa. Termasuk bahasa Al Quran. Dan dia juga mempelajari Al Quran secara mendalam. Gus Dur mempunyai beberapa surah dalam Al Quran yang menjadi amalannya sehari-hari. Salah satu surah favoritnya adalah Al Kahfi.

Entah kebetulan entah tidak jam wafatnya Gus Dur adalah 18.45 WIB. Subhanallah, Al Kahfi itu surat ke-18 di dalam Al Quran. Surat Al Kahfi yang berarti goa ini terdiri dari 110 ayat. Terjemahan Ayat 45 Al Kahfi berarti: “Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia) bahwa kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allah maha berkuasa atas segala sesuatu.”

Gus Dur pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya ketika "air hujan yang turun dari langit" mulai reda. Ia bagai "tumbuhan yang mengering". Ia bakal "diterbangkan oleh angin". Karena kekuasaan-Nya, kini, Gus Dur menuju “goa” - rumah - Tuhan yang abadi. Yang damai di surga nun di sana....

Ada lagi kebetulan pada jam wafatnya Gus Dur. Dalam mitologi China yang suka mengotak-atik angka, angka 18.45 adalah angka sempurna. 1 + 8 = 9. Juga 4 + 5 = 9. Jika digabung angka 99 adalah angka ganjil yang juga menjadi simbol kesempurnaan umat Islam. Banyak amalan-amalan bacaan doa-doa yang diucapkan berbilang 9 dan 99. Bahkan 99 adalah nama-nama indah Tuhan yang biasa disebut asmaul husna.

Kita yakin, Gus Dur berpulang ke rumah Tuhan dalam keadaan penuh kesempurnaan setelah menunaikan tugasnya sebagai pemimpin yang rahmatan lil alamin, yang memberi rahmat bagi semua umat manusia, khususnya di Tanah Air kita.

Kita patut menangis dan berduka atas kepergian Gus Dur yang sempat bernama Presiden Abdurrahman Wahid.

Ia orang besar. Dengan gagasan-gagasan besar yang disampaikan dengan guyonan khas ”Gitu aja, kok, repot...!” untuk bangsa dan negara kita Indonesia.

Selamat jalan Presiden Abdurrahman Wahid....

Kami pasti selalu merindukan sosokmu yang selalu tampil sederhana bersahaja polos ceplas-ceplos dengan sepatu sandal di tengah Indonesia masa kini yang setiap hari makin hiruk pikuk dengan urusan pencitraan pribadi yang penuh sapuan kosmetik artifisial, korupsi yang semakin menggurita, dan bantah membantah fitnah.... 

***

AH
30 Desember 2009, pukul 20:30 WIB