Jelang Satu Abad Pak Sim, Institut TB Simatupang

Setelah pensiun dari militer, potensi intelektual Simatupang justru mendapat ruang ekspresi yang lebih besar, dan semakin mengukuhkan dirinya sebagai seorang pemikir dan aktivis sosial.

Senin, 1 Juli 2019 | 08:13 WIB
0
564
Jelang Satu Abad Pak Sim, Institut TB Simatupang
TB Simatupang (Foto: Facebook/Manuel Kaisiepo)

Pada tahun 1950, dalam usia sangat muda --30 tahun!-- dia menjadi Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP), menggantikan Jenderal Sudirman. Dialah Letnan Jenderal TNI (purn) Dr. Tahi Bonar Simatupang, yang lahir 99 tahun lalu, tepatnya 28 Januari 1920, dan wafat 1 Januari 1990.

Pak Sim --panggilan akrabnya-- seorang militer profesional sekaligus intelektual pemikir yang banyak menyumbang pemikirannya dalam soal-soal militer, pertahanan dan politik; juga sosial, filsafat, dan agama.

Pada awal karier militernya, salah satu lulusan terbaik Akademi Militer Belanda (KMA) ini ikut menyusun dan menyempurnakan struktur organisasi TKR (sekarang TNI). Simatupang yang kemudian menjadi wakil dari Panglima Besar Jenderal Sudirman, juga menjadi penasehat militer pada berbagai perundingan Indonesia - Belanda hingga Konferensi Meja Bundar (KMB) akhir 1949.

Pengalamannya bergerilya selama revolusi kemerdekaan, khususnya sejak Desember 1948 (pendudukan Yogya) hingga Desember 1949 (KMB), dan pengalamannya sebagai wakil militer dalam berbagai perundingan diplomatik itu kemudian dibukukan berjudul: LAPORAN DARI BANARAN: Kisah Pengalaman Seorang Prajurit selama Perang Kemerdekaan (1960).

Buku itu sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Benedict Anderson, REPORT FROM BANARAN: EXPERIENCES DURING THE PEOPLE'S WAR, dengan Kata Pengantar Prof. John R. W. Smail (1972). 
Buku ini mengisahkan periode paling eksistensial tidak saja bagi TNI tapi juga bagi negara baru Indonesia yang tengah berada di pusaran angin topan.

Profesor Smail dalam kata pengantarnya menulis, Simatupang dengan segala kapasitas, peran, dan pengalamannya sangat tepat menulis tentang periode itu. Smail menambahkan : "....Report from Banaran --like Simatupang himself, calm, rational, moderate-- is written from the eye of that tremendous storm !..."

Maka ketika pada tahun 1950 (setelah pengakuan kedaulatan) Simatupang terpilih menggantikan Jenderal Sudirman yang wafat, itu bukanlah hal yang mengejutkan. 

Tapi politik memang penuh dinamika dan romantika. 

Beda pendapat antara Pak Sim (bersama kelompok militer profesional umumnya) dengan Presiden Soekarno (dan sebagian kelompok politik saat itu) yang bermuara pada "Peristiwa 17 Oktober 1952", menyebabkan dia harus mengakhiri lebih cepat karier militernya. 

Pak Sim diberhentikan dari jabatan KSAP tahun 1954, dan tahun 1959 pensiun pada usia 39 tahun! (Pak Sim sering berkelakar: "umumnya tentara belum jadi jenderal pada usia 40 tahun; saya jenderal tapi pensiun sebelum 40 tahun!").

Sejak di akademi militer --seperti diakui teman-teman seangkatannya-- kecerdasan dan kemampuan berpikir Simatupang sudah menonjol. Maka tak heran begitu TKR terbentuk, dia menjadi penasehat utama sekaligus wakil dari Panglima Besar Jenderal Sudirman, dan memberikan kontribusi signifikan pada fase-fase awal terbentuknya TNI.

Beberapa pengamat Barat, John Ledge misalnya, menilai sebagai intelektual, Simatupang dekat atau berada dalam pengaruh "Lingkaran Sjahrir" yang berorientasi sosialis (PSI), seperti halnya kebanyakan kaum intelektual saat itu (J. D. Legge, INTELLECTUALS and NATIONALISM in INDONESIA: A Study of the Following recruited by Sutan Syahrir in Occupation Jakarta, 1988).

Banyak sejarawan dan pengamat politik menyayangkan Simatupang terlalu cepat meninggalkan dunia militer dan arena politik nasional pada saat pemikiran dan perannya begitu dibutuhkan.

Namun setelah pensiun dari militer, potensi intelektual Simatupang justru mendapat ruang ekspresi yang lebih besar, dan semakin mengukuhkan dirinya sebagai seorang pemikir dan aktivis sosial.

Setelah pensiun, Simatupang aktif memberikan ceramah dan kuliah di SSKAD (sekarang SESKOAD) dan Akademi Hukum Militer; dan menulis beberapa buku. Selain LAPORAN DARI BANARAN, Pak Sim juga menulis beberapa buku, antara lain PELOPOR DALAM PERANG, PELOPOR DALAM DAMAI (1954); buku SOAL-SOAL POLITIK MILITER di INDONESIA (1956); dan DARI REVOLUSI KE PEMBANGUNAN (1987).

Bahkan di usia senjanya, Pak Sim tetap aktif menulis di berbagai jurnal, menulis makalah dan mengikuti berbagai seminar ilmiah di dalam dan luar negeri.

Di Jurnal PRISMA misalnya, Pak Sim adalah narasumber sekaligus penulis andal. Tulisannya beberapa kali dimuat di PRISMA, termasuk tulisannya yang bagus bersama Dr A. B. Lapian, "Pemberontakan di Indonesia: Mengapa dan Untuk Apa", dalam PRISMA, No. 7, Agustus 1978.

"Tiga Karl"

Selain pemikir dan penulis, Pak Sim juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial, pendidikan dan keagamaan. 
Dia ikut mendirikan dan menjadi Ketua Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM), dan Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia (UKI).

Dalam bidang agama, Pak Sim pernah menjadi Ketua Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI, sekarang PGI), Ketua Dewan Gereja se-Asia, bahkan pernah Ketua Dewan Gereja se-Dunia. Padahal Pak Sim bukan lulusan sekolah teologi, bukan pula pendeta!

Pada era kepempinannya, Pak Sim dengan tegas mendorong gereja ikut aktif memikirkan dan terlibat dalam soal-soal nyata yang dihadapi masyarakat dan negara.

Pada tahun 1962-1966 Pak Sim ikut mempersiapkan sebuah konferensi internasional bertema "Christians in the Technical and Social Revolution" yang menghadirkan para pemikir teologi terkemuka di dunia, juga pemikir ekonomi Prof. Tinbergen dan pakar antropologi Prof. Margareth Mead.

Di kemudian hari Pak Sim sering mengatakan bahwa keterlibatannya yang intens dalam berbagai bidang itu adalah pengaruh pemikiran dari "tiga Karl" yang dibacanya. Pertama, Carl von Clausewitz untuk soal militer; kedua, Karl Marx untuk soal ideologi dan revolusi; dan ketiga, Karl Barth untuk soal-soal teologi.

Institut TB Simatupang

Tahun depan jelang seabad TB Simatupang, 28 Januari tahun 2020, alangkah baiknya apabila Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan pihak terkait memperingatinya dengan sesuatu yang menjadi minat dan pergumulan Pak Sim.

Mungkin dengan mendirikan sebuah lembaga yang secara intens melakukan kajian-kajian reflektif-kritis atas soal-soal aktual kemasyarakatan; sehingga gereja-gereja di Indonesia tidak hanya bergumul dengan teks tapi juga konteks: tekstual dan kontekstual ! 

Perlu INSTITUT TB SIMATUPANG !?

***