Barabai, "Paris van Borneo" yang Terlupakan

Apakah banjir sekedar curah hujan yang cukup tinggi, lalu air sungai yang meluap, menenggelamkan habis nyaris semua fasilitas perkantoran maupun pemukiman penduduk.

Rabu, 20 Januari 2021 | 06:38 WIB
0
567
Barabai, "Paris van Borneo" yang Terlupakan
Barabai (Foto: DOk. pribadi)

Satu kota di Kalimantan Selatan, yang paling ingin saya kunjungi adalah Barabai. Sebagai periset foto Indonesia lama, tak ada kota yang didokumentasikan secara apik melebihi kota ini. Sebuah kota, yang sejak awal memang diniatkan untuk dibangun secara apik oleh pemerintah kolonial Belanda di Pulau Kalimantan. Ia barangkali mendahului gagasan, pemindahan ibukota NKRI ke Kalimantan baik oleh Soekarno maupun Jokowi hari ini.
Sayangnya, tak banyak orang tahu...

Tapi memang persoalan kota ini dari dulu adalah sungai. Sungai adalah kelemahan sekaligus kekuatannya. Barabai adalah kota yang sama sekali baru, ia dinamakan Barabai juga oleh orang Belanda. Pada awalnya daerah yang disebut dengan Barabai sekarang ini merupakan sebuah perkampungan yang disebut Kampung Qadi. Ketika Perang banjar pecah, untuk mencegah masuknya Belanda ke daerah ini, Penduduk kampung berusaha menghambat pergerakan pasukan, dengan membuat "talud sungai" dengan menenbagi banyak pohon yang dibentangkan di tengah sungai.

Pohon-pohon dan semak-semak yang dimasukan ke dalam sungai tadi dalam bahasa Banjarnya disebut “Raba”. Dengan sendirinya perahu-perahu serdadu Belanda yang terdampar diraba-raba tersebut dan mereka tidak dapa meneruskan perjalanannya karena terhalang oleh timbunan raba. Saat itulah warga setempat mengambil kesempatan untuk menyergap dan merebut senjata dari pasukan kolonial. Dalam keadaan terjebak oleh halangan dan rintangan inilah, pihak Belanda sering mendengar suara “Ba-Ra-Ba-Ai”, yang dimaksudnya banyak raba.

Dalam memori orang-orang Belanda tempo dulu, Barabai dikenang sebagai ‘surga’ di kaki Pegunungan Meratus. Pemukiman elit Belanda, arena pacuan kuda, lapangan tenis, bioskop, rumah sakit dan berbagai fasilitas jalan dan jembatan dibenahi serius, hingga menciptakan Kota Barabai sebagai kota modern di eranya. Hal ini bisa dilihat dari peta yang dibuat antara 1920-1921 yang dipublikasikan Koninglijk Instituut voor taal, land en volkenkunde, Leiden Belanda pada tahun 1924, sebagai bagian dari tata kota ala Negeri Kincir Angin ini.

Dibangun bioskop Juliana Theater (1926) di Jalan Prinsen Adrian Weg. Dan, setiap kali memeriahkan hari ulang tahun Ratu Belanda, diadakan pacuan kuda dan sepeda di Paardenrances. Dengan mengambil rute, start dari Simpang Tengkarau hingga finish di Kerkof Simpang Manjang. Atau, pembangunan Ziekenhuis atau Hostipal Barabai yang merupakan fasilitas kesehatan terbuka bagi masyarakat umum, merupakan peninggalan Gerrad Louwrens Tichelman, seorang Controller Belanda di Barabai pada 1926-1929. Ia orang yang mendisain dan membangun Barabai menjadi kota ala Eropa yang dikhidmatkan sebagai menuju kota modern ala Paris.

Namun bila menyebut Paris terlalu berlebihan, sebagian orang menyebutnya sebagai "Bandoeng van Borneo". Bandung sebagai kota indah yang sejuk di Jawa Barat, berada di lembah Gunung Tangkuban Perahu dan memiliki legenda Sangkuriang. Sedangkan, Barabai dikelilingi Gunung Pagat yang menjadi bagian dari Pegunungan Meratus memiliki legenda Batu Benawanya. Bukan kebetulan kota ini memiliki gadis-gadis yang cantik dan putih kulitnya. Apa yang disebut orang lokal sebagai "bungas" sebagai pembanding untuk Mojang Priangan Nu Geulis.

Namun nasibnya tak seberuntung Bandung, apalagi Paris. Kota yang dibangun dengan konsep serius ini, sudah lama jejaknya hancur. Bermula dari pembangunan Fort Barabai, yang disebut di dalamnya dianggap tempat berlindung misi zending Protestan. Menyulut perang berkepanjangan di kawasan ini. Selain dikepung basis Islam, pecahnya Perang Banjar pada 18 April 1859 menjadi Barabai pusat pertempuran antara tentara kolonial Belanda dengan pejuang-pejuang Banjar.

Hari-hari ini, Barabai dikepung banjir yang mengerikan. Tiba-tiba air bah datang tanpa dinyana, air mengepung pemukiman hingga dua meter.

Bukan hal yang baru, nyaris seabad lalu kejadian rupa didokumentasikan dengan baik. Banjir mengepung seluruh penjuru kota. Jembatan ambruk, perkantoran lumpuh. Tapi masyarakat seolah sudah akrab dan terbiasa, perdagangan tetap berjalan biasa. Masyarakat bergotong royong, memperbaiki apa yang rusak.

Sayang tak terlihat lagi jejak bahwa dulu banyak desa baru yang dibangun dengan rumahnya berbaris menghadap jalan, yang sebelumnya bertebaran. Dalam banyak tayangan banjir terkini saya tak lagi banyak melihat rumah atau gedung yang dibangun Belanda dengan mengedepankan arsitektur lokal. Dua jenis bangunan khas Dayak Meratus di daerah hulu Sungai Batang Alai bernama Balian Rungkah (Alai) dan Balian Riwah (Hantakan) yang dulu turut mempengaruhi gaya bangunan ala kolonial Belanda di Barabai sudah tak banyak bersisa.

Konon, sebelum direnovasi Rumah Jabatan Controller Belanda, yang kemudian ditempati Bupati HST adalah ikon kota ini dengan gaya arsitektur Balian Rungkah yang sangat indah.

Tentu di di tengah bencana, rasa prihatin dan empati-lah yang harus selalu dapat tempat paling depan. Tapi sedikit bertanya, kenapa banjir ini bisa terjadi sedemikian parah dan berulang di Barabai. Apakah sekedar curah hujan yang cukup tinggi, lalu air sungai yang meluap. Menenggelamkan habis nyaris semua fasilitas perkantoran maupun pemukiman penduduk.

Pertanyaannya, apakah ini sampai kapan? Sependek yang saya tahu, Paris juga terletak di pinggir Sungai Shein yang mengalir bagai ular raksasa. Banjir juga terjadi, nyaris sepanjang tahun. Tapi?

Ah sudahlah! Negara ini memang buta sejarah, kita setiap hari mengabarkan pembangunan. Tapi bangun apa, untuk apa, dan bagaimana caranya: nyaris hampa dan omong kosong. Selama sejarah sekedar catatan dan bukan pijakan. Selamanya kita, hanya memiliki kenangan tapi bukan kemajuan....

Harusnya kenanganlah yang membuat perbedaan. Sebagai bekal melangkah maju dengan segenap kekuatan!

***