Sketsa Harian [41] Daun-daun Kering Berguguran di Tanah Palmerah

Kepada teman-teman yang masih tersisa, kepada adik-adikku sekalian, tetaplah tegar menghadapi turbulensi ini. Kompas akan tetap ada, meski hanya melayani pelanggan yang sangat terbatas.

Rabu, 4 Desember 2019 | 08:21 WIB
0
390
Sketsa Harian [41] Daun-daun Kering Berguguran di Tanah Palmerah
Menara Kompas (Foto: joss.co.id)

Ibarat daun-daun kering berguguran, lembar-lembar itu beterbangan tertiup angin senja, kemudian jatuh ke bumi dan berserakan di rerumputan. Pohon itu masih berdiri tegak, tetapi sudah tak rimbun lagi. Gersang, segersang-gersangnya kemarau panjang.

Begitulah kabar yang saya terima dari kawasan Palmerah Selatan, di mana di sana masih ada teman-teman tersisa dan coba bertahan di pohon besar bernama Kompas.

Namun batas ketahanan mereka ambrol, satu persatu teman-teman saya pamit, terpaksa mengundurkan diri, bahkan "dipaksa" untuk pensiun dini. Pahit memang saya harus mengatakan ini.

Fitrah waktu yang berputar cepat bagai gasing membuat segalanya berubah, cepat atau lambat. Perubahan menjadi satu keniscayaan. Dalam rentang waktu yang berjalan itu bisa jadi tersimpan kejayaan, yang tentu saja hitungannya sudah menjadi masa lalu.

Tak ada hal paling menyakitkan selain mengingat kejayaan masa lalu di kala kondisi sedang tidak berdaya.

Sebenarnya apa yang terjadi di Menara Kompas, sebagai simbol kedigjayaan masa kini, adalah sebuah keniscayaan juga sebagaimana diramalkan para pakar, bahwa bisnis koran sudah memasuki senjakala. Redup. Ya redup, meski belum sampai kelam seperti pergantian senja ke malam, seperti yang dialami koran-koran lainnya, kertas sudah tak berbekas.

Pohon besar bernama Kompas ditinggalkan anggotanya satu persatu, tersebab oleh proses alamiah --meninggal dunia-- atau proses "terpaksa" karena kondisi yang sudah tidak memungkinkan. Hukum bisnis sekaligus menjadi hukum besi di sini: jika sumur air sudah tidak bisa ditimba, mengapa pula harus dipertahankan.

Ini lumrah saja dalam tataran ekonomi. Jika tanah masih dipandang luas, buat apa menanam pohon yang sama kalau pada akhirnya akan mati juga. Di atas tanah yang sama, lebih baik dibangun gedung bertingkat yang sumur rezekinya tak akan habis sekian puluh tahun untuk ditimba.

Barangkali, cuma barangkali, itulah pertimbangan dari kacamata si empunya tanah, berikut pohon Kompas di atasnya, ketika pohon itu semakin meranggas dan terus meranggas.

Barangkal, sekali lagi, ini cuma barangkali...

Semua berjalan seperti lumrah saja. Yang tidak lumrah adalah kenyataan itu sendiri, kenyataan bahwa Kompas sebagai pohon besar harus merasionalisasi karyawan/wartawannya sendiri, sesuatu yang pada masa lalu tidak terbayangkan bahkan oleh imajinasi liar sekalipun.

Koran akan terus berjaya, itu kredonya, yang kemudian mengubah sikap sebagian teman-teman --mungkin juga saya-- menjadi terlalu over-confidence di mana kondisi ini sering menggelincir ke sikap sombong, mengecilkan kehadiran liyan, bahkan abai terhadap perubahan yang menimpa industri itu sendiri.

Saya yakin, kondisi ini pulalah yang bakal dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh teman-teman Kompas yang ada di sana, di menara itu, untuk lebih merunduk. Bahwa sebaik-baiknya sikap adalah rendah hati, sebagaimana diajarkan para pendiri.

Kepintaran, jabatan dan kekayaan yang menjadi sumber kesombangan jika tidak pandai mengelolanya sama juga dengan pohon besar itu, tidak ada yang lekang oleh terpaan zaman.

Kepada teman-teman yang baru saja turun menara untuk kembali ke kehidupan nyata, pensiun dan menghabiskan sisa waktu bersama keluarga, "welcome to the club".

Dan, kepada teman-teman yang masih tersisa, kepada adik-adikku sekalian, tetaplah tegar menghadapi turbulensi ini. Kompas akan tetap ada, meski hanya melayani pelanggan yang sangat terbatas.

Dalam kitab suci pun tertabalkan, "bahkan selembar daun kering yang jatuh pun pasti atas sepengetahuan-Nya".

Jadi jangan khawatir, kalian tidak sendirian.

#PepihNugraha

***

Tulisan sebelumnya: Sketsa Kehidupan [40] Hasrat Itu