Kepada teman-teman yang masih tersisa, kepada adik-adikku sekalian, tetaplah tegar menghadapi turbulensi ini. Kompas akan tetap ada, meski hanya melayani pelanggan yang sangat terbatas.
Ibarat daun-daun kering berguguran, lembar-lembar itu beterbangan tertiup angin senja, kemudian jatuh ke bumi dan berserakan di rerumputan. Pohon itu masih berdiri tegak, tetapi sudah tak rimbun lagi. Gersang, segersang-gersangnya kemarau panjang.
Begitulah kabar yang saya terima dari kawasan Palmerah Selatan, di mana di sana masih ada teman-teman tersisa dan coba bertahan di pohon besar bernama Kompas.
Namun batas ketahanan mereka ambrol, satu persatu teman-teman saya pamit, terpaksa mengundurkan diri, bahkan "dipaksa" untuk pensiun dini. Pahit memang saya harus mengatakan ini.
Fitrah waktu yang berputar cepat bagai gasing membuat segalanya berubah, cepat atau lambat. Perubahan menjadi satu keniscayaan. Dalam rentang waktu yang berjalan itu bisa jadi tersimpan kejayaan, yang tentu saja hitungannya sudah menjadi masa lalu.
Tak ada hal paling menyakitkan selain mengingat kejayaan masa lalu di kala kondisi sedang tidak berdaya.
Sebenarnya apa yang terjadi di Menara Kompas, sebagai simbol kedigjayaan masa kini, adalah sebuah keniscayaan juga sebagaimana diramalkan para pakar, bahwa bisnis koran sudah memasuki senjakala. Redup. Ya redup, meski belum sampai kelam seperti pergantian senja ke malam, seperti yang dialami koran-koran lainnya, kertas sudah tak berbekas.
Pohon besar bernama Kompas ditinggalkan anggotanya satu persatu, tersebab oleh proses alamiah --meninggal dunia-- atau proses "terpaksa" karena kondisi yang sudah tidak memungkinkan. Hukum bisnis sekaligus menjadi hukum besi di sini: jika sumur air sudah tidak bisa ditimba, mengapa pula harus dipertahankan.
Ini lumrah saja dalam tataran ekonomi. Jika tanah masih dipandang luas, buat apa menanam pohon yang sama kalau pada akhirnya akan mati juga. Di atas tanah yang sama, lebih baik dibangun gedung bertingkat yang sumur rezekinya tak akan habis sekian puluh tahun untuk ditimba.
Barangkali, cuma barangkali, itulah pertimbangan dari kacamata si empunya tanah, berikut pohon Kompas di atasnya, ketika pohon itu semakin meranggas dan terus meranggas.
Barangkal, sekali lagi, ini cuma barangkali...
Semua berjalan seperti lumrah saja. Yang tidak lumrah adalah kenyataan itu sendiri, kenyataan bahwa Kompas sebagai pohon besar harus merasionalisasi karyawan/wartawannya sendiri, sesuatu yang pada masa lalu tidak terbayangkan bahkan oleh imajinasi liar sekalipun.
Koran akan terus berjaya, itu kredonya, yang kemudian mengubah sikap sebagian teman-teman --mungkin juga saya-- menjadi terlalu over-confidence di mana kondisi ini sering menggelincir ke sikap sombong, mengecilkan kehadiran liyan, bahkan abai terhadap perubahan yang menimpa industri itu sendiri.
Saya yakin, kondisi ini pulalah yang bakal dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh teman-teman Kompas yang ada di sana, di menara itu, untuk lebih merunduk. Bahwa sebaik-baiknya sikap adalah rendah hati, sebagaimana diajarkan para pendiri.
Kepintaran, jabatan dan kekayaan yang menjadi sumber kesombangan jika tidak pandai mengelolanya sama juga dengan pohon besar itu, tidak ada yang lekang oleh terpaan zaman.
Kepada teman-teman yang baru saja turun menara untuk kembali ke kehidupan nyata, pensiun dan menghabiskan sisa waktu bersama keluarga, "welcome to the club".
Dan, kepada teman-teman yang masih tersisa, kepada adik-adikku sekalian, tetaplah tegar menghadapi turbulensi ini. Kompas akan tetap ada, meski hanya melayani pelanggan yang sangat terbatas.
Dalam kitab suci pun tertabalkan, "bahkan selembar daun kering yang jatuh pun pasti atas sepengetahuan-Nya".
Jadi jangan khawatir, kalian tidak sendirian.
#PepihNugraha
***
Tulisan sebelumnya: Sketsa Kehidupan [40] Hasrat Itu
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews