Dandhy yang Sangat Tidak Dendi

Apa tujuannya: ya hanya satu, apapun yang dilakukan pemerintah RI tidaklah cukup dan pantas. Karena hanya kemerdekaan Papua-lah yang dibutuhkan.

Jumat, 4 Oktober 2019 | 15:25 WIB
0
638
Dandhy yang Sangat Tidak Dendi
Dhandy Laksono (Foto: Kediripedia.com)

Ini sebuah cerita saja, bagaimana di sekitar kita memang banyak para SJW yang "menjual isu miring" agar bisa keliling dunia. Orang sejenis ini, sungguh tidak dendi menurut saya. Tampak sangat idealis, tampak sangat memukau, tampak seolah berpihak tapi sesungguhnya hanya menyisakan pertanyaan-pertanyaan.

Setahun yang lalu, saya bersama istri saya berkesempatan mengunjungi anak-anak kami yang sedang belajar di Jerman. Sebagai keluarga sederhana saja, tentu kami harus sangat berhitung. Ngepas-ngepaske, kalau menurut istilah Jawa. Pas ada Pasar Hamburg, yang kebetulan rutin diadakan setahun sekali di bulan Oktober. Sedang bagi saya tentu ngepas-kan dengan Frankfurt Book Fair, yang sudah agak lama tak lagi saya kunjungi.

Pasar Hamburg adalah acara (semacam) festival 2 hari, yang di dalamnya menampilkan segala sesuatu yang berbau Indonesia. Ada bazaar, pameran foto, pertunjukan musik, pasar kuliner, diskusi, pemutaran film, pokoknya komplit plit!

Dalam event itu, istri saya berkesempatan terlibat dengan produk eco-print-nya. Sejenis mempamerkan eksotika daun-daun yang berasal dari kawasan tropis yang ditempelkan di kain berserat alami. Sedang saya, yah di sinilah masalahnya. Maunya ikut-ikutan dagang. Padahal gak bakat dagang sama sekali.

Saya membawa kaos lucu-lucuan Jokowi bergaya Tintin yang seizin mas Hari Prast kami bikin merchandize dan kemudian diproduksi oleh mas Todon Wahyu Anggono dari Inteeshirt. Namun apa lacur, produk saya justru ditolak karena dianggap berbau politis. Konon momennya menjelang kampanye Pilpres.

Mencederai event itu yang dianggap harus bebas dari isu-isu politik. Saya sempat sangat berdebat, bukankah Jokowi itu simbol pemimpin dari negara yang saat ini sedang diacarakan itu? Sia-sia dan show must go on...

Se-A-Politis itukah event itu? Ternyata tidak. Dalam salah satu panggung ternyata ada tokoh yang sekarang sedang di-naik daun-kan oleh media sebagai "seorang pahlawan". Yah dialah Dandhy Dwi Laksono itu. Ia diundang untuk pemutaran perdana film dokumenter terbarunya. Kalau tidak salah judulnya The Bajau.

Rupanya ia langganan atau belakangan saya baru tahu nyaris tiga tahun terakhir selalu muncul dengan film-film dokumenter kritis yang intinya Indonesia Serba Jelek: Wajahnya buruk, masyarakat aslinya tersingkir, lingkungan rusak karena salah kelola, pemerintahnya korup. Isu-isu yang selalu laku sebagai bahan bakar sikap sinis negara maju untuk negara miskin sperti Indonesia.

Tentu saja hanya tema-tema semacam tersebut yang laku dijual kepada founding yang tentu sangat senang dengan isu-isu miring tersebut. Salah satu film-nya yang pernah diputar di festival ini tahun 2017 lalu, Samin vs Semen. Saya pikir di luar sangat sepihak, film ini juga keterlaluan cara membenturkan orang Samin dengan pemerintah, dengan investor, bahkan dengan masyarakat lain.

Orang Samin yang demikian lugu dan jujur justru diberhadapkan dengan dunia luar yang banal dan setengah mati coba dihindarkannya. Mereka tutup mata, dengan tanpa pabrik semen-pun, alam lingkungan pegunungan karst tersebut justru dirusak (dan lebih parah) secara sangat ngawur oleh masyarakat sendiri. Pabrik semen yang justru diwacanakan "mengkoreksi"-nya dengan konsep penataan lingkungan yang lebih terpadu.

Tidak percaya tanya pengkaji kritisnya Rini Muharini Kusumawinahyu. Di wilayah tersebut, di Pegunungan Kendeng Utara kebetulan saya sangat hapal, nayris setiap jengkalnya hingga ke lubang tikus dan situs-situs yang ada di dalamnya. Dan sangat mengerti, justru bagaimana Pemkab setempat kewalahan mengatasi perusakan lingkungan yang dilakukan warga setempat. Yang selalu mengatasnamakan perut itu!

Dan dalam dua minggu terakhir, si tokoh ini mendapat momentum terbaiknya. Ia ditangkap polisi, karena dianggap sebagai provokator kerusuhan masyarakat di Papua. Hal ini bagi saya justru konyol sekali!

Bukankah karya-karyanya sejak lama sudah sangat provokatif, bukankah setiap tulisannya di media sosial selalu "menyerang siapa pun" yang tidak disukainya. Bukankah setiap dia menjadi pembicara di forum apapun, demikianlah gaya dirinya. Ngapain juga Polisi mesti menangkap dirinya?

Untunglah polisi segera menyadari ketololannya. Dia dilepaskan, dan kembali berkicau sesuka-sukanya. Sedemikian hebat dirinya, hingga mungkin dia lupa dan tidak menganggap penting. Bahwa karena cuitannya itu telah membuat ratusan orang tewas, ribuan orang mengungsi, dan apa yang telah dibangun sekian lama tiba-tiba bum lenyap begitu saja.

Apa tujuannya: ya hanya satu, apapun yang dilakukan pemerintah RI tidaklah cukup dan pantas. Karena hanya kemerdekaan Papua-lah yang dibutuhkan.

Dan cuitan-cuitannya itu rupanya belum seberapa, karena kemudian terbukalah bahwa orang-orang sejenis dialah rupanya yang berangan-angan Indonesia ambyar berantakan jadi puluah negara-negara kecil. Sebagaimana cuitannya hari ini. Bodoh, karena di dalamnya mengandung data serampangan dengan menganologikan Jerman dan Perancis sebagai negara kecil! Suatu bentuk hipokrisi yang luar biasa, karena Jerman-lah yang selama ini melalui lembaga founding seperti Heinrich Boll Stiftung bersedia menjadi sponsornya.

Tapi apalah rasa hormat itu pada orang seperti dirinya? Kegilaan adalah yang utama: semakin gila, semakin menyenangkan. Semakin narsis semakin populer. Semakin nyinyir semakin dianggap bernyali. Kegilaan yang selalu dibungkus sebagai hal-hal yang bersifat humanity, kemanusiaan...

Banyak kalangan aktivis, apalagi mahasiswa yang "asal bisa demo" memuja atau menjadi pendukungnya. Ia tidak akan pernah merasa bersalah atau terganggu akan dampak yang diakibatkannya. Semakin rusuh semakin seru. Karena apa yang dilakukan adalah pekerjaannya!

Kebebasan berekspresi satu hal, cari makan hal yang lainnya. Ia tentu saja menginspirasi banyak orang untuk mengikuti jejaknya. Ke sana kemari menjual isu keburukan negaranya sendiri. Hingga pada kesimpulan akhir: negara besar ini semestinya lebih baik dan memang harus pecah berkeping-keping...

Bagi saya pertanyaannya jadi sangat sentimentil: akankah ia diundang lagi ke Pasar Hamburg tahun ini? Jika ya, festival ini tak lebih pasar nostalgia menjelang Indonesia bubar. Keindahan yang selalu ingin ditampilkannya adalah semu dan palsu...
.
Dandhy kamu sama sekali tidak dendi. Sama sekali tidak perlente. Kamu hanya bisa merasa diri gagah, padahal tidak!

***