Mereka yang pantas memanggul gelar habib, selain karena faktor keilmuan dan silsilah, harus pula dilihat akhlaknya.
Di tengah inflasi gelar Habib, malah ada yang tidak ingin dipanggil Habib, padahal memiliki hak untuk dipanggil Habib.
Sementara ada yang tidak berhak dipanggil Habib, hanya bermodalkan gamis dan sorban, dengan bangga menyandang gelar Habib.
Secara harfiah, habib berarti “orang yang mencintai.” Meskipun demikian, menjadi habib tidak sesederhana arti harfiahnya.
“Pengertiannya bukan hanya orang yang mencintai, tapi termasuk orang yang dicintai, alias jadi Al-Mahbub,” kata Habib Ahmad Muhammad bin Alatas, Ketua Maktab Nasab Rabithah Alawiyah --organisasi pencatat silsilah habib di Indonesia-- kepada kumparan, Rabu (11/1).
Mungkin hanya di Indonesia menjadi Habib itu begitu mudah, padahal bukanlah tanpa asal dan muasal seseorang bisa ujug-ujug disebut Habib. Ada prosedur yang mendasari kenapa seseorang bisa menyandang predikat Habib.
Di samping itu ada pertanggungjawaban moral yang harus dipertaruhkan. Terutama mewarisi akhlak dan Perilaku Rasulullah Shallallhu'alaihi wassalam, yang memang sangat terpuji baik lisannya maupun Adab kesantunannya.
Kalau seorang Habib tidak mampu mewarisi akhlak dan Perilaku Rasulullah Shallallhu'alaihi wassalam, tidak mampu menjaga lisan juga Adab perbuatannya, sama juga halnya mempermalukan Rasul dan keturunannya.
Menjadi habib bukan perkara mudah. Ada kriteria dan mekanisme yang harus dipenuhi. Mereka mesti menyerahkan daftar silsilah turunan Rasul hingga tujuh tangga keluarga ke atas. Berbagai syarat administrasi pun wajib dipenuhi. Semua itu diatur oleh Rabithah Alawiyah.
Habib, di kalangan Arab-Indonesia, lebih menjadi titel kebangsawanan orang-orang Timur Tengah kerabat Nabi Muhammad SAW --dari keturunan putri Rasulullah, Fatimah, dengan Ali bin Abi Thalib.
Apa Yang kurang dari seorang Quraish Shihab, akademisi, mufasir, dan menteri agama era Soeharto itu sesungguhnya punya semua persyaratan untuk menjadi seorang habib.
Quraish merupakan cucu dari Habib Ali bin Abdurrahman, habib asli asal Hadhramaut, Yaman.
Kenapa Quraish Shihab menolak gelar dan dipanggil Habib?
Quraish mengatakan bahwa ia keberatan menyandang gelar tersebut karena pengertian dan kesan tentang habib di Indonesia telah berkembang jauh.
Quraish sadar ada pergeseran persepsi terkait habib di Indonesia. Di Indonesia, habib berkembang menjadi sebuah kesan. Yakni, kesan menjadi orang yang berilmu wahid dan dekat dengan Rasul.
Dalam pandangan Quraish Shihab, gelar Habib itu teramat mulia, dan dia memosisikan dirinya tidaklah semulia gelar tersebut. Mereka yang pantas memanggul gelar habib, selain karena faktor keilmuan dan silsilah, harus pula dilihat akhlaknya.
“Saya merasa, saya butuh untuk dicintai, saya ingin mencintai. Tapi rasanya saya belum wajar untuk jadi teladan. Karena itu saya tidak, belum ingin dipanggil Habib,” ujar Quraish halus.
Baca Juga: Rumor Panas Seputar Najwa Shihab dan AHY, Gara-gara PAN Plin Plan?
Bahkan bukan cuma gelar Habib saja yang keberatan disandangnya, juga enggan menyandang gelar kiai. Terlebih sang ayah, Habib Abdurrahman, mengajarkan kepada anak-anaknya untuk tidak menonjolkan gelar apapun, apalagi yang berasal dari garis keturunan.
Kami, kendati memiliki garis keturunan terhormat
Tidak sekalipun mengandalkan garis keturunan
Bandingkan dengan ulama kekinian yang begitu mudah menyandang gelar Habib dan Kiai, tanpa merasa terbebani oleh rasa tanggung jawab menyandang gelar tersebut. Sehingga antara atribut yang dipakai dan gelar yang disandang dengan akhlak dan perilakunya sangat jomplang.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews