Oleh : Dimas Permana
Upaya pemerintah dan DPR RI dalam memperkuat perlindungan hukum bagi justice collaborator melalui Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menandai kemajuan penting dalam reformasi sistem peradilan pidana nasional. Langkah ini bukan hanya mencerminkan perubahan norma hukum, melainkan juga penegasan peran negara dalam menciptakan iklim hukum yang berpihak pada keadilan substantif. Dalam konteks penegakan hukum modern, perlindungan terhadap saksi pelaku yang bekerja sama menjadi aspek strategis dalam mengungkap jaringan kejahatan yang rumit dan terorganisir.
Perlindungan terhadap justice collaborator dalam draf RUU KUHAP diatur secara eksplisit dalam Pasal 69. Hal ini merupakan pengakuan hukum formal atas peran penting saksi pelaku dalam proses pembuktian tindak pidana berat seperti korupsi, terorisme, dan perdagangan narkotika. Dalam sistem peradilan yang masih menghadapi tantangan keterbatasan alat bukti dan dominasi struktur hierarkis dalam kejahatan terorganisir, keberadaan justice collaborator menjadi jalan tengah yang menjembatani kepentingan penegakan hukum dan perlindungan hak individu.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyatakan bahwa ketentuan tersebut adalah bagian dari paradigma baru yang tidak hanya menekankan efektivitas penegakan hukum, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Penegasan ini penting untuk menunjukkan bahwa reformasi hukum bukan hanya soal perubahan teks, tetapi lebih kepada pergeseran cara pandang terhadap keadilan itu sendiri.
RUU KUHAP yang sedang dibahas Komisi III DPR juga akan memperkuat Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2025 yang telah diteken Presiden Prabowo Subianto. Aturan tersebut menjadi pijakan normatif untuk pemberian penghargaan kepada saksi pelaku yang kooperatif. Konsekuensi positif berupa keringanan hukuman hingga pembebasan bersyarat menjadi stimulus legal yang mendorong keterbukaan dan kemauan bekerja sama. Dalam jangka panjang, skema ini berpotensi mempercepat proses pembuktian perkara dan meminimalisasi resiko kegagalan dalam pengungkapan kasus besar.
Habiburokhman menambahkan bahwa perlindungan terhadap saksi pelaku telah memiliki dasar kuat dalam praktik hukum Indonesia, termasuk dalam yurisprudensi Mahkamah Agung, Surat Edaran MA, serta beberapa undang-undang sektoral. Keberadaan berbagai norma hukum tersebut menunjukkan bahwa peran justice collaborator bukanlah konsep baru, namun baru kini diperkuat secara komprehensif melalui regulasi induk sistem acara pidana nasional.
Penegasan perlindungan dalam RUU KUHAP sekaligus mengatasi kelemahan yang selama ini dihadapi saksi pelaku. Banyak kasus besar yang tidak bisa diungkap secara menyeluruh karena ketakutan saksi pelaku terhadap balasan dari pelaku utama atau ketidakjelasan imbal balik hukum atas kesediaan bekerja sama. Dalam kondisi tersebut, tanpa jaminan perlindungan menyeluruh, keberanian berbicara menjadi barang langka. RUU KUHAP menawarkan arah yang lebih menjamin dan memberi kepastian.
Pentingnya justice collaborator sebagai instrumen penegakan hukum juga telah menjadi praktik global. Di berbagai negara, model serupa telah diterapkan untuk memecah kejahatan transnasional seperti kartel narkotika, korupsi lintas negara, hingga kejahatan finansial. Indonesia sedang bergerak menuju sistem peradilan pidana yang lebih strategis dan adaptif terhadap dinamika kejahatan modern, dan langkah ini menegaskan posisi Indonesia dalam arus global tersebut.
Habiburokhman juga menegaskan bahwa pembahasan RUU KUHAP dilakukan secara inklusif, dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan dan berlandaskan semangat pembaruan hukum. Inklusivitas dalam proses legislasi merupakan jaminan bahwa aturan yang dihasilkan tidak bersifat elitis, tetapi responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan tantangan hukum kontemporer.
Di sisi lain, pendekatan terhadap justice collaborator ini memperlihatkan bahwa negara tidak semata hadir sebagai institusi yang menghukum, tetapi juga sebagai entitas yang memberi ruang rekonsiliasi hukum. Pelaku tindak pidana yang bersedia bekerja sama diakui kontribusinya dalam mengungkap kebenaran yang lebih besar. Hal ini mencerminkan keadilan yang bersifat korektif dan rehabilitatif, bukan sekadar retributif.
Dalam praktiknya, penerapan konsep justice collaborator harus tetap diawasi secara ketat untuk menghindari potensi penyalahgunaan. Kriteria kooperatif, kontribusi signifikan, dan kebenaran testimoni harus diuji secara cermat agar tidak dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan hukum tanpa dasar kuat. Namun dengan mekanisme evaluasi yang baik, potensi positif skema ini jauh lebih besar dibandingkan risikonya.
Kejelasan hukum dan perlindungan terhadap saksi pelaku merupakan elemen penting dalam membangun kepercayaan terhadap sistem peradilan. Dalam masyarakat yang semakin sadar hukum, legitimasi terhadap proses peradilan tidak hanya ditentukan oleh hasil akhir, tetapi juga oleh prosedur yang adil dan perlakuan yang berimbang terhadap semua pihak. RUU KUHAP menjadi alat penting dalam membangun sistem yang menjamin kedua aspek tersebut.
Pemerintah dan DPR telah menempuh langkah strategis melalui RUU KUHAP dengan memberi tempat terhormat bagi justice collaborator. Ini adalah fondasi penting menuju sistem peradilan yang lebih modern, adil, dan berorientasi pada substansi keadilan, bukan semata-mata pada formalitas hukum. Dengan pendekatan ini, upaya pemberantasan kejahatan berat dapat berjalan lebih efektif, dan pada saat yang sama, kepercayaan masyarakat terhadap hukum dapat diperkuat secara signifikan.
)* Penulis merupakan Pegiat Hukum dan Kebijakan Publik
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews