Rodinda, di Mana Kau Berada? (3)

Dengan tiga nama bacapres yang sama-sama medioker, hasil Pilpres 2024 akan menjelaskan, di mana posisi rodinda itu berada.

Kamis, 18 Mei 2023 | 20:33 WIB
0
189
Rodinda, di Mana Kau Berada? (3)
Presiden-presiden Republik Indonesia (Foto: Facebook)

Ketika sampai pada pembacapresan Anies Baswedan oleh Nasdem, kita mendengar istilah antitesis. Namun bagaimana kita bisa diyakinkan Anies Baswedan sebagai antitesis, tanpa kita tahu tesisnya apa? Belum-belum sudah. Rung-durung uwis. 

Baru juga mau bergeser ke arah demokratisasi yang benar (perlahan negara hadir, pembenahan birokrasi pemerintah, rakyat bisa terlibat dengan adanya medsos), tiba-tiba ada yang bikin Koalisi Perubahan. Perubahan apalagi? Emang kita sudah berubah? Kalau kita baru juga mau berubah, namun ada tawaran perubahan lagi, perubahan yang bagaimana lagi?

Meski sudah barang tentu, dari Amerika hingga Timbuktu, dalam setiap kontestasi politik (pergantian kekuasaan), kata-kata paling murah adalah ‘perubahan’. Apalagi kalau tradisi kompetisinya dibangun dari perbedaan dengan frame claiming ‘n bullying. 

Kampanye politik kita masih dalam pseudo demokrasi. Masih memakai trik lawas dalam soal penempatan diksi semata. Senyampang itu melempar isu diferensiasi pada kelompok identitas. Ujungnya lebih ke soal siapa, dan bukan apa. 

Sementara dalam rodinda, kita tak bisa berhenti hanya karena kemelekatan. Pada romantisme. Akhirnya stagnan karena berorientasi pada kenangan. Apalagi terbayang-bayang pada heroisme Bung Karno, Angkatan 66 atau Angkatan 98. Makanya bisa muncul Partai Buruh mau masuk parlemen, tapi dengan ngancam-ngancam tetap mau menggelar demo jalanan.

Padal, dalam dinamika dan dialektikanya, pola kepemimpinan dan kekuasaan bisa jadi harus diubah atau berubah. Aneh saja melihat para senior memberikan tutorial adik-adik mahasiswa, gimana cara menghindar agar mata nggak pedes disemprot gas airmata. Sementara prototype kepemimpinan nasional era Sukarno dan Soeharto, sudah lewat. 

Dengan berbagai latar belakang dan prosesnya, kini muncul prototype presiden seperti Jokowi. Warna baru prototype itu bertumpu pada kemampuan teknokratis. Presiden sebagai seorang pekerja, petugas, CEO, atau pun manager. Partai politik sebagai yang punya aturan main, hanya semacam papan nama dengan ideologinya yang transaksional.

Partai politik di Indonesia masih menjadi bagian dari masalah di negeri ini. Belum sepenuhnya benar-benar menjadi pusat penggemblengan calon-calon pemimpin dari masyarakat sipil. Kebanyakan partai politik hanya hadir setiap menjelang Pemilu. Sehabis pemilu, ilang lagi.  

Dalam situasi seperti itulah, aktor-aktor politik (yang pragmatis) bisa menjadi lebih menonjol dibanding ideologi gagasannya. Diskursus politik yang terjadi, adalah diskursus kepentingan sebagaimana muncul dari komentar Jusuf Kalla, yang mulai terbuka berani mengritik Jokowi.

Apa benar menurut JK, jika Jokowi terlalu cawe-cawe dalam copras-capres, akan mengurangi nilai demokrasi? Atau karena kepentingan JK terganggu, sebagai pengusung Anies Baswedan dalam Capres 2024?

Anies Baswedan adalah investasi politik JK yang terbesar, setelah mungkin berhitung tak mungkin lagi dirinya maju sebagai capres atau cawapres. Perjalanan pancapresan dan pencawapresan JK, hampir mirip dengan Prabowo Subianto. Tapi dibanding JK, Prabowo lebih teguh, karena ia juga ketua umum partai politik.  

Sebagai saudagar politik, JK tidak mungkin tak membaca kemungkinan dan peluang. Dengan warna-warni jaringannya. JK mempunyai label lengkap dari warna NU, HMI, KAHMI, Golkar, ICMI, DMI, PMI, Indonesia Timur. Semua itu sanggup dikapitalisasikannya.

Dan kini ia tak malu-malu lagi secara terbuka terlibat dalam gerakan endar-endor juga. Termasuk kemudian JK terlibat dalam kasak-kusuk mencarikan cawapres untuk Anies Baswedan. 

Pertemuan kembali antara JK dengan Surya Paloh dalam satu kepentingan, bukan untuk yang pertama kali. Apalagi ketika keduanya juga merasa menjadi bagian yang mulai dijauhkan dari lingkaran Jokowi. 

Apakah ini sekedar menggambar konflik kepentingan politik antara Jokowi dan JK? Pasti tidak sesederhana itu, jika ditarik dari garis Reformasi 1998. Bukan pada personalitas, tetapi isme, kecenderungan, keberpihakan, atau mungkin orientasi. Dengan catatan ini juga harus melihat pergerakan poros-poros lingkarannya, termasuk yang disebut sebagai oligarki?

Kekhawatiran Jokowi akan keberlanjutan yang berujung pada berbagai isu sebelumnya (penundaan pemilu atau tiga periode), mengemukakan persoalan itu. Apalagi ketika justeru dari anggota koalisi pemerintahan sendiri, Nasdem, justeru muncul nama capres bernama Anies Baswedan. 

Apakah Pilpres 2024 akan menjadi keberlanjutan Reformasi 1998, dengan titik akumulasinya pada Jokowi di 2014 dan 2019? Atau Pilpres 2024 akan menjadi titik balik ke arah sebelumnya? Dengan tiga nama bacapres yang sama-sama medioker, hasil Pilpres 2024 akan menjelaskan, di mana posisi rodinda itu berada. Sejarah (perubahan) hanya berhenti menjadi romantisme belaka? Tak sanggup mendorong dinamisme? Karena gagal dalam dialektikanya? 

Pada sisi ini, imajinasi saya terganggu karakter Ebenezer, yang bisa begitu rupa sebagai Prabowo Mania. Kini rajin memproduksi isu-isu negatif Ganjar Pranowo. Sembari terus menceritakan biografi politiknya, sebagai pendiri Jokowi Mania. Pernah menjadi komisaris anak BUMN, tapi kemudian dicopot. Padal sebelum mendirikan Prabowo Mania, ia mendirikan Ganjar Prabowo Mania. Atau sebatas itu karakter rodinda perjuangan? 

(Selesai)

Sunardian Wirodono