Moeldoko Tumbang

Moeldoko tetap akan menjalani rutinitasnya sebagai kepala staf kepresidenan, tetapi tentu dengan hubungan yang tercederai terhadap atasannya sendiri.

Rabu, 31 Maret 2021 | 22:54 WIB
0
835
Moeldoko Tumbang
Moeldoko (Foto: CNN Indonésia)

Menang ora kondang, kalah ngisin-ngisini.

Mungkin itulah pepatah Jawa yang paling tepat untuk menggambarkan kekalahan telak Jenderal Moeldoko melawan Mayor Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam konteks pertarungan David melawan Goliath.

Kalah jadi abu, menang jadi arang, menang tidak bakal terkenal, kalah memalukan. Sama-sama tidak enaknya, sebuah simalakama yang sengaja diciptakan Moeldoko sendiri.

Semula publik menganggap AHY lebay saat menyampaikan pernyataan resmi terkait dugaan adanya kudeta yang dilakukan seseorang yang dekat dengan kekuasaan. Tidak tanggung-tanggung, AHY atas nama Partai Demokrat yang diketuainya “mencolek” (poke) Presiden Joko Widodo, bahkan berkirim surat meminta perhatian orang nomor satu di negeri ini.

Jokowi sendiri sangat berhati-hati menanggapi kemelut di partai politik yang dibesarkan Susilo Bambang Yudhoyono ini dengan membuka diskusi dengan para menterinya seperti Mahfud MD dan Yasonna Laoly. Pun tidak terberitakan respons yang diberikan Presiden atas surat AHY tersebut, menandakan Jokowi tidak ingin masuk terlalu dalam.

Akan tetapi, Rabu 31 Maret 2021 hari ini, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengumumkan bahwa pemerintah tidak mengakui keberadaan Partai Demokrat versi KLB Sibolangit yang mendapuk Moeldoko sebagai ketua umum partai. Pengumuman yang disambut gegap-gempita pendukung partai berlambang “Mercy” ini.

AHY langsung menggelar konferensi pers dan menyatakan terima kasih kepada pemerintah, terkhusus kepada Presiden Joko Widodo yang sebelumnya sempat “diduga kuat merestui” manuver Moeldoko.

Praduga yang tidak terbukti. Wajar kalau AHY buru-buru menyampaikan ucapan terima kasihnya melalui konferensi pers resmi beberapa saat usai Menteri Yasonna mengumumkan sikap pemerintah sebelum diserbu para pendukung fanatik Jokowi.

Awal yang Baik

Bagi AHY, kemenangan ini sungguh awal yang baik. Memang seturut filsuf Belanda Johan Huizinga dalam buku Homo Ludens yang ia tulis beberapa dekade lalu, manuver Moeldoko tidak lebih dari manifestasi permainan politik manusia bermain (homo ludens). Demikian juga dengan sikap AHY yang mencoba mempertahankan partai yang diketuainya, dalam konteks ini wajar-wajar saja.

Berkah bagi AHY di mana dugaan kudeta yang dilakukan Moeldoko menjadi kenyataan. Bisa dibayangkan jika mantan Panglima TNI itu menampik menjadi ketua umum Demokrat versi KLB Sibolangit. Padahal, di awal saat AHY melansir kemungkinan adanya kudeta yang dilakukannya, Moeldoko masih menampik dirinya terlibat.

Bagi Moeldoko, kekalahan ini tentu saja suatu tamparan serius yang mencemari reputasinya sebagai birokrat dan pejabat. Hasrat berkuasanya (the willing to power) demikian kentara dan bahkan dilakukannya secara vulgar, yaitu mengkudeta kepemimpinan AHY sebagai ketua umum Demokrat yang sah di saat dirinya masih menjadi pejabat yang dekat dengan kekuasaan Jokowi.

Bisa dibayangkan jika pemerintah melalui Yasonna mengumumkan sebaliknya, yakni kubu AHY yang kalah sekaligus mengakui Partai Demokrat Moeldoko hasil kudeta, tentu akan berimbas kepada nama baik Presiden. Jokowi akan dituduh sebagai pihak yang merestui kudeta Moeldoko. Menjadi Presiden berkat dukungan PDI Perjuangan dan rivalitas dengan Demokrat masih berlangsung sampai saat ini, akan menjadi citra buruk bagi Jokowi jika pemerintah memenangkan Moeldoko.

Sebaliknya, dalam hitungan Moeldoko tentulah pihaknya yang akan keluar sebagai pemenang, sebab ia berada di lingkungan Istana dan karenanya terhitung sedang on power. Terlebih lagi, rivalitas PDIP versus Demokrat masih akan terus berlanjut menuju Pilpres 2024, sehingga dalam hitungannya PDIP sebagai the ruling party berkepentingan melemahkan atau mengerdilkan Demokrat melalui kudeta yang dilakukannya.

Untuk apa Moeldoko melakukan kudeta dan berusaha merebut partai milik orang lain? Tidak lain agar ia bisa menjadi calon presiden di Pilpres 2024 dengan kendaraan politik hasil kudeta, jika skenario itu berhasil dibangunnya.

Akan tetapi kenyataannya bicara lain; Moeldoko terempas dan kandas di saat Demokrat hasil KLB masih berupa janin.

Habis Sudah

Mengejar kekuasaan adalah hak dan sah dilakukan siapa saja, sepanjang dilakukan secara beretika dan konstitusional. Tidak ada kudeta yang konstitusional. Kudeta adalah merebut kekuasaan secara paksa. Dalam konteks Demokrat, Moeldoko berusaha merebut kekuasaan dari tangan AHY di mana partai yang direbutnya itu kelak akan menjadi kendaraan politik untuk menjadikan dirinya sebagai calon Presiden.

Akankah rakyat bersimpati kepada calon presiden yang maju dengan kendaraan hasil rampasan?

Ini boleh jadi yang tidak diperhitungkan Moeldoko, yang penting bagaimana kendaraan politik itu ia rebut terlebih dahulu daripada susah-susah membeli kendaraan, apalagi merakitnya dari awal. Butuh waktu panjang. Cara tercepat adalah dengan merebut kendaraan yang sedang dikemudikan AHY di tengah jalan dengan aksi yang gagal total.

Perebutan kursi ketua umum partai pada masa lalu, sebagaimana terjadi pada PDIP, dilakukan oleh penguasa (baca: Presiden Soeharto) yang berusaha mencegah Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI. Soeharto melihat potensi dan kekuatan puteri Bung Karno itu saat menjadi ketua umum PDI. Untuk itulah ia menggunakan Soerjadi sebagai boneka untuk menggantikan Megawati.

PDI akhirnya bisa dilumpuhkan dan Budi Hardjono didapuk sebagai Ketua PDI versi Munaslub Palu. Soeharto jatuh dan PDIP pimpinan Megawati keluar sebagai pemenang pada Pemilu 1999, bahkan Megawati menjadi Presiden RI sebagaimana yang ditakutkannya.

Namun untuk pengkerdilan Demokrat yang dilakukan Moeldoko, terlihat penguasa (baca: Jokowi) tidak berkepentingan sama sekali, toh di tahun 2024 ia sudah tidak bisa mencalonkan lagi. PDIP sempat dicurigai sebagai pihak yang mem-back up kudeta Moeldoko mengingat AHY merupakan calon potensial capres mendatang dan karenanya harus dipangkas sejak awal.

Bagaimana dengan Moeldoko selanjutnya? Ia tetap akan menjalani rutinitasnya sebagai kepala staf kepresidenan, tetapi tentu dengan hubungan yang tercederai terhadap atasannya sendiri. Mau membela diri apa lagi di saat pemerintah sudah memutuskan?

Jelas tidak tersedia mekanisme banding, kecuali PTUN yang mungkin masih bisa ditempuh. Jika kalah lagi, akan semakin mempurukkan namanya. Kalaupun mau, Moeldoko harus siap-siap melancarkan kudeta lagi terhadap partai lain jika ingin memiliki kendaraan untuk menuju kontestasi Pilpres 2024.

Jangan tanggung-tanggung, kudeta PDIP sekalian kalau masih punya nyali.

***