Vaksin AstraZeneca sempat menjadi bahasan publik usai Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang menyebut vaksin buatan perusahaan farmasi asal Inggris itu haram karena mengandung enzim tripsin dari babi.
Meski begitu, MUI tetap memberikan lampu hijau penggunaan AstraZeneca untuk program vaksinasi, mengingat stok vaksin di Indonesia terbatas. BPOM pun pada Jumat (19/3/2021) lalu telah merestui penggunaan AsrtaZeneca untuk vaksinasi di tanah air.
Restu BPOM itu menyusul vaksin AstraZeneca yang sempat ditangguhkan sementara, usai ditemukannya dugaan kasus pembekuan darah yang terjadi di beberapa negara Eropa akibat vaksinasi dengan vaksin kerjasama Oxford itu.
Virus Covid-19 kini telah menginfeksi hampir 123,9 juta penduduk di bumi. Dan, setidaknya, sekarang inii dunia telah memvaksinasi lebih dari 447 juta suntikan (kira-kira setara dengan 2 kali jumlah mereka yang terinfeksi), dengan masing-masing 2 kali suntikan.
Virus Covid-19 telah menginfeksi 1,46 juta penduduk Indonesia. Setidaknya, Indonesia telah memvaksinasi lebih dari 7,8 juta suntikan atau kira-kira setara dengan 5,3 kali jumlah mereka yang terinfeksi, dengan masing-masing 1 kali suntikan.
Dalam catatan Arie Karimah, Pharma-Excellent alumni ITB, angka ini baru 2,1% dari target penduduk yang akan divaksinasi sebanyak 181,6 juta orang, masing-masing 2 kali suntikan.
Untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, berikut ini petikan wawancara saya dengan dr. Dicky Budiman, MSc, PhD (Can) Global Health Security CEPP Griffith University, Australia yang juga seorang Epidemiolog.
Terkait program vaksinasi (Sinovac dan AstraZeneca) yang sudah jalan di Indonesia. Sinovac dinyatakan halal oleh MUI, AstraZeneca haram. Komentar Anda?
Menurut saya ada perbedaan antara Sinovac dan AstraZeneca dalam segi kemasan. Sinovac dikemas jauh lebih cermat, lebih hati-hati oleh pemerintah, terutama dari 3 segi, yaitu halal, keamanan, dan efikasi.
Walaupun kita selalu ingatkan, diumumkan hampir sebelum keluar hasil dari fase ke-3 ini. Tapi, relatif lebih (dalam konteks Indonesia, faktor halal ini) sangat penting. Tapi berbeda dengan AstraZeneca. Ini timbul satu komunikasi yang kurang, untuk konteks Indonesia.
Maksudnya?
Karena, ternyata (dalam hal) ini belum ada sinergi yang kuat antara BPOM, Kemenkes, dan MUI. Ternyata MUI mengeluarkan fatwa haramnya. Dan, ini juga semakin menjadi bahasan publik karena di Australia, di Eropa, dan di negara lain dinyatakan halal sehingga digunakan.
Padahal kan sama-sama Muslim. Sehingga ini jadi pro-kontra, jadi perbedaan. Dan tentu ini akan tidak kondusif untuk strategi vaksinasi. Karena bagaimanapun sebagian masyarakat kita akan melihat apa yang disampaikan pertama oleh pemerintah (dalam hal ini MUI).
Bahwa ini memberi kandungan yang diharamkan. Dan, ini sudah melekat, sehingga ini sulit untuk diluruskan. Nah, ini yang harus diperbaiki mekanisme formnya sebagaimana Sinovac, kalau aman dan efektif.
Ada beberapa kasus di Indonesia, seperti kematian pasca vaksinasi yang juga menimpa dokter dan nakes lainnya. Terakhir, yang dialami seorang guru honorer di Garut yang lumpuh. Apa yang sebenarnya terjadi?
Ini yang harus direspon dengan penguatan KIPI (Kejadian Ikutan Paska Iminusasi). Dan KIPI ini tentu harus dilaporkan dan disampaikan secara reguler pada publik juga. Termasuk kita ini sudah melakukan 2 vaksinasi dengan Sinovac ini beberapa waktu, bulan.
Nah, ini tentu ada perkembangan, ada data yang bisa disampaikan kepada publik. Apapun data itu untuk melihat.
Melihat apa?
Karena ini untuk melihat efektivitas pada dunia nyata ini akan bisa terlihat, sehingga data ini juga memeperlihatkan bahwa pemerintah melakukan pemantauan ini, termasuk bukan hanya KIPI-nya tetapi juga efektivitas vaksin ini di lapangan.
Dan kasus-kasus seperti itu sebagaimana yang terjadi di Indonesia maupun luar negeri, sama saja, harus diverifikasi, harus dijelaskan apakah ini berkaitan dengan vaksinasinya atau tidak. Dan ini harus tentu dengan penjelasan yang ilmiah, mengklirkan, membantu menjelaskan sebenarnya apa yang terjadi dengan kasus-kasus tersebut.
Fakta, kematian pasca vaksinasi AstraZeneca di beberapa negara Eropa karena terjadi pembekuan darah. Komentar Anda?
Kasus kematian yang diduga dikaitkan dengan Astrazeneca di Eropa ini sudah terbukti tidak terkait. Dan memang ini dari awal saya sudah sampaikan bahwa harus sangat komprehensif ketika melihat peristiwa yang terjadi, dan diduga dikaitkan dengan vaksin.
Karena, pertama harus dilihat data pada uji vaksin tersebut, ada tidak efek samping dimaksud. Bila tidak ada, sangat amat kecil kemungkinan terjadi itu. Ada, tetapi amat sangat kecil. Dan, untuk AstraZeneca di fase-3 atau hanpir semua faksin Covid-19 ini tidak ada ditemukan efek samping dalam bentuk kejadian trombosis.
Kedua, untuk memperkuat fakta ini apakah ada kaitan atau tidak juga harus melihat apa yang disebut dengan background rate. Backround rate ini jadi dilihat bagaimana angka kejadian penyakit atau kasus tersebut sebelum program vaksinasi Covid-19.
Bisa dijelaskan maksudnya?
Misalnya, trombosis ini sebelum vaksinasi secara global itu sudah sangat dimaklumi di dunia kedokteran bahwa ini sangat sering terjadi. Satu diantara 1000 orang itu mengalami kasus ini, trombosis. Kemudian satu dari 4 kematian di dunia, itu dikaitkan dengan trombosis. Ini yang dimaksud dengan background rate itu.
Sehingga saat misalnya terjadi kasus seperti ini pada orang yang sudah divaksinasi, pertama selain juga dilihat bahwa itu tidak ada kaitannya dengan fase ketiga dan kedua, background rate, dan tentu juga dilihat kasus per kasus.
Dan semakin jelas juga, bahwa kasus ini banyak terjadi pada wanita yang usia di bawah 55 tahun, sesuatu yang tidak lazim juga kalau dikaitkan dengan hal trombosis semu.
Menjadi paradoks tersebut adalah ditemukannya penurunan trombosit di saat terjadinya ini, pembekuan darah, sesuatu yang agak kontradiktif. Karena trombosit menurun itu berkaitan dengan pendarahan seperti pada penyakit Demam Berdarah.
Tapi dalam kasus ini terjadi penggumpalan darah, dan ini tentu harus dicari tahu dulu diduga apakah ada kaitannya dengan genetik atau reaksi imun, dan lain sebagainya. Ini yang harus digali dulu. Yang jelas pada vaksin itu sangat kecil kemungkinan.
Dan Indonesia harusnya juga punya sikap yang sama. Kehati-hatian iya, namun tentu tidak bisa kita gampang mengikuti dengan apa yang dilakukan negara lain, lantas kita serta merta ikut melakukan, karena dalam situasi seperti ini kita harus berpedoman pada sains.
Dan, saya kira sekarang harus segera Indonesia melakukan pemberian vaksinasi ini, termasuk AstraZeneca. Namun hal-hal lain terkait dengan AstraZeneca ini adalah dari segi komunikasi resikonya yang tidak sebaik Sinovac.
Terutama sinergi yang belum memadai antara BPOM, Kemenkes, dan MUI tadi. Sehingga, masalah fatwa haram ini menjadi keluar tidak di awal. Sehingga ini tentu akan berpengaruh. Tentu ini yang harus diperbaiki untuk vaksinasi selanjutnya. (Bersambung)
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews