Kala Moeldoko Merasa Didaulat Memimpin Partai (yang Sedang) Berdaulat

Selasa, 30 Maret 2021 | 11:15 WIB
0
160
Kala Moeldoko Merasa Didaulat Memimpin Partai (yang Sedang) Berdaulat
Moeldoko | Gambar: Tangkapan layar Facebook (DrMoeldoko)

Setelah beberapa saat vakum bicara politik usai dikukuhkan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat versi Kongres Luar Biasa (KLB) Sibolangit (Jumat, 5 Maret 2021), Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko akhirnya muncul kembali di hadapan publik.

Lewat tayangan video singkat yang diunggahnya di akun media sosial pada Minggu, 28 Maret 2021, Moeldoko mengungkap lagi alasan dirinya menerima pinangan sebagian kader dan mantan kader Partai Demokrat, untuk mengambil alih kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

"Saya orang yang didaulat untuk memimpin Demokrat. Kekisruhan sudah terjadi, arah demokrasi sudah bergeser di dalam tubuh Demokrat," kata Moeldoko.

Dalam video, Moeldoko menegaskan bahwa, pinangan diterima karena 3 (tiga) pertanyaan mendasar yang diajukannya kepada para peserta KLB berhasil dijawab dan disanggupi. Sila pembaca ingat apa saja ketiga pertanyaan tersebut.

Berikutnya, Moeldoko mengatakan, pengambilalihan posisi pucuk kepemimpinan di Partai Demokrat bukan semata demi membesarkan partai, melainkan juga untuk menyelamatkan bangsa dari pengaruh ideologi tertentu yang berpotensi mengancam cita-cita menuju Indonesia Emas 2045.

Terakhir, Moeldoko pun menegaskan jika keputusannya murni atas keyakinan dan otoritas pribadi. Itulah sebabnya, tanpa meminta "restu" Presiden Joko Widodo, ia bergerak sendiri. Dengan demikian, ia meminta seluruh pihak untuk tidak membawa-bawa nama presiden di dalam urusan politiknya.

Di sini saya tidak dalam posisi membela atau menyalahkan salah satu pihak, yaitu Moeldoko atau AHY beserta kubu keduanya, cuma saya sedikit tertarik menganalisis sekaligus menanggapi pernyataan terbaru Moeldoko.

Pertama, soal pengakuan "didaulat". Mengapa Moeldoko harus menyatakan ulang posisinya sebagai ketua umum? Bukankah kubunya telah mengajukan pendaftaran struktur kepengurusan ke Kementerian Hukum dan HAM, maka semestinya menunggu hasil keputusan saja?

Apakah artinya Moeldoko masih ragu sehingga butuh perhatian publik (lewat tayangan video secara terbuka)? Atau mungkin, adakah dikhususkan pernyataan itu ke kubu AHY? Entah, cuma Moeldoko yang tahu.

Kedua, bicara "kedaulatan memimpin", tidakkah sebaiknya Moeldoko menegaskan hal itu bilamana hasil keputusan Kementerian Hukum dan HAM memihak kubunya, artinya bahwa struktur kepengurusan mereka disahkan?

Ketiga, menyebutkan "kekisruhan sudah terjadi". Siapakah penyebab kisruh yang dimaksud Moeldoko? Kubu KLB atau kubu AHY? Dengan terjadi kisruh, apakah maknanya Moeldoko semakin mantap "mendongkel" AHY?

Hemat saya, Moeldoko seharusnya tidak perlu mengungkit kisah pelaksanaan KLB dan berharap tanggapan publik atas "daulat" dirinya. Cukup menunggu ketok palu Kementerian Hukum dan HAM.

Keempat, atau barangkali Moeldoko ingin mendapat sorotan media supaya perjuangannya di KLB tidak tenggelam oleh pemberitaan lain? Andaikan begitu, maka momen yang dipilih sangat tidak tepat.

Karena di hari yang sama, negeri ini dilanda duka kemanusiaan akibat ulah teroris di Makassar. Sungguh kurang elok bagi Moeldoko bila kabar kepentingan politiknya "dipaksa" muat di kanal-kanal media.

Sebagai bagian dari pemerintahan, Moeldoko sepantasnya berkenan menahan diri membicarakan kepentingan pribadi di saat perhatian masyarakat sedang tersita menyoal kebiadaban para teroris.

Kelima, menyangkutkan "keselamatan bangsa" serta misi Indonesia Emas 2045 dengan urusan kepemimpinan di Partai Demokrat, apakah artinya jika Moeldoko gagal menjadi ketua umum, maka keduanya mustahil tercapai?

Adakah Moeldoko menganggap bahwa satu-satunya cara untuk menyelamatkan bangsa dan mewujudkan Indonesia Emas 2045 yakni dengan menjadi seorang ketua umum partai politik? Kalau memang terpaksa demikian, mengapa harus Partai Demokrat? Mengapa tidak bikin partai baru?

Bukankah dengan menjalankan tugas selaku Kepala KSP dan membantu Presiden Jokowi semaksimal mungkin, kiranya cukup bagi Moeldoko untuk saat ini? Mengapa "wajib" menarik Partai Demokrat?

Berkenankah sebagian publik disalahkan jika akhirnya berpendapat bahwa Moeldoko sedang berupaya "menarik paksa" Partai Demokrat untuk menjadi bagian koalisi pemerintah? Karena faktanya Moeldoko masih berada di pemerintahan.

Keenam, saya sependapat dengan Moeldoko, bahwa nama Presiden Jokowi tidak boleh dibawa-bawa. Bergerak sendiri, tanpa restu. Namun, jika kelak berhasil menjadi ketua umum, apakah artinya Moeldoko tetap tidak butuh restu agar diterima di koalisi pemerintahan?

Bagaimana mungkin seorang "abdi dalem" Panglima Tertinggi republik merasa punya kebebasan bertindak? Tidakkah Moeldoko selaku mantan Panglima TNI punya kewajiban memegang teguh Sapta Marga (sekurangnya 2 poin: kejujuran dan patuh kepada pimpinan)?

Maksudnya begini. Mengaku bergerak atas otoritas pribadi dan tanpa restu, apakah Moeldoko tidak pernah membicarakan misi politiknya kepada Presiden Jokowi? Kalau betul tidak pernah, poin kejujuran di Sapta Marga diletakkan di mana?

Selanjutnya, mengenai kepatuhan kepada pimpinan. Jelas, Presiden Jokowi adalah pimpinan Moeldoko, baik dalam statusnya sebagai pensiunan prajurit maupun Kepala KSP.

Dengan tidak "minta restu", maknanya Moeldoko juga tidak patuh, pun kemudian menganggap atasan tertingginya di kabinet pemerintahan seseorang yang statusnya seperti warga biasa.

Seorang bawahan wajib menunjukkan kepatuhan dan penghormatan terhadap pimpinan. Karena dalam berpolitik, keteladanan yang baik mutlak bagi calon pemimpin. Sudahkah Moeldoko menunjukkan hal itu sehingga pantas memimpin sebuah partai politik? Rasanya belum.

Dan ketujuh, melansir artikel KOMPAS.com (29/3/2021) yang menyajikan hasil survei Charta Politika (20-24 Maret 2021), ternyata dari 195.638 responden yang diwawancara, kebanyakan menyatakan "TIDAK SETUJU dengan PENUNJUKAN MOELDOKO sebagai KETUA UMUM".

Rinciannya: 18,1 persen menyatakan setuju; 37,6 persen tidak setuju; dan 44,3 persen tidak menjawab. Artinya apa? Bisa dipastikan 44,3 persen responden yang tidak menjawab bisa saja memihak kelompok tidak setuju.

Tentu sebelum melakukan survei, Charta Politika pasti telah mendata calon responden yang dirasa netral dan kredibel untuk diminta keterangan. Sehingga dengan membaca hasil survei ini saja, tegas menggambarkan bahwa Moeldoko belum tepat memimpin Partai Demokrat.

Ada banyak cara sebenarnya bagi setiap warga negara dalam menunjukkan kontribusi terbaik untuk bangsa ini. Khusus Moeldoko, menjalankan tugas sebagai Kepala KSP dengan sebaik-baiknya, sudah cukup. Tidak perlu memaksakan diri masuk Partai Demokrat, setidaknya selama masih berada di pemerintahan.

Sekian. Terima kasih. ***