Sengkarut Penanggulangan Covid: Aroma Bisnis dan Korupsi Merajai?

Dengan cara memakai anggaran Covid-19 seperti "gado-gado" ini, bisa menjadi taktik untuk menghilangkan jejak dari pantuan masyarakat dan aparat hukum.

Sabtu, 11 Juli 2020 | 17:17 WIB
0
202
Sengkarut Penanggulangan Covid: Aroma Bisnis dan Korupsi Merajai?
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) bersama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama (kiri) dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. (Foto: TEMPO)

Test kilat telah jadi bisnis tersendiri. Juga telah menjadi sumber pengurasan anggaran negara dan daerah. Begitu tulis Dahlan Iskan dengan judul “Rapid Test” di Pepnews.com, Kamis (9 Juli 2020 | 06:25 WIB).

Hanya satu daerah yang tidak menganggarkan pembelian alat rapid test: Sumatera Barat. Alasan utamanya sangat ilmiah: “Rapid test tidak bisa dipercaya,” ujar dokter Andani Eka Putra kepada DI’s Way.

Di sana semua test dilakukan dengan PCR – swab test. Yang hasilnya praktis 100 persen bisa dipercaya. Kuncinya ada di penemuan ilmiah oleh dokter Andani Eka Putra, Kepala Pusat Laboratorium Universitas Andalas Padang itu.

Di sana test swab itu bisa dilakukan dengan cepat: hasilnya bisa diketahui dalam 24 jam. Dengan kapasitas yang sangat besar: 3.500 sehari. Sudah lebih 3 bulan Sumbar melakukan itu. Sampai hari ini sudah 55.000 yang dites di sana. Gratis!

Menurut Dahlan, rapid test sudah menjadi bisnis besar. Juga, sudah ikut menguras anggaran publik. Siapa pun yang melakukan perjalanan antar daerah harus melakukan itu. Yang ilmiah sering kalah dengan bisnis. Termasuk temuan formulanya.

Saat banyak negara, termasuk Indonesia, masih bingung dengan Vaksin Corona atau Covid-19, sebenarnya di Indonesia sudah ada sebuah formula yang berhasil menyembuhkan Covid-19. Tapi, alasan formula ini sebagai Herbal/Suplemen, sulit diklaim BPJS.

Padahal, formula serupa juga pernah berhasil mengatasi Flu Burung varian baru ketika itu, New Corona, yang mewabah Arab Saudi pada musim haji 2012. Atas permintaan Unicef, dikirim formula tersebut sebanyak 5.000 liter, dikemas dalam bentuk ampul vaksin.

Pengiriman ke Arab Saudi diatasnamakan Unicef, kemudian  dibagikan kepada jamaah haji dan relatif berhasil menghindarkan jamaah haji dari wabah new corona. Formula serupa juga sempat dikirim ke Glenn Eagle, Singapore dan RS Malaya Malaysia dengan merk BJ.

Sampai di sana kemudian diberi merk sendiri, dengan indikasi untuk toksoplasma dan Flu Burung. Produk formula ini dijual ke pasien, yang mayoritas orang Indonesia, dijual laris dengan harga Rp 1,5 juta rupiah.

Di tempat lain, di Indonesia, ada profesor yang menjual suatu produk mikroba dan diklaim hanya untuk toksoplasma, dijual dengan harga Rp 750.000,- per botol (1,5 liter) dan laris. Faktanya ternyata produk yang dijual itu merupakan fermentasi formula serupa.

Bagaimana dengan pasein Covid-19 yang menggunakan formula tersebut? Ada sebnuah kisah nyata dan pengalaman seorang lelaki berusia 37 asal Surabaya yang sebelumnya dinyatakan positif Covid-19 belum lama ini.

Setelah menjenguk kakaknya yang dirawat positif Covid-19, dia, kakak, dan kakak iparnya, semua dinyatakan positif Covid-19. Dia dirawat di rumah dengan konsumsi 9 varian formula herbal/suplemen ini menghabiskan Rp 918.000.

Sudah sembuh total. Dan, sudah lebih dari 10 hari yang lalu beraktivitas normal. Keluarganya senang. Sementara kedua kakaknya, setelah opname lebih dari 3 minggu, total menghabiskan Rp 450.000.000 . Itupun belum bisa beraktivitas normal.

Sayangnya beberapa pejabat berwenang yang dihubungi tidak ada yang berani “memutuskan” untuk menggunakan formula tersebut dengan alasan terkait klaim BPJS. Perlu dicatat, audit pemakaian obat pasien Covid-19 dilakukan oleh BPJS.

Lho, bukankah BPJS mengalami defisit anggaran dan masih punya banyak hutang ke rumah sakit-rumah sakit? Kabarnya, sebagian dana darurat penanganan Covid-19 sudah digunakan untuk menutupi defisit anggaran dan hutang BPJS itu.

Makanya, kini muncul desakan transparansi dalam penyaluran anggaran Darurat Covid-19, termasuk untuk stimulus ekonomi. Sebab, belakangan ini sudah banyak pihak yang menduga penyaluran anggaran tak tepat sasaran.

“Menurut Ketua HIPMI, relaksasi kredit untuk UMKM hanya 20%. Sisanya paling besar 80% untuk selamatin kredit macet korporasi besar yang notabene milik konglomerat,” kata Aktivis Petisi 28, Haris Rusly Moti, Minggu (21/6/2020).

“Kita desak Presiden Joko Widodo untuk buka daftar korporasi dan lembaga yang mujur dapat alokasi APBN darurat Covid,” urainya yang juga diunggah di akun sosial medianya itu.

Bukan tanpa alasan ia meminta Presiden Jokowi untuk transparan. Pada awalnya, dana untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) direncanakan sebesar Rp 641,17 triliun. Tapi, nilai tersebut naik menjadi Rp 677,2 triliun.

Terakhir, Menkeu Sri Mulyani lagi-lagi memproyeksi dana penanganan penyebaran virus corona dan PEN melonjak hingga Rp 905,1 triliun. Nilai yang begitu tinggi ini dikhawatirkan banyak pihak disalahgunakan oleh pihak yang tak bertanggung jawab.

“Banyak korporasi besar sudah collapse jauh sebelum Covid-19. Namun, liciknya mereka tumpangi Covid untuk dapat kue APBN Darurat Covid dalam berbagai skema. Diantaranya relaksasi kredit,” tegasnya.

APBN Covid

Pada 5 Mei 2020 Menkeu Sri Mulyani memberikan paparan kepada Komisi XI DPR. Salah satu paparan Menkeu tersebut adalah memberikan gambaran postur baru APBN 2020 sesuai Perpres No. 54/2020.

Dalam paparan postur APBN baru itu, Pemerintah akan menjalankan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) guna merespon dampak pelemahan ekonomi yang berlanjut hingga saat ini karena pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19).

Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menilai, Program PEN atau yang lebih populer adalah program untuk memerangi Covid 19 ini mempunyai anggaran yang besar, dan sangat aneh.

“Kelihatan aneh, seperti ada Nenek sihir yang sangat ahli menyulap anggaran. Yang seketika, bisa mengalami kenaikan anggaran yang terus menerus seperti tanpa punya rem,” ungkapnya. Ini artinya, mantra-mantra Nenek sihir tersebut sangat mujarab.

Bisa seenak saja, menaikan anggaran Covid-19 tanpa memikirkan sumber pendanaan. Lihat saja pada bulan Mei 2020, Anggaran alokasi awal untuk memerangi Covid-19 hanya sebesar Rp 405,1 triliun.

Tiba tiba tiada hujan, tiada angin, anggaran Covid-19 dinaikin lagi mencapai Rp 641,1 triliun. “Lalu, bin salabin anggaran Covid-19 disihir naik lagi sebesar Rp 667,1 triliun,” ujar Uchok.

Kemudian, penambahan APBN dari alokasi anggaran untuk Covid-19 tidak ada jaminan akan berhenti pada angka Rp 667,1 triliun. Sepertinya anggaran Covid-19 terus-menerus melaju mengalami kenaikan sesuai selera Menkeu sendiri.

“Jadi, bisa-bisa saja, dalam hitungan minggu atau bulan tiba tiba ada lagi kenaikan anggaran tersebut,” lanjut Uchok. Dari kenaikan angka-angka tersebut, pihak Kementerian Keuangan memang tidak pernah menjelaskan secara gamblang terbuka ke publik.

Sebetulnya apa yang menjadi penyebab ukuran kenaikan tersebut. Tetapi yang jelas, kenaikan anggaran Covid-19 sedang memperlihatkan bahwa Menkeu Sri Mulyani memang tidak punya perencanaan yang baik untuk menanggulangi bencana wabah Covid-19.

Menurut Uchok, seharusnya seorang Sri Mulyani punya perencanaan yang baik. Sudah andal dia bisa menghitung berapa triliun yang harus dialokasikan untuk kebutuhan dan kepentingan guna memerangi Covid-19.

“Dengan bisa menghitung kebutuhan alokasi anggaran tersebut, ini berarti anggaran covid-19 tidak usah tiap bulan mengalami kenaikan,” tegas Uchok. Selain itu, bila melihat anggaran Covid-19 pada postur baru APBN 2020 akan terlihat kacau balau.

Karena anggaran Covid-19 seperti “gado gado” alias dicampur campur dengan anggaran rutin yang lain. “Sehingga, tidak bisa melihat mana anggaran untuk Covid-19, dan mana anggaran rutin lembaga negara lainnya,” lanjut Uchok.

Dengan cara memakai anggaran Covid-19 seperti "gado-gado" ini, bisa menjadi taktik untuk menghilangkan jejak dari pantuan masyarakat dan aparat hukum. Agar juga aparat hukum sulit mencari korupsi anggaran Covid-19 diantara program-program pemerintah yang lain.

Dari penjelasan tersebut, sudah bisa tergambarkan buruknya kapasitas Sri Mulyani dalam membuat postur APBN sesuai Perpres No. 54/2020.

***