Tinjauan Yuridis (1): Membahas RUU HIP, Khianati Pancasila!

Pasal tidak menyebutkan adanya suatu maksud untuk mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara. Delik dianggap selesai sepanjang telah terpenuhinya semua unsur yang disebutkan.

Jumat, 3 Juli 2020 | 16:55 WIB
0
235
Tinjauan Yuridis (1): Membahas RUU HIP, Khianati Pancasila!
Joko Widodo rapat dengan pimpinan parpol Koalisi Pemerintah. (Foto: Liputan6.com)

Menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), apalagi sampai membahas dan menetapkannya menjadi sebuah Undang-Undang (UU), itu merupakan pengkhianatan terhadap Pancasila!

Mengubah Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila adalah perbuatan makar terhadap negara. Karena jelas sekali tertera di dalam RUU HIP itu, inisiator RUU ini (baca: PDIP) tampak ingin mengubah Dasar Negara: Pancasila.

Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto sendiri mengakui bahwa RUU HIP ini adalah inisiatif dari PDIP yang didukung parpol lainnya di DPR. Motif mereka tidak samar-samar. Mereka berencana untuk menghilangkan agama dari bumi Indonesia.

Rencana itu tidak saja melawan pasal-pasal pidana, tetapi juga bertentangan frontal dengan UUD 1945. Di dalam RUU HIP tersirat keinginan untuk menghidupkan kembali komunisme dan marxisme-leninisme di Indonesia.

Itu terlihat dari peniadaan Tap MPRS XXV/1966 tentang larangan komunisme (baca PKI) di deretan konsideran RUU HIP. Inilah salah satu fakta yang menyulut reaksi keras dari rakyat dan ormas lewat unjuk rasa 24 Juni 2020 di DPR.

Sebagai parpol yang sedang memegang kekuasaan eksekutif maupun legislatif, melalui RUU HIP ini, selain ingin merebut kembali hegemoni tafsir Pancasila. PDIP ingin menghidupkan kembali gagasan Ir. Soekarno.

Hal itu terlihat dalam rumusan memeras Pancasila menjadi Trisila. Kemudian diperas lagi menjadi Ekasila: Gotong Royong. Rumusan itu muncul dalam pidato Soekarno pada sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945.

Padahal, soal rumusan Pancasila sudah selesai pada 18 Agustus 1945. Maka, dengan ditetapkannya UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia menjadi dasar atau landasan struktural dalam penyelenggaraan pemerintahan menurut sistem ketatanegaraan.

Makanya, RUU HIP ini ditolak oleh berbagai kalangan, termasuk MUI dan purnawirawan TNI. Satu hal lagi yang membuat berbagai kekuatan agama (ormas Islam) dan purnawirawan TNI itu meradang adalah penolakan PDIP mencantumkan TAP MPRS No 25 Tahun 1966 dalam RUU HIP.

Perlu dicatat dan diingat, dalam Ketetapan MPRS itu PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang. Maka, wajar jika langkah politik PDIP ini mengundang kecurigaan. Sikap politik PDIP terhadap TAP MPRS ini sesungguhnya cukup jelas.

Sebuah kliping media yang belakangan beredar, menunjukkan pada Sidang Tahunan MPR (2003) PDIP mengagendakan dan akan memperjuangkan pencabutan TAP tersebut. Dasar pertimbangannya adalah HAM (Rakyat Merdeka, 29 Juli 2003).

Kini manuver politik PDIP berubah menjadi prahara. Penolakan memasukkan TAP MPRS XXV Tahun 1966 dan memeras Pancasila menjadi Ekasila – meski katanya sudah dicabut – menghidupkan kembali isu lama: bangkitnya PKI.

Jadi, wajar kalau kemudian ada desakan agar penggagas RUU HIP itu agar diproses hukum. Pada Rabu, 1 Juli 2020, sekitar pukul 10.30 WIB  WNI bernama Rijal Kobar bersama tim pengacara TAKTIS (Tim Advokasi Anti Komunis) mendatangi SPKT Polda Metro Jaya.

Mereka datang untuk melaporkan dugaan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 107 b dan 107 d Undang-Undang Nomor 27 THN 1999.

Terlapor adalah Rieke Dyah Pitaloka yang memimpin rapat RUU HIP dan Hasto Kristiyanto sebagai Sekjen PDIP. Para terlapor telah menginisiasi dan memimpin serta mengorganisir usaha untuk mengubah Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi.

“Para terlapor juga diduga menyusupkan, menyebarkan dan jargon dan paham serta ideologi komunis dalam usaha mengubah Pancasila tersebut,” kata Aziz Yanuar, dari Tim Pengacara TAKTIS, dalam rilisnya, Senin, 2 Juli 2020.

Tapi, para petugas di SPKT menolak LP pengacara TAKTIS dengan berbagai alasan. Alasan pertama, mereka akan buat tim untuk membuat LP model A apabila polisi menemukan tindak pidana.

“Kemudian setelah berargumen cukup panjang, sekitar pukul 14.00 WIB masuk pengaduan masyarakat saja dengan dasar dugaan kami adalah kami tidak diperkenankan buat LP terkait ini karena alasan mereka Pokoknya Harus Dumas,” ungkap Aziz Yanuar.

Setelah itu sekitar jam 24.00, “Kami berargumen. Kali ini alasannya masih RUU salah satu objeknya dan belum disahkan. Kami bantah, bahwa jika sudah jadi Undang-Undang akan konyol jika kami buat laporan ke polisi,” lanjutnya.

Namun polisi tetap bersikeras hanya mau menerima bentuk Dumas (Pengaduan Masyarakat) atas perkara penting yang mengancam keutuhan bangsa dan negara ini.

Akhirnya, “Pada pukul 01.30 WIB kami terpaksa menerima bahwa pihak kepolisian/penegak hukum hanya mau menerima ini sebagai aduan masyarakat (Dumas) dengan Bukti Laporan Pengaduan yang Telah Resmi Kami Terima,” ujar Aziz Yanuar.

Artinya, dalam hal ini, mereka menduga, ideologi komunis dan ancaman terhadap pihak yang ingin mengubah Pancasila menjadi komunis masih dianggap hal sepele oleh pemerintah dan penegak hukum.

Tinjauan Yuridis

Seharusnya petugas Kepolisian tidak serta merta langsung menolak LP Pengacara TAKTIS. DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, seorang pakar hukum pidana, memberikan tinjauan yuridisnya (Legal Opinion) terkait RUU HIP tersebut.

Beberapa tindak pidana terkait menunjuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara (UU Keamanan Negara);

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik (UU Partai Politik), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (UU Peraturan Hukum Pidana) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dugaan terjadinya tindak pidana yang dilakukan partai pengusul RUU dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 107a jo Pasal 107e huruf a UU Keamanan Negara jo Pasal 40 ayat 5 UU Partai Politik dan/atau Pasal 107d UU Keamanan Negara dan/atau Pasal 107e huruf b UU Keamanan Negara dan/atau Pasal 156a huruf a KUHP dan/atau Pasal 14 ayat 1 UU Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Dengan demikian, susunan dugaan tindak pidana bersifat kumulatif dan/atau alternatif. Lebih lanjut dijelaskan secara singkat sebagai berikut.

Pertama, Pasal 107a jo Pasal 107e huruf a UU Kemanan Negara Jo Pasal 40 ayat 5 UU Partai Politik. Di dalam pasal 107a UU Keamanan Negara menunjuk pada perbuatan menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya.

Tindakan ini diketahui dari adanya rumusan RUU HIP yang mengandung ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme. Bisa dilihat dengan adanya penyebutan “sendi pokok Pancasila adalah Keadilan Sosial” (Pasal 6 ayat 1 RUU HIP).

Keberadaannya terhubung dengan Pasal 7 RUU HIP yang menyebutkan bahwa ciri pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.

Trisila sebagaimana dimaksud terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong. Perihal gotong-royong dapat mengandung makna penyatuan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme yang kemudian dikenal dengan Nasionalis, Agama, dan Komunis (NASAKOM).

Pasal ini tidak menyebutkan adanya suatu maksud untuk mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara. Dengan demikian, delik dianggap selesai sepanjang telah terpenuhinya semua unsur yang disebutkan.

Pasal 107e huruf a UU Kemanan Negara menunjuk pada perbuatan mendirikan organisasi (in casu Partai Politik) yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme -Leninisme atas dalam segala bentuk dan perwujudannya.

Hal ini dapat diketahui dari AD/ART Parpol, apakah ada mengandung paham/ajaran yang menyimpang dari Pancasila. Penyimpangan tersebut diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

(Bersambung)

***