Jika kasus Bekasi dibiarkan, preman-preman di seluruh negeri bisa mendapat angin untuk melakukan hal serupa, juga memicu preman pemula membuat ormas-ormasan.
Jangan pernah mengolok-olok tempat, siapa tahu di sana ada saudara, kerabat atau salah satu mantan terindahmu mukim. Bekasi, misalnya. Saking dianggap "aneh"-nya tempat ini, sampai-sampai pernah viral pribahasa "Planet Bekasi". Jelas ini olok-olok.
Tapi hari-hari kemarin Bekasi lagi-lagi bikin berita, lagi-lagi berita yang merangsang olok-olok. Kali ini bukan soal planet, tetapi preman Bekasi. Berita miring tentang preman Bekasi.
Sempat viral di mana para pejabat di sana tunduk pada kemauan preman terkait lahan parkir di mart-mart yang banyaknya sekitar 600an, tersebar di sejumlah titik.
Lewat tayangan video yang viral itu, ada banyak miris lewat peristiwa yang "hype" di media sosial (ayo media massa arus utama jangan sampai kalah pamor!).
Miris pertama, kok ya pejabat di sana ibarat ayam sayur dalam sebuah pertandingan. Alih-alih membasmi premanisme, eh.. mau bersekutu dengan preman, bahkan terkesan tunduk pada preman.
Miris kedua, preman berjubah ormas, apapun latar belakangnya; nasionalisme, kepemudaan atau keagamaan, demikian berani unjuk kekuataan yang urusannya soal perut juga. Ada istilah "penduduk lokal" yang harus dapat jatah, tidak melulu jadi penonton orang-orang yang sukses berusaha di Bekasi.
Miris ketiga, ada tindakan yang lambat, menunggu reaksi terus bergulung, baru aparat turun tangan, selain yang paling fatal "menyerahnya" para pejabat Bekasi kepada praktik premanisme. Yang ini segagah apapun para pejabat di sana, tetap memalukan!
Jangan tinggi-tinggi bicara bagaimana menggaet investor agar tertarik menanamkan modalnya di negeri ini, meski ini urusan regulasi dan Presiden Jokowi lebih tahulah itu, lebih paham apa yang harus dilakukan.
Di laporan majalah "Prioritas" terbaru, majalah intern BCA, pemerintah disebutkan sedang membangun sejumlah kawasan ekonomi khusus industri. Muaranya sama, bagaimana menggaet investor mananamkan modalnya di sini.
Jamak terungkap kendala yang ditemui mengapa investor lebih baik mengalihkan pabriknya ke Vietnam atau Malaysia; perkara aturan yang rentangnya panjang bukan kepalang. Regulasi kemudian memotong rentang itu, tetapi tetap saja tidak menarik untuk dilirik.
Hal yang terungkap di Bekasi, preman-preman Bekasi itu, hanyalah remah-remah yang kalau dibiarkan bisa mengganjal usaha juga.
Boleh jadi ada preman-preman berdasi di setiap rentang aturan yang sudah diperpendek itu. Artinya, aturan ya aturan, lalu-lintas uang di bawah meja jalan terus. Ini yang bikin investor ogah datang dan yang sudah datang pun mau buru-buru pulang.
Pernah dalam satu kajian, bagaimana sebuah pabrik tekstil di Bandung (mungkin daerah lainnya dan bukan hanya pabrik tekstil), pengusaha menyediakan uang "jatah preman" yang dalam kerjanya (paling aman) berkedok ormas ini itu. Uang "jatah preman" ini tentu saja masuk ongkos produksi, yang ujung-ujungnya dibebankan pada konsumen. Bikin produk ga kompetitif di pasaran.
Kembali ke Bekasi (untuk orang Bekasi), memang urusannya cuma lahan parkir di mart-mart itu. Tetapi yang terjadi di Bekasi, pejabat merelakan potensi pemasukan daerah jatuh ke tangan preman-preman. Kelihatan mau bermain aman sekaligus tinggal tunggu setoran, barangkali.
Meski berdalih pembagian rezeki (kepada preman-preman), aksi premanisme macam itu tidak boleh dibiarkan, negara tidak boleh diam, negara butuh pejabat yang kuat dan berwibawa, bukan pekabat yang tunduk kepada preman.
Jika kasus Bekasi dibiarkan, preman-preman di seluruh negeri bisa mendapat angin untuk melakukan hal serupa, juga memicu preman-preman pemula membuat ormas-ormasan. Negeri ormas apa?
Kalau Bekasi tidak bisa membereskannya, biarkan negara saja yang melakukannya.
Jauh amat, Dilan!?
#PepihNugraha
***
Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [42] Menyadap Ilmu Pengetahuan
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews