Gerindra Berpeluang Besar Masuk Kabinet Dibanding Demokrat

Apakah satu kursi MPR seharga tiga kursi menteri (bahkan termasuk kursi dewan pertimbangan presiden)? Jawabannya, biarlah Jokowi sebagai pemegang hak prerogatif yang menilai.

Minggu, 13 Oktober 2019 | 15:14 WIB
0
522
Gerindra Berpeluang Besar Masuk Kabinet Dibanding Demokrat
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bertemu Presiden Joko Widodo di Istana (Gambar: KOMPAS.com)

Pelantikan presiden dan wakil presiden periode 2019-2024 tinggal menunggu beberapa hari lagi, atau kurang lebih waktu tersisa satu minggu ke depan. Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden terpilih Ma'ruf Amin akan segera dilantik pada Minggu, 20 Oktober 2019.

Tanggal pelantikan sudah pasti, sementara yang belum pasti adalah nama orang-orang yang diberi kepercayaan sebagai menteri, untuk membantu presiden dan wakil presiden menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan selama lima tahun.

Mungkin sebagian publik ada yang masih ingat bahwa Jokowi pernah menjanjikan akan mengumumkan nama-nama anggota kabinet sebelum pelantikan, bahkan disampaikan bakal diungkap tepat di akhir September atau awal Oktober.

"Kabinet bisa diumumkan kapan saja, enggak perlu nunggu Oktober," ujar Jokowi.

Namun ternyata janji tersebut tampaknya tinggal "janji" karena sekarang sudah masuk pertengahan Oktober. Apakah Jokowi harus disalahkan? Tentu tidak. 

Barangkali Jokowi menyampaikannya dalam keadaan terpaksa, mengingat media memang sangat "kepo" dan akhirnya berusaha menyingkap kabar terkait kabinet baru terlalu dini. Dan hal itu pun tidak salah, kerja media harus demikian.

Informasi terbaru dari Jokowi sendiri, pengumuman nama-nama anggota kabinet baru akan dilakukan pada saat atau setelah acara pelantikan beliau dan Ma'ruf Amin.

"Mungkin bisa hari yang sama, mungkin sehari setelah pelantikan," ungkap Jokowi.

Artinya jangan ada lagi yang masih berharap pengumuman kabinet dilangsungkan sebelum Jokowi dan Ma'ruf Amin sah sebagai presiden dan wakil presiden.

Wajar dimaklumi bahwa, pengumuman dini bisa saja berpengaruh pada kinerja kementerian yang tengah menyelesaikan masa kerjanya.

Hal lain yang sempat diutarakan Jokowi juga adalah bahwa paket nama anggota kabinet sudah fix, alias sudah final. Betulkah demikian?

Tampaknya tidak. Sila saksikan sendiri beberapa hari terakhir, setidaknya dua pimpinan partai politik sedang mengadakan lobi-lobi tertentu kepada beliau.

Kedua pimpinan partai politik tersebut adalah Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. SBY bertemu Jokowi pada Kamis, 10 Oktober 2019, sementara Prabowo bertemu Jokowi pada Jumat, 11 Oktober 2019. 

Seperti apa hasil pertemuan antara SBY dan Jokowi? Hasilnya yaitu hanya membahas persoalan yang tengah dialami bangsa. Sedangkan urusan terkait adanya peluang Demokrat bergabung masuk kabinet belum ada tanda-tanda positif. Maksudnya kemungkinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) jadi salah seorang menteri.

"Ini saya dengan Pak SBY sudah janjian lama tapi belum pas waktunya dan hari ini Alhamdulillah pas waktunya dan ketemu. Kita bicara itu (peluang Demokrat masuk kabinet), tapi belum sampai sebuah keputusan. Enggak sampai ke sana, belum sampai ke sana," kata Jokowi.

Lalu bagaimana dengan hasil pertemuan Jokowi dan Prabowo, apakah sama dengan Jokowi dan SBY? Ada yang sama dan ada pula yang tampak lebih menarik.

Kesamaan hasilnya misalnya tetap membahas kondisi bangsa, ekonomi global, politik dan keamanan. Sedangkan yang sedikit berbeda adalah Prabowo memperjelas dukungannya pada rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur. Apakah hanya itu?

Masih ada hal lain, yang tadi disebutkan lebih menarik, yaitu kemungkinan Gerindra masuk kabinet pemerintahan Jokowi ikut dibahas. Kalau begitu, nama-nama anggota kabinet belum sepenuhnya rampung.

"Ini belum final, tapi kami sudah bicara banyak mengenai kemungkinan Partai Gerindra koalisi kita," jelas Jokowi.

Prabowo sebagai pimpinan Gerindra juga mengaku siap mendukung jalannya pemerintahan di bawah kendali Jokowi dan Ma'ruf Amin. Mantan calon presiden di Pilpres 2019 lalu itu juga mengatakan bahwa dirinya dan Jokowi tetap dalam hubungan "mesra".

"Kami bertarung politik. Tapi begitu selesai, kepentingan nasional yang utama. Kalau umpamanya kita tidak masuk kabinet, kami tetap akan loyal. Di luar sebagai check and balances. Sebagai penyeimbang. Kan kita di Indonesia tidak ada oposisi," kata Prabowo.

Hubungan "mesra" dan membahas peluang berkoalisi secara lebih tegas, itulah gambaran pembeda antara hasil pertemuan Jokowi-Prabowo dan Jokowi-SBY. Mungkinkah Gerindra lebih berpeluang masuk kabinet ketimbang Demokrat?

Tampaknya demikian. Bahwa masing-masing kedua petinggi partai politik sudah melakukan pertemuan dengan Jokowi, namun hasil pembicaraan tetap kontras berbeda.

Meskipun peluang Gerindra masuk kabinet memberatkan hati beberapa petinggi partai koalisi pengusung Jokowi-Ma'ruf Amin, keputusan terakhir tetap berada di tangan Jokowi sebagai pemilik hak prerogatif. Umpamanya Partai NasDem yang menganjurkan Gerindra tetap menjadi oposisi.

Kalau Demokrat dan Gerindra tetap diakomodir masuk kabinet, tentu itu sangat baik. Artinya keinginan partai politik yang mau mendukung pemerintah tercapai. Namun bagaimana jika salah satunya terpaksa diabaikan keinginannya, partai manakah kira-kira?

Menurut penulis, jika ada partai yang mesti diabaikan, maka berarti itu adalah Partai Demokrat. Mengapa? Berikut beberapa faktor yang kemungkinan hasil pertimbangan Jokowi:

Pertama, dibanding Demokrat, partai politik yang sebaiknya (harus) "diambil hatinya" yakni Gerindra. Sebagai partai utama pengusung pasangan Prabowo-Sandiaga yang pernah bertarung melawan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin, Gerindra wajib "dijinakkan", caranya dengan memasukkan mereka bergabung ke dalam kabinet pemerintahan.

Jika Gerindra dibiarkan berada di luar dan bergerak meneruskan manuver politiknya secara bebas, maka tentu hal itu sudah dipertimbangkan Jokowi, akan sedikit "mengganggu" jalannya roda pemerintahan.

Maka tidak heran ketika akhirnya muncul sekian nama yang diisukan akan masuk kabinet Jokowi sebagai menteri, antara lain ada nama Fadli Zon, Sandiaga (mungkin sudah jadi kader Gerindra lagi), dan Edhy Prabowo.

"Mengganggu" di sini bukan berarti merongrong atau mengacaukan. Artinya bakal tetap ada pihak yang bersuara keras mengevaluasi kebijakan pemerintah. Sementara Demokrat bisa disebut cukup netral, terlihat dari sikap mereka sejak Pilpres 2019 lalu.

Kedua, hubungan antara Jokowi dan Prabowo kelihatannya makin lama makin hangat dan mesra, seakan tidak pernah terjadi perseteruan sebelumnya (Pilpres 2019). Sila baca kembali pengakuan mereka di atas.

Di sinilah muncul penilaian bahwa memang Jokowi sedang mengambil hati Prabowo (dan Gerindra), yang sudah pasti akan direalisasikan dengan cara menyediakan beberapa kursi menteri.

Ketiga, bukan hanya soal kemesraan bersama Jokowi, hubungan dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri juga patut diperhitungkan.

Walaupun belakangan hubungan antara SBY dan Megawati mulai membaik, namun kedekatan dan keakraban Prabowo dengan Megawati jauh lebih baik. Barangkali bisa diingat kembali momen-momen pertemuan antara Prabowo dan Megawati beberapa waktu yang lalu.


Sumber: Sekretariat Presiden

Membaiknya hubungan SBY dan Megawati rasanya belum cukup menampilkan gambaran penuh bahwa "konflik lama" di antara mereka berdua telah hilang total. Konflik tersebut agaknya masih tersisa dan sulit dilupakan.

Keempat, kesediaan Prabowo dan Gerindra melepas keinginan merebut kursi Ketua MPR yang diketahui merupakan hasil lobi bersama Megawati tentu semakin memperjelas bahwa ada sesuatu "hadiah besar" setimpal yang akan dipersembahkan Jokowi.

Apa itu? Tidak lain dan tidak bukan, jabatan menteri. Hampir tidak ada posisi yang "senilai" dengan jabatan Ketua MPR selain jabatan menteri.

Apakah satu kursi MPR seharga tiga kursi menteri (bahkan termasuk kursi dewan pertimbangan presiden)? Jawabannya, biarlah Jokowi sebagai pemegang hak prerogatif yang menilai. 

***