Kalau Komnas HAM masih pilih-pilih siapa yang dibela, maka nilai kemanusiaan tidak lagi ditempatkan diperingkat paling atas. Padahal HAM bicara tentang hak manusia dan kemanusiaan.
Bicara Hak Asasi Manusia (HAM), adalah bicara tentang Kemanusiaan, bicara tentang kemanusiaan, adalah membicarakan sebuah persoalan tanpa sekat SARA, maupun strata sosial.
Sementara di negara ini persoalan HAM sangatlah Paradoksial. Suara aktivis HAM masih terkesan pilih-pilih. Cenderung menyoroti tindakan dan perilaku satu pihak, khususnya rezim berkuasa.
Perspektif terhadap korban lebih dilihat kepada siapa pelakunya, sebaliknya jika dipihak rezim yang menjadi korban, tidak ada yang dipersalahkan. Padahal pihak rezim yang menjadi korban adalah juga manusia.
Dari sini bisa kita fahami bahwa penegakan HAM bukanlah didasarkan kepada rasa kemanusiaan, lebih kepada kepentingan yang ada di balik penegakan HAM itu sendiri.
Mengacu pada Kasus penganiyaan terhadap penggiat media sosial, yang juga pendukung Jokowi, Ninoy Karundeng, yang dianiaya sekelompok orang tanpa rasa perikemanusiaan. Tidak sedikitpun suara aktivis HAM yang memberi perhatian terhadap kasus ini.
Tanya kenapa.? Apakah karena Ninoy merupakan pendukung Rezim Pemerintah.? Apakah Ninoy bukan manusia, sehingga tidak layak untuk mendapatkan perhatian secara kemanusiaan.?
Kalau mau dikatakan paradigma baru HAM itu lebih kepada civil society centered, Ninoy sendiri merupakan bagian dari masyarakat sipil, bukanlah bagian dari Rezim berkuasa, karena dia sedang melakukan tugas Jurnalistik.
Ninoy punya hak hidup dan hak menyatakan pendapat yang dilindungi Undang-Undang, layaknya masyarakat sipil pada umumnya. Ninoy punya Keluarga yang hidupnya juga terancam, akibat dari persekusi yang dialaminya.
Agak aneh cara berpikir para social justice warrior (SJW) di negara +62 ini, kalau ditanya mereka bekerja untuk siapa, pasti jawabannya untuk keadilan dan kemanusiaan. Itu dalih yang dianggap jitu untuk meng-kamuflase aktivitasnya.
Tapi pada realitanya, masih pilih-pilih siapa yang menjadi korbannya, berdasarkan nilai jual pemberitaannya. Seperti kasus kerusuhan di Papua dan Papua Barat, mereka akan bersemangat untuk bersuara, karena suara mereka didengar dunia Internasional.
Mereka sangat faham kalau dunia Internasional punya banyak kepentingan terhadap Indonesia, maka kasus HAM menjadi dagangan mereka. Padahal, tanpa mereka sadari, mereka tidak sedang memperjuangkan kemanusiaan, tapi sedang melakukan penghianatan terhadap negaranya sendiri.
Inilah Paradoksial penegakan HAM yang sedang terjadi di negara ini. Banyak mencari makan dengan cara-cara yang tidak seharusnya, dengan berlindung di balik kemanusiaan, padahal yang mereka lakukan tidak lebih manusiawi.
Human rights resolution secara esensial menaruh perhatian kepada pelanggaran hak Asasi manusia yang disebabkan, penindasan, intoleransi, juga tindakan kekerasan antara manusia dengan sesama manusia.
Kebetulan saja tindakan tersebut dilakukan oleh rezim atas nama kekuasaan. Tapi sebetulnya, titik fokus para penggiat HAM bukanlah cuma terhadap rezim berkuasa, tapi juga siapapun yang melanggar kemanusiaan harus tetap menjadi perhatian, harus digugat.
Apakah kasus pelanggaran HAM hanya dilakukan oleh sebuah rezim.? Tidak juga, bisa saja sebuah kelompok, atau ormas yang merasa mempunyai kekuasaan, bisa melakukan pelanggaran HAM, dan itulah yang terjadi terhadap Ninoy.
Mengutip pernyataan Plato, "the just is nothing else than the advantage of the stronger", yang intinya, yang kuat yang mendikte keadaan. Siapapun yang melakukan pelanggaran HAM atas nama kekuatan dan kekuasaan, seperti itulah yang terjadi.
Kalau komisi-komisi yang menangani kasus pelanggaran HAM masih pilih-pilih siapa yang dibela, maka nilai kemanusiaan tidak lagi ditempatkan diperingkat paling atas. Padahal HAM bicara tentang hak manusia dan kemanusiaan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews