Demokrasi Vs Empati Musibah Pejabat Negara

Kita berharap tidak akan muncul kasus serupa yang bisa mendegradasi operasionalitas Demokrasi di Indonesia yang merupakan salah satu negara Demokrasi terbesar di dunia.

Jumat, 18 Oktober 2019 | 00:49 WIB
0
386
Demokrasi Vs Empati Musibah Pejabat Negara
sumber gambar :detik.com

Kini setiap orang orang bisa berteriak menyuarakan demokrasi, bahkan sampai ke liang kubur tetangga yang dibencinya.
 

Menkopolhukam Wiranto dan beberapa anggota kepolisian di dekatnya ditimpa musibah penusukan oleh dua orang berpaham radikalis. Nyawa mereka terancam, hampir tewas.  Namun yang diterimanya bukan empati justru komen bernada nyinyiran (pencelaan) dan tuduhan "settingan" yang berpotensi menjadi hoaks di ruang publik.  

 Cuitan tidak simpati muncul dari Hanum Rais, seorang tokoh politik perempuan. Tak lama berselang, beberapa orang istri anggota TNI melakukan hal yang relatif sama lewat akun media sosial. Kontroversi muncul bukan semata sikap tidak simpatik mereka, melainkan juga tentang hak menyatakan pendapat setiap orang dalam iklim demokrasi.

Sebagian publik mengecam Hanum Rais dan istri-istri anggota TNI tersebut karena dinilai tidak etis. Tidak bermoral. Tidak sesuai aturan tertentu. Bahkan untuk istri-istri anggota TNI tersebut dinyatakan tidak sesuai aturan lembaga TNI sehingga suami mereka mendapatkan sangsi administratif pencopotan jabatan dan kurungan badan.

Atas nama demokrasi, ada sebagian publik "mendukung" Hanum Rais dan istri-istri TNI tersebut. Dalam pemahaman mereka, siapapun (orang atau institusi) tidak boleh melarang seseorang menyatakan pendapatnya di ruang publik. 

Soal sikap empati atau tidak simpatik dalam menanggapi suatu peristiwa di ruang publik itu hak setiap orang. Orang tidak bisa dipaksa untuk memberikan empati pada orang lain yang menderita kemalangan. Itukah "Demokrasi?

Saat ini banyak kelompok dan faham yang merupakan oposan negara. Secara politik mereka mengambil jarak terhadap kebijakan politik berserta simbol-simbol negara. Wiranto yang merupakan tokoh politis, pejabat negara dan representasi negara mau tak mau tak mau terkena "sikap kritis atau oposan" sebagian warga di ruang Demokrasi.  

Dalam polemik empati/tidak empati musibah Wiranto, penggunaan hak kebebasan berpendapat dalam demokrasi seolah tak lagi mengenal batas. Demokrasi hanya dipahami sebagai kebebasan substansial, tanpa batas sebagai manusia merdeka. Namun mereka melupakan bahwa Demokrasi (kebebasan) diciptakan untuk mengangkat kemanusiaan. Demokrasi bisa mengangkat kemanusiaan dengan berbagai perangkat, misalnya baju si manusia dalam kultur bersama, dan lain sebagainya. 

Baju tersebut misalnya baju religiusitas, baju sebagai warga negara, baju sebagai orang tua, baju dalam jabatan institusi, baju ketokohan sosial kemasyarakatan, dan lain-lainnya yang  menempatkan dirinya sebagai manusia yang sesungguhnya. Manusia yang beradab. Bukan manusia primitif.

Munculnya polemik musibah Wiranto di satu sisi merupakan bagian dari iklim demokrasi. Namun disisi lain dukungan pada celaan/nyinyiran/ hujatan oleh Hanum Rais dan istri-istri anggota TNI terhadap musibah Wiranto atas nama demokrasi merupakan pemahaman demokrasi yang salah, yang menjadi  petanda kurangnya pendidikan demokrasi (dan politik) di dalam masyarakat. 

Sejatinya pendidikan demokrasi dan politik bisa dilakukan kepada semua warga negara sejak usia dini di lembaga sekolah, dan berbagai institusi kemasyarakatan lainnya. Sekolah, istitusi pendidikan serta institusi formal non formal  harus berani mengajarkan ilmu politik dan demokrasi dalam ranah ilmu/mata studi khusus. 

Kita berharap tidak akan  muncul kasus serupa yang bisa mendegradasi operasionalitas Demokrasi di Indonesia yang merupakan salah satu negara Demokrasi  terbesar di dunia.

Ini PR besar pemerintahan Jokowi.

***