Waspadai “Cyber Crime” Pemilu Serentak!

Semoga saja apa yang diuraikan di atas tidak terjadi. Sebab, indikasi kecurangan telah pula terendus: praktek money politics!

Selasa, 16 April 2019 | 18:36 WIB
0
454
Waspadai “Cyber Crime” Pemilu Serentak!
Ketika BPN Prabowo Subianto - Sandiaga Uno mempertanyakan DPT Siluman di KPU. (Foto: Istimewa).

Persoalan DPT invalid sebanyak 17,5 juta hingga kini tidak juga ditindaklanjuti KPU sebagai penyelenggara Pemilu 2019. Jika merunut asal DPT itu tentu saja Kemendagri sebagai yang menyuplai data kependudukan, harus bertanggung jawab.

Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang invalid itu adalah kecurangan awal yang tidak bisa dielak oleh KPU pimpinan Arief Budiman. Kedurangan berikutnya, terbongkarnya surat suara di Selangor, Malaysia, yang sudah “tercoblos” paslon 01.

Peristiwa yang terjadi di Selangor itu jelas sangat memalukan. Apalagi, ada indikasi bahwa Duta Besar RI di Malaysia, Rusdi Kirana, diduga terlibat. Karena, anaknya yang Caleg DPR RI pada Pileg 2019 Partai Nasdem sedang maju.

Kejadian di Selangor, Malaysia itu memperkuat adanya kecurangan terstruktur, sistematis dan masif. Yaitu dimulai dari persoalan DPT yang invalid, hingga adanya indikasi pejabat negara terlibat. Indikasi itu tertuju kepada Dubes Rusdi Kirana.

Pengakuan komisioner Bawaslu, mereka sempat menyoroti komposisi PPLN di Malaysia, ada satu perwakilan dari Rusdi Kirana masuk dalam struktur PPLN Malaysia. Bawaslu menyurati KPU untuk mempertimbangkan mengganti perwakilan dubes tersebut.

Mungkin inilah maksud dari perang total yang dikumandangkan oleh Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko. Sebuah cara untuk mengoperasikan semua kekuatan dan sumber daya, bahkan dengan jalan taktik curang. Indikasi ini jelas ada fenomenanya.

Politisi dan Praktisi Hukum DR Ahmad Yani menyebut, fenomena 400 dan 600 ribu amplop, mobilisasi BUMN, dan penggunaan struktur lembaga negara, pembagian sembako, mobilisasi ASN yang terus menerus hanya untuk memenangkan petahana.

“Keadaan ini cukup menjadi bukti bahwa inilah narasi perang total itu,” katanya. Ini bukan merupakan sesuatu yang demokratis dalam demokrasi Pancasila. Demokrasi pancasila adalah demokrasi yang beradab, yang menjunjung tinggi segala nilai dan budaya luhur.

Sementara apa yang sedang dilakukan petahana ini, menurut Ahmad Yani, adalah menghina demokrasi Pancasila kita. Penghinaan yang paling mengerikan adalah dengan memanfaatkan struktur negara dan kekuatan sumber daya negara untuk kepentingan politik sesaat.

”Kepentingan politik electoral petahana guna mempertahankan kekuasaannya. Ini sudah sangat mengkhianati Pancasila. Dan, ini bisa menjadi problem tersendiri bagi demokrasi kita di masa yang akan datang,” ungkap Ahmad Yani.

Curang Cyber

Bukan hanya kecurangan kasat mata saja yang perlu diwaspadai sebelum, ketika, dan pasca pemungutan suara pada Rabu, 17 April 2019. Sebuah lembaga bernama Casablanca Working Group mengucaikan kecurangan cyber pada Pileg dan Pilpres 2019.

Pada awal Februari lalu sebuah pesawat pribadi lepas landas dari Bandara Halim Perdana Kusumah. Pesawat tersebut membawa tiga orang pejabat keamanan plus dua orang sipil. Tujuan: Tel Aviv, Israel.

Belakangan ini terbetik informasi bahwa sebuah perusahaan cyber Israel menjanjikan bisa mempengaruhi 10% suara dalam pilpres di Indonesia. Kita tidak tahu apakah ada hubungan antara kunjungan di atas dengan perusahaan cyber Israel itu.

“Persoalan yang saya ingin bahas di sini adalah kalau benar pernyataan perusahaan cyber Israel itu, bagaimana mereka melakukannya? Mungkinkah hal itu dilakukan?” kutip laporan Casablanca Working Group.

Pemilih Invalid

Jawaban atas pertanyaan di atas perlu dikaitkan dengan temuan BPN Prabowo – Sandi bahwa terdapat 17,5 juta pemilih invalid dalam DPT Pemilu Serentak 2019. DPT invalid, kata BPN, karena terdapat 17,5 juta pemilih yang lahir pada tanggal yang sama yaitu 1 Januari dan 1 Juli. Angka itu tidak wajar.

Kemungkinan seorang pemilih lahir tanggal 1 Januari sama dengan kemungkinan orang dilahirkan pada hari-hari kalender lain yaitu 1/365 x 200 juta pemilih = 548.000. Kemungkinan bahwa pemilih lahir pada tanggal 1/1 dan 1/7 tidak akan lebih dari 1,2 juta orang.

Maka sangat tidak wajar bila Disduk mengklaim jumlah yang berlipat-lipat, sampai 17,5 juta pemilih!

Dinas Kependudukan berkelit dengan mengatakan bahwa ada (17,5-1,2) =16,3 juta orang Indonesia yang lupa tanggal lahirnya sendiri! Oleh karena itu, Pemerintah cq Disduk menetapkan tanggal 1 Januari dan 1 Juli sebagai tanggal lahir para pelupa itu.

Jawaban tersebut tidak masuk akal. Sebab walau orang mungkin tak ingat kapan ia dilahirkan ia pasti sudah “menetapkan” tanggal lahirnya sendiri. Karena orang itu harus punya tanggal lahir ketika ia masuk SD atau SMP, atau saat orangtuanya diharuskan membuat KK (Kartu Keluarga). 

Tanggal lahir yang “ia pilih” itu biasanya digunakan untuk memperoleh Surat Kenal Lahir (pengganti Akte Kelahiran, Surat Nikah, Ijazah sekolah atau kursus. Jadi, sangat kecil kemungkinan, orang menunggu tanggal kelahiran ketika tiba waktu ia mengurus KTP. 

Dengan dasar alasan di atas kita patut menduga bahwa terdapat sedikitnya 16 juta pemilih hantu (ghost voters) dalam DPT Pemilu Serentak 2019.

Modus Curang Cyber

Potensi 16 juta ghost voters ini rupanya dilihat oleh perusahaan cyber itu. Angka tersebut adalah sekitar 10% dari perkiraan jumlah pemilih pada pilpres. Tetapi bagaimanakah cara perusahaan cyber itu memasukkan ghost voters itu ke dalam daftar pencoblos paslon?

Dari DPT perusahaan cyber tersebut bisa mengetahui siapa ghost voter itu by name by adress, termasuk di mana TPS mereka. Dengan dasar itu mereka bisa mengetahui dengan persis berapa suara tambahan bisa diciptakan di suatu TPS. Ini sebuah keuntungan besar. Nama-nama ghost voter tersebut dapat di-input sebagai pemilih sah dengan syarat:

1. KPU memiliki sistem informasi elektronik yang memuat hasil penghitungan suara di TPS. Sistem ini memungkinkan KPU Pusat mengetahui hasil penghitungan suara jauh lebih cepat dari proses manualnya. Perusahaan cyber akan meretas sistem informasi tersebut (menyedot data KPU) sehingga mereka juga memiliki pengetahuan jauh mendahului masyarakat.

2. Dengan bekal pengetahuan itu, perusahaan cyber kemudian dapat merancang TPS mana dan rekap PPK mana yang bisa diubah hasil penghitungannya. Utamanya dipilih TPS yang tidak ada saksi dari paslon yang mau dikalahkan. Hal itu mudah diketahui dari ketiadaan tanda tangan saksi dalam formulir C1 yang mau diubah.

3. Hampir bisa dipastikan bahwa paslon tidak akan mampu menyediakan saksi di setiap TPS mengingat biaya yang sangat besar.

4. Operasi manipulasi dilakukan dengan mengubah C1 yang di-upload PPK ke sistem informasi penghitungan suara (Situng) KPU. Data yang telah diubah itu kemudian dipergunakan oleh PPK sebagai data pra-presentasi, yaitu data yang ditampilkan pada layar projektor dalam Rapat Pleno PPK. Pada umumnya tidak ada protes karena saksi paslon “kalah” tidak memiliki dokumen C1 sebagai data pembanding.

5. Operasi manipulasi suara completed di PPK. Apabila ada protes PPK hanya mencatatnya ke dalam nota keberatan yang di-carry over oleh KPUD. Penyelesaiannya kemudian akan dilakukan secara case by case

6. Operasi manipulasi tersebut mungkin saja bocor. Seorang petugas PPK atau KPPS “yang tidak tahu situasi” bisa menemukan perbedaan C1 di Situng dengan C1 manual. Dalam situasi itu akan muncul perintah dari KPU agar PPK/KPUD menyesuaikan C1 manual.

7. Sebagai upaya preventif secara paralel dilakukan operasi lapangan untuk merusak legitimasi dokumen C1 dengan cara memproduksi C1 suatu TPS dalam banyak versi. Tujuannya adalah untuk membingungkan publik, agar publik tidak tahu mana C1 yang asli.

8. Di tengah kebingungan itu maka orang terpaksa hanya mempercayai C1 yang dimiliki oleh KPU.

9. KPU sendiri berdalih bahwa C1 miliknya paling sah sebab memiliki hologram. Padahal hologram itu diproduksi oleh KPU sehingga tentu saja mereka bisa melekatkannya di formulir manapun yang mereka mau.

Di dalam seluruh proses manipulasi di atas terlihat sekali peranan sentral dari KPU. Memang, proses manipulasi ini hanya bisa terjadi dengan adanya kerjasama KPU. Tidak perlu seluruh komisioner terlibat, cukup komisioner yang bertanggungjawab perihal Situng (data elektronik) dan bidang teknis penghitungan suara.

Jadi suatu kejahatan cyber dalam Pemilu di Indonesia bisa dilakukan dengan menggunakan DPT sebagai modus operandi, sebuah perusahaan cyber yang memiliki kemampuan untuk rekonstruksi image secara masif, dan komisioner KPU yang curang.

Semoga saja apa yang diuraikan di atas tidak terjadi. Sebab, indikasi kecurangan telah pula terendus: praktek money politics!

***