Romahurmuzy di Antara Ranjau Birokrasi dan OTT "Receh" KPK

Senin, 18 Maret 2019 | 06:02 WIB
0
467
Romahurmuzy di Antara Ranjau Birokrasi dan OTT "Receh" KPK

Sumber foto: Kompas.com
 
"KPK menangkap korupsi receh. KPK lembaga receh "

Cara kerja KPK tidak sembarangan dalam menciduk target. Berdasarkan pengalaman, sejumlah tokoh yang terkena OTT KPK dan tanpa bermaksud mendahului azas praduga tak bersalah serta proses hukum pengadilan, maka hampir pasti Romahurmuziy (Romi) masuk penjara.

Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan status tersangka yang disematkan KPK kepadanya sudah cukup menjadi penanda nasib dan status hukumnya kedepan. Soal berapa lamanya Romi akan meringkuk di penjara, biarlah kelak proses hukum memutuskannya.

Ada tiga hal mencolok yang dapat dilihat dari sosok politis Romi dan kasus korupsinya.  

Pertama, Romi seorang ketua partai tua dan besar. Partai ini punya sejarah panjang sejak berdirinya negeri ini hingga sekarang. Nilai-nilai religiusitas sangat kental dalam struktur kepartaian dan landasan operasionalnya.

Romi merupakan anggota aktif dalam Tim Koalisi Nasional (TKN)  pemenangan Jokowi/Amin dalam Pilpres 2019. Dia merupakan anggota dewan penasehat yang terdiri dari ketua-ketua parpol pendukung Jokowi/Ma'ruf Amin. 

Di situ Romi sejajar dengan Megawati (ketua PDIP) dan Airlangga Hartarto (Golkar)--keduanya merupakan partai senior yang sudah ada sejak jaman Orde Baru--serta enam ketua partai lainnya yang relatif baru muncul pasca reformasi. Keberadaan Romi yang muda dalam usia dan perpolitikan tak menyurutkan eksistensinya sebagai tokoh besar diantara para tokoh besar yang lebih tua usia dan berpolitik tersebut.

Kedua, nilai korupsi yang dilakukan Romi terbilang "recehan", yakni 300 juta. Uang 250 juta sudah diterima sebelumnya, yakni tgl 6 Pebruari lalu di rumah Romi sendiri. Sedangkan saat OTT sejumlah kisaran seratus jutaan.  Dalam wacana unik Prabowo pada Debat Capres yang lalu, mungkin uang segitu termasuk kategori "korupsi tak seberapa".

KPK sebagai lembaga  anti rasuah lekat dengan "tangkapan ikan besar" seharga milyaran rupiah. Ikan besar itu seringkali berenang di "samudera nan indah" proyek pembangunan fisik dan pengadaan barang yang nilainya milyaran. Sementara dalam berbagai pemberitaan sebelumnya, KPK sangat jarang beraksi pada korupsi "recehan", apalagi terkait tokoh elit tingkat nasional.  

Ketiga, jual beli jabatan. Lahan garapan korupsi Romi ini termasuk tidak populer dalam "dunia persilatan" korupsi tingkat elit negeri ini. Bandingkan dengan bidang proyek pembangunan fisik dan pengadaan barang yang populer dan terdengar seksi. Bidang tersebut seringkali jadi rebutan garapan para tokoh besar dalam kancah politik, namun sekaligus seringkali pula menjerumuskan mereka ke dalam penjara.

Ketidakpopuleran bidang "jual beli" jabatan oleh tokoh selevel ketua partai tua disatu sisi merupakan kecerdikan mendapatkan incomeyang "aman" dari pantauan KPK. Di sisi lain, ketidakpopuleran "jual beli" jabatan setingkat eselon 1 dan 2 di kementrian sebenarnya memilik  ranjau (perangkap) yang lebih banyak.

Dinamika dunia birokrasi sangat rentan dengan gosip internal. Ada tiga yang mencolok, yakni dalam soal keuangan, perselingkuhan, dan promosi jabatan.

Yang paling seksi dan seringkali bikin gusar di kalangan internal birokrat adalah soal promosi jabatan karena ini soal "harga diri" terkait prestasi kerja dan karier yang berujung pada "derajat sosial" seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang akan diperjuangkannya sampai titik harapan tertinggi. Mengapa demikian?

Karena di dalam dunia kelembagaan birokrasi, seseorang "sudah dipatok" hidupnya akan "selamanya" disana, bahkan ketika pensiun pun lingkungannya relatif cenderung "itu-itu saja". Kalau tidak berjuang dalam karier birokrasi, untuk apa menghabiskan sebagian besar hidup di lembaga itu? Karier bukan semata uang gaji, tapi harga diri dan 'tauladan' bagi keturunan, keluarga besar, dan entitas sosial.

Berbeda dengan para politisi yang relatif lebih dinamis dan ekspresif. Saat ini jadi pendukung si X, besok jadi pendukung si Y, lusa jadi pendukung si Z. Sambil berpolitik, seorang politisi bisa menjadi pengusaha kaya raya, atau selebiritis dan public figure di berbagai arena. 

Dia bisa berbaju warna kinclong walau tidak mecing dengan bodi dan warna kulit. Bisa tertawa dengan mulut lebar walau bergigi palsu. Boleh bersuara sekerasnya walau suaranya sumbang. Tak perlu sungkan berjoget dengan liukan bebas, walau bikin sakit mata banyak orang.

Sementara ASN, untuk tertawa, bersuara, dan meliukkan tubuh sudah ada aturannya (protap). Baju dinas ASN seragam, paling beda size nya saja. Penampilan wajah diatur sebagai "pelayan publik" yang humble, ramah, cerdas, all out. Liukan tubuh harus masuk koridor bahasa tubuh ASN. 

Kalau keluar dari protap itu, maka peluang karier akan layu sebelum berkembang. Ada cap negatif melekat terkait kelayakan  dan kepantasan. Sering ada istilah "kariernya masuk kandang atau dikandangkan". Kalau beruntung, saat ganti pimpinan, kandang bisa dibuka lagi. 

Itupun butuh waktu yang tidak sedikit. Sebaliknya kalau tidak beruntung, walau pimpinan berganti seribu kali, kandang itu tetap terkunci sampai si ASN pensiun. Ini nasib paling naas.

 

Sumber foto: Kompas.com
 
Saat ini parameter menduduki jabatan (promosi jabatan) sudah semakin transparan dan relatif obyektif, yakni dengan cara lelang jabatan. Ini sebuah cara baru era pemerintahan Jokowi.  Promosi jabatan melalui proses seleksi dengan serangkai ujian tertulis, tes kesehatan, psikotes,  tes kompetensi dan wawancara oleh pihak independen di luar lembaga tersebut.

Bila kita menelusuri sejumlah berita terdahulu dari "mbah Google" tentang pergantian sejumlah rektor PTN dibawah nungan Kementrian Agama, para kandidat rektor sudah mengikuti serangkaian tes obyektif. Munculah sang juara. Sejatinya si juara tadi tinggal menunggu hari pelantikan. Namun dalam hitungan jam jelang pelantikan, yang dilantik bukanlah sang juara tadi, melainkan orang lain.

Hal  tersebut merupakan kejanggalan. Keputusan akhir berlawanan dengan  proses administratif yang sudah dijalani. Hal itu tentu saja bikin sesak para civitas akademika dan internal birokrasi lembaga PTN terkait.

Ketika di lembaga birokrasi terjadi kejanggalan dalam "promosi jabatan", sementara sejumlah kandidat merasa memiliki kemampuan, pengalaman, pangkat, accessibility dan acceptability di lingkungan kantor/kedinasan yang membuatnya punya peluang  yang (saharusnya) sama untuk menduduki jabatan, maka gosip bermunculan bagai bara dalam organisasi birokrasi yang tampak tenang dari luar.

Bara itu terus hidup dan memanas, membuat pihak-pihak di internal lembaga yang jumlahnya tidak sedikit melakukan gerakan senyap namun menggigit "sampai ke tulang sum-sum". Salah satunya dengan cara melaporkan ke instansi "harapan" seperti Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), PTUN, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan lembaga lainnya tergantung "titik lemah" kejanggalan promosi jabatan tadi.

Satu hal yang "berbahaya" yang tidak dimiliki para pelapor dari kalangan awam, dan mungkin hal ini tidak disadari oleh Romi, bahwa dalam internal birokrasi umumnya memiliki rangkaian bukti-bukti otentik secara administratif.

Administrasi adalah dunia mereka. Mereka tertib administrasi dalam bekerja. Ketika ada sesuatu hal dalam kegiatan, maka yang pertama diperiksa adalah proses dan bukti administrasi.

Bagi lembaga hukum seperti KPK, bukti administrasi yang otentik menjadi landasan hukum yang kuat untuk melakukan tindakan hukum. Mereka tak perlu "kerja keras" hanya untuk membuktikan rumor yang berkembang. Rumor umumnya terjadi dalam materi pelaporan masyarakat umum yang masuk saban hari di kantor KPK.

Cara OTT KPK dalam kasus Romi akhirnya "cuma" merupakan legalitas operasional dan panggung pengukuhan supremasi hukum di depan publik sehingga "ikan besar" selevel Romi yang bermain di telaga tenang "jual beli jabatan" birokrasi tak bisa mengelak.  Dia tak bisa lagi bersembunyi di dasar lumpur tebal telaga dengan dalih  "ingin menerangi kegelapan lumpur"--yang hal itu tak lebih sebuah metaphora politis yang sangat fasih dia kuasai.

Tersiar kabar di media mainstream dan media sosial tentang pernyataan Prof. DR Mahfud MD bahwa Romi sudah lama "dijejak" oleh KPK. Secara tersirat dan tersurat bisa diartikan gerak Romi "si ikan besar di telaga tenang non populis" sudah diketahui melalui sejumlah laporan "administatif" yang valid.

Romi bagai ikan besar yang cerdik. Dia tidak mau  bermain di arus  mainstream. Dia tidak berenang di samudra luas nan indah, melainkan di telaga tenang dan tidak populis.

Tapi Romi lupa tentang salah satu filosofi korupsi: "Kalau berani korupsi jangan tanggung-tanggung. Kalau tanggung-tanggung lebih baik jangan berani-berani korupsi". Eeh!

Atas kealpaan Romi itu, aku sih rapopo. Kamu juga, kan? Kaaan....kaaaaan? Heu heu heu...

***